Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jalan Panjang Budaya Bambu di Banyuwangi

21 Januari 2022   05:00 Diperbarui: 9 Maret 2022   00:21 2566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sempadan sungai Kalistail, Sempu, Banyuwangi. Dok. Pribadi

Ketersediaan bambu yang melimpah di Banyuwangi, menjadi berkah alam yang menjadikan manusia-manusia kreatif berimajinasi dan berpikir untuk menggunakannya sebagai alat musik yang bisa menghibur sekaligus menyampaikan pesan-pesan tentang pentingnya pendidikan, gotong-royong, dan pemertahanan budaya. 

Tragedi 65 menjadikan kesenian angklung lenyap selama hampir 5 tahun dari bumi Banyuwangi. Kesenian ini dianggap kesenianya PKI, sehingga dinyatakan terlarang oleh rezim Negara. Para seniman yang masih selamat pun tidak berani melakukan gelaran atau sekedar latihan karena ketatnya pengawasan rezim militer. 

Kondisi ini, tentu saja, berkontradiksi dengan gairah berkebudayaan dan berkesenian yang sebelumnya begitu semarak; melibatkan semua lembaga seni dan budaya di Banyuwangi. Kesenian angklung dari segala jenis juga dilarang, sehingga warga petani pun tidak berani memainkannya ketika panen. Bisa dibayangkan,  betapa kering dan senyapnya Banyuwangi tanpa alunan angklung, tanpa rancak gamelan dan kendang. 

Itulah konsekuensi politik yang harus ditanggung seniman dan rakyat ketika sebuah tragedi yang dikaitkan dengan aktivitas kultural yang mereka lakoni; sebuah stigmatisasi sebagai cara rezim militeristik Suharto untuk mengendalikan keadaan dan meminimalisir, atau bahkan, menghilangkan pengaruh ideologi kerakyatan yang disebarluaskan oleh PKI di Banyuwangi.

Pada masa 1970-an, setelah dibungkam dan dilarang berkarya, para seniman musik dan sastra diajak bergabung dalam kelompok angklung binaan pemerintah kabupaten. Salah satu yang menginisiasi pembentukan-kembali grup angklung gending adalah Supranoto. 

Menurut Supranoto, untuk menghidupkan-kembali kesenian angklung, tantangannya cukup berat karena stigma Lekra dan PKI masih belum hilang dari bumi Banyuwangi, khususnya kampung Tumenggungan, tempatnya tinggal, yang dulu merupakan basis orang-orang merah. Namun, ia berusaha mendekati para pejabat penting di Banyuwangi, termasuk Bupati Supa’at. Usahanya berhasil, dia kemudian mendirikan grup angklung Sayu Wiwit. 

Ketika ia menggelar latihan bersama para anggotanya yang semuanya mantan anggota Lekra, masyarakat berduyun-duyun untuk datang melihat. Respons masyarakat sekitar tempat latihan Sayu Wiwit menunjukan betapa angklung masih menjadi kesenian idola, karena mereka bisa mendengarkan kembali lagu-lagu Banyuwangen yang selama beberapa saat dibungkam paksa. Untuk memuluskan jalannya, Supranoto melakukan sedikit modifikasi, khususnya dalam hal tarian. 

Dimulainya usaha rekaman angklung yang dikendalikan Pemkab Banyuwangi menunjukkan bahwa kebijakan rezim Orba ternyata juga sedikit memberikan ruang untuk berkembang bagi para seniman, meskipun mereka tetap dibatasi oleh garis-garis ideologis pembangunanisme yang mengedepankan pendekatan keamanan. 

Berbeda dengan angklung di era sebelumnya, pertunjukan angklung pada masa ini sudah dilengkapi gamelan dan juga alat-alat modern seperti biola dan dimasukkannya gamelan. Lagu-lagu yang digarap adalah karya Andang CY, Basir Noerdian, Mahfud, Fatrah Abal, Armaya, dan yang lain. Gelang Alit, Kembang Galengan, Kembang Peciring, Luk Luk Lumbu, Umbul-umbul Blambangan, Amit-Amit, Dalu-dalu, dan yang lain menjadi lagu yang sangat populer. 

Selain diputar di Radio Khusus Pemerintah Daerah (RKPD), lagu-lagu tersebut juga diedarkan dalam bentuk kaset pita. Angklung yang disponsori birokrat ini kemudian dikenal dengan angklung daerah dan masih dimainkan hingga saat ini.

Usaha untuk menghidupkan kembali kesenian angklung di masa Orde Baru menandakan kuatnya usaha rezim untuk menguasai kehidupan masyarakat melalui jalur kesenian/kultural. Kesenian dan media eskpresinya menjadi aparatus hegemonik yang menunjukkan bahwa negara seolah-olah memberikan kesempatan bagi kelompok seniman, sastrawan, dan budayawan untuk berkreasi sehingga kebutuhan ekspresif mereka bisa terpenuhi secara wajar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun