Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jalan Panjang Budaya Bambu di Banyuwangi

21 Januari 2022   05:00 Diperbarui: 9 Maret 2022   00:21 2566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sempadan sungai Kalistail, Sempu, Banyuwangi. Dok. Pribadi

Bahan baku pabrik ini adalah 100% bambu yang diambil dari hutan yang dikelola Perhutani Banyuwangi. Karena semakin terbatasnya luas hutan bambu di Banyuwangi, mulai tahun 1975, selain menggunakan bambu, bahan baku bubur kertas juga menggunakan pohon turi, pinus, meranti, damar, dan apak. Semua bahan baku tersebut masih disuplai dari Perhutani. 

Mulai 1981, bahan baku ditambah dengan albasia, kaliandra, lamtoro, maesopsis, dan chip beli dengan kadar air 40%. Tahun 1997 Basuki Rachmat sudah tidak menggunakan bahan baku pohon dan memilih untuk menggunakan kertas bekas. Beroperasinya Basuki Rachmat, selain menimbulkan dampak peningkatan ekonomi, juga menimbulkan permasalahan limbah yang mengganggu kesehatan masyarakat terdampak di sekitar wilayah pabrik. 

Lebih dari itu, krisis jangka panjang yang membayangi kehidupan masyarakat Banyuwangi adalah krisis ekologis berupa kerentanan berkurangnya sumber air akibat habisnya hutan bambu di beberapa kawasan.  

Bahan dasar yang dipakai waktu itu adalah bambu. Tak ayal lagi, hektaran hutan bambu yang berada dalam wilayah Perhutani di lereng Gunung Raung dibabat. Puluhan truk pengangkut setiap pagi buta sudah melewati jalan-jalan di wilayah Kalibaru, Glenmore, Sempu, Temuguru, dan beberapa wilayah lainnya. 

Beberapa saksi mata yang masih mengingat peristiwa tersebut menjelaskan bahwa truk-truk dari Basuki Rahmat hilir mudik mengangkut bambu. Tak satupun warga yang berani protes karena memrotes aktivitas perusahaan yang dijamin keamanannya oleh rezim negara Orde Baru sama saja dengan mengundang celaka. Label “komunis”, “PKI” ataupun “subversif” siap menampar dan menjadi cap orang-orang yang memrotes kebijakan negara. 

Penjara juga selalu siap untuk menampung warga yang melawan rezim. Akibat proses penebangan itu, hektaran hutan bambu habis dan sangat sulit untuk mengembalikan habitat aslinya. Berkurangnya lahan bambu juga disebabkan penebangan bambu untuk keperluan massif proyek-proyek pembangunan dan gudang tembakau serta bahan kerajinan. 

Dampak nyata yang ditimbulkan adalah berkurangnya sumber air di kaki atau lereng gunung sehingga debit air yang mengalir ke sungai dari waktu ke waktu semakin berkurang. Akibat lainnya adalah mulai punahnya varietas bambu yang sangat bagus untuk bahan alat angklung, seperti bambu hitam dan bambu "kendang" (seukuran kendang) serta bambu ori.

Selain itu, terdapat kebiasaan warga yang malas menanam-kembali bibit. Kebiasaan buruk tidak mau menanam-kembali bambu, menurut penelusuran di lapangan, disebabkan beberapa hal. 

Pertama, adanya asumsi bahwa bambu akan terus beranak-pianak secara alamiah, meskipun setiap hari ditebang dalam jumlah massif. Kearifan menebang bambu pada hari-hari tertentu sudah mulai ditinggalkan. Kedua, belum munculnya kesadaran eko-kultural bahwa bambu mempunyai kontribusi besar dalam dinamika kesenian di Banyuwangi, karena sebagian besar seniman dan masyarakat hanya menganggapnya sebagai hiburan. 

Tentu butuh waktu dan cara khusus untuk mengabarkan pentingnya kesadaran ekologis kepada masyarakat. Masyarakat Banyuwangi memiliki kekayaan kultural untuk mengkampanyekan pentingnya kesadaran ekologis, termasuk tentang pentingnya budaya bambu bagi kehidupan manusia. Salah satu ekspresi kultural yang bisa digunakan adalah kesenian angklung Banyuwangi yang sejak era kolonial sampai sekarang banyak digunakan untuk mengiringi lagu-lagu berbasis lokalitas dan alam.  

RUMPUN-RUMPUN YANG TERSISA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun