AWAL(-AN)
Bambu merupakan entitas yang sulit dipisahkan dari masyarakat dan budaya Banyuwangi. Bukan hanya untuk keperluan bangunan rumah, gubuk, dan kerajinan fungsional, tetapi juga untuk alat-alat kesenian, angklung. Kenyataan itu tentu tidak bisa dipisahkan dari lanskap geografis berupa gunung, lereng, lembah, hutan, dan sungai yang menjadi tempat ideal bagi tumbuhnya pohon dan hutan bambu.
Jenis-jenis bambu yang tumbuh di wilayah Banyuwangi antara lain bambu "ampel" (Bambusa vulgaris), "wuluh" (Schizostrachyum iraten), "rampal" (Schizostrachyum zollingeri), "apus" (Gigantochloa apus), "gesing" (Bambusa spinosa), bambu jajang (Gigantochloa hasskarliana), "jalar" (Dinochloa sp), "Jawa" (Gigantochloa atter), "ori" (Bambusa arundinacea), dan "pring manggong" (Bambusa jacobsii).
Secara ekologis, rumpun bambu atau barongan berfungsi menahan tanah dan menyimpan air dalam tanah. Tidak mengherankan kalau pada era 1970-an hingga 1980-an awal, sungai-sungai yang mengalir ke wilayah Sempu, Songgon, Kalibaru, Temuguru, Singojuru, hingga Genteng terkenal jernih dengan volume air melimpah.
Demikian juga sungai yang berasal dari wilayah hutan Kalipuro. Daerah aliran sungai (DAS) juga ditumbuhi barongan, baik dari jenis petung maupun ori (berduri). Di sisi lain, kemelimpahan bambu menjadikan warga memanfaatkannya untuk bermacam keperluan hidup.
Dalam tradisi masyarakat Banyuwangi, terdapat tiga elemen dominan yang membutuhkan kehadiran bambu, yakni rumah, kerajinan, dan kesenian. Meskipun tidak seperti era 1970-an dan 1980-an, rumah-rumah berbahan bambu masih bisa dijumpai di wilayah-wilayah perdusunan. Dari tiang hingga dinding dibuat dari bambu.
Sayangnya, rumah berbahan bambu di tengah-tengah masyarakat desa saat ini diidentikkan dengan kelompok warga ekonomi lemah. Sementara, para pemodal mendirikan rumah makan atapun kafe yang bangunannya berbahan bambu yang sudah dipoles, baik di kota, pinggiran kota, maupun desa.
Untuk bidang kerajinan, kebutuhan akan bambu cukup banyak, khususnya untuk kerajinan fungsional non-estetik seperti besek ikan pindang ataupun kerajinan fungsional-estetik berupa hiasan yang tidak hanya melayani kebutuhan domestik, tetapi juga internasional.
Gintangan dan Gombengsari terkenal sebagai sentra kerajinan bambu. Sementara, untuk alat musik angklung yang mirip dengan angklung Bali, perkembangan pada era 1960-an cukup semarak karena banyaknya kelompok musik ini di banyak desa. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa bambu menempati posisi penting dalam kehidupan sehari-hari, ekonomi kreatif kerajinan hingga ekspresi-estetik kultural.
Apa yang harus diperhatian untuk saat ini adalah permasalahan ekologis terkait keberadaan bambu. Meskipun jumlahnya masih cukup, namun banyak rumpun bambu di lereng gunung, di DAS, maupun di tanah kebun masyarakat mulai hilang karena dijadikan lahan galian pasir atau perumahan. Volume air di beberapa sungai yang melewati wiayah kabupaten di ujung Timur Jawa ini semakin berkurang di musim kemarau.
Secara historis, krisis bambu mulai terasa ketika pada tahun 1970-an sebuah pabrik kertas, PT. Basuki Rachmat beroperasi. Cahyono (2007) menjelaskan bahwa pabrik ini didirikan atas dasar TAP MPRS No. II Tahun 1960 dengan nama Proyek Pabrik Kertas Basuki Rachmat dengan luas areal 50 ha dan kapasitas produksi 13.000 ton/tahun. Peresmian sekaligus peningkatan kapasitas produksi Basuki Rachmat dilakukan pada pada 26 April 1969.
Bahan baku pabrik ini adalah 100% bambu yang diambil dari hutan yang dikelola Perhutani Banyuwangi. Karena semakin terbatasnya luas hutan bambu di Banyuwangi, mulai tahun 1975, selain menggunakan bambu, bahan baku bubur kertas juga menggunakan pohon turi, pinus, meranti, damar, dan apak. Semua bahan baku tersebut masih disuplai dari Perhutani.
Mulai 1981, bahan baku ditambah dengan albasia, kaliandra, lamtoro, maesopsis, dan chip beli dengan kadar air 40%. Tahun 1997 Basuki Rachmat sudah tidak menggunakan bahan baku pohon dan memilih untuk menggunakan kertas bekas. Beroperasinya Basuki Rachmat, selain menimbulkan dampak peningkatan ekonomi, juga menimbulkan permasalahan limbah yang mengganggu kesehatan masyarakat terdampak di sekitar wilayah pabrik.
Lebih dari itu, krisis jangka panjang yang membayangi kehidupan masyarakat Banyuwangi adalah krisis ekologis berupa kerentanan berkurangnya sumber air akibat habisnya hutan bambu di beberapa kawasan.
Bahan dasar yang dipakai waktu itu adalah bambu. Tak ayal lagi, hektaran hutan bambu yang berada dalam wilayah Perhutani di lereng Gunung Raung dibabat. Puluhan truk pengangkut setiap pagi buta sudah melewati jalan-jalan di wilayah Kalibaru, Glenmore, Sempu, Temuguru, dan beberapa wilayah lainnya.
Beberapa saksi mata yang masih mengingat peristiwa tersebut menjelaskan bahwa truk-truk dari Basuki Rahmat hilir mudik mengangkut bambu. Tak satupun warga yang berani protes karena memrotes aktivitas perusahaan yang dijamin keamanannya oleh rezim negara Orde Baru sama saja dengan mengundang celaka. Label “komunis”, “PKI” ataupun “subversif” siap menampar dan menjadi cap orang-orang yang memrotes kebijakan negara.
Penjara juga selalu siap untuk menampung warga yang melawan rezim. Akibat proses penebangan itu, hektaran hutan bambu habis dan sangat sulit untuk mengembalikan habitat aslinya. Berkurangnya lahan bambu juga disebabkan penebangan bambu untuk keperluan massif proyek-proyek pembangunan dan gudang tembakau serta bahan kerajinan.
Dampak nyata yang ditimbulkan adalah berkurangnya sumber air di kaki atau lereng gunung sehingga debit air yang mengalir ke sungai dari waktu ke waktu semakin berkurang. Akibat lainnya adalah mulai punahnya varietas bambu yang sangat bagus untuk bahan alat angklung, seperti bambu hitam dan bambu "kendang" (seukuran kendang) serta bambu ori.
Selain itu, terdapat kebiasaan warga yang malas menanam-kembali bibit. Kebiasaan buruk tidak mau menanam-kembali bambu, menurut penelusuran di lapangan, disebabkan beberapa hal.
Pertama, adanya asumsi bahwa bambu akan terus beranak-pianak secara alamiah, meskipun setiap hari ditebang dalam jumlah massif. Kearifan menebang bambu pada hari-hari tertentu sudah mulai ditinggalkan. Kedua, belum munculnya kesadaran eko-kultural bahwa bambu mempunyai kontribusi besar dalam dinamika kesenian di Banyuwangi, karena sebagian besar seniman dan masyarakat hanya menganggapnya sebagai hiburan.
Tentu butuh waktu dan cara khusus untuk mengabarkan pentingnya kesadaran ekologis kepada masyarakat. Masyarakat Banyuwangi memiliki kekayaan kultural untuk mengkampanyekan pentingnya kesadaran ekologis, termasuk tentang pentingnya budaya bambu bagi kehidupan manusia. Salah satu ekspresi kultural yang bisa digunakan adalah kesenian angklung Banyuwangi yang sejak era kolonial sampai sekarang banyak digunakan untuk mengiringi lagu-lagu berbasis lokalitas dan alam.
RUMPUN-RUMPUN YANG TERSISA
Hutan bambu luas yang masih tersisa di Banyuwangi berada di Taman Nasional Alas Purwo, Glenmore, dan Kalibendo. Hutan bambu merupakan ekosistem dominan di Alas Purwo karena sebagian besar kawasannya merupakan ekosistem karst dengan topografi landai hingga terjal.
Penyebaran bambu merata di sepanjang tepi kawasan hingga kawasan inti di Pos Pancur. Ekosistem bambu di Alas Purwo ini masih terjaga karena masuk ke dalam pengawasan pihak Taman Nasional yang dijamin undang-undang.
Legitimasi undang-undang, setidaknya, memberikan perlindungan kepada keberadaan jenis-jenis bambu di tempat ini. Meskipun demikian, masih ada saja pencurian terhadap jenis-jenis bambu tertentu seperti bambu tali.
Kalau di Purwo saja bambu masih menjadi sasaran pencurian, apalagi di kawasan hutan yang tidak memiliki status taman nasional. Tingginya kebutuhan akan bambu dari jenis tertentu di masyarakat, menjadikan para pencuri selalu berusaha untuk mengambilnya dari kawasan hutan.
Kenyataan ini membuktikan bahwa kebutuhan ekonomi seringkali melululantakkan lanskap alam dengan beragam makhluk hidup non-manusia di dalamnya.
Berbagai argumen keselamatan lingkungan yang didengungkan rasa-rasanya tidak pernah digubris. Mendesakknya kebutuhan hidup, khususnya bagi mereka tidak memiliki akses ekonomi seperti sawah dan kebun, seringkali dimainkan oleh kelompok tertentu untuk membeli dan menjual kembali bambu yang mereka curi.
Di Glenmore, kawasan hutan bambu berada dalam kawasan Perhutani. Kawasan hutan bambu ini memang dilindungi sejak era kolonial karena berkaitan dengan tempat sumber air. Kawasan ini memang tidak terbuka untuk umum ataupun untuk kepentingan wisata karena keberadaannya difungsikan sebagai kawasan konservasi. Beberapa macam jenis bambu terdapat di kawasan ini seperti bambu petung, petung hitam, kuning, ori, Jepang, China, dan jenis-jenis lainnya.
Secara ekonomis, wilayah ini tentu akan menghasilkan uang cukup banyak apabila dibuka untuk wisata minat khusus, bambu. Tentu, pihak Perhutani punya pertimbangan tersendiri untuk membiarkan kawasan hutan bambu ini sebagai wilayah konservasi.
Ketika hutan bambu ini dijarah atau ditebang oleh warga atau korporasi, keberlangsungan sumber airnya bisa terancam dan menyebabkan krisis pertanian di banyak wilayah pertanian di Banyuwangi yang selama ini terkenal dengan produk-produk unggulannya.
Di dekat kawasan ini juga terdapat kelompok pembibit bambu untuk kepentingan konservasi. Keberadaan para pembibit inilah yang bisa menjadi ‘kader-kader’ ekologis untuk terus mengembangkan ekosistem bambu di kawasan ini dan sangat mungkin ditularkan ke kawasan-kawasan lain.
Dengan terjaganya kawasan hutan bambu di Glenmore, pasokan air tanah ke wilayah-wilayah di bawahnya bisa terjaga, meskipun karena faktor perubahan iklim dan semakin berkurangnya pohon-pohon endemik penahan dan penyimpan air menjadikan debet air berkurang.
Hutan bambu yang tidak kalah luas terdapat di wilayah perkebunan Kalibendo, Kecamatan Glagah. Hutan bambu yang dikelola oleh pihak pekebun swasta ini menjadi ‘tandon’ air yang cukup bagus yang menjamin ketersediaan air tanah untuk kawasan di bawahnya. Sama seperti hutan bambu Glenmore, hutan bambu ini juga tidak terbuka untuk umum atau untuk kepentingan pariwisata.
Bahkan, untuk bisa observasi di hutan ini, peneliti harus mengajukan izin yang tidak bisa selesai dalam waktu sehari pengurusannya. Ketatnya prosedur ini mengindikasikan bahwa kawasan hutan bambu Kalibendo benar-benar diperlakukan istimewa karena fungsi ekologisnya yang luar biasa.
Kebijakan pihak pekebun swasta untuk mengamankan hutan bambu merupakan bentuk investasi masa depan yang menguntungkan secara ekologis dan ekonomis.
Secara ekologis, keberadaan hutan bambu akan memperkuat tanah dan menyimpan air yang tentu bermanfaat bagi masyarakat di bawah. Secara ekonomis, pihak perkebunan akan mendapatkan jaminan air yang berlimpah yang tentu saja bermanfaat untuk proses budidaya tanaman komersil dan untuk memenuhi kebutuhan air buat para pekerja.
Selain di alas Purwo, masih ada juga hutan bambu dalam skala yang lebih kecil, seperti di wilayah Rowo Bayu, Songgon. Pohon bambu bercampur dengan pohon-pohon endemik dan pinus yang merupakan peninggalan Belanda. Hutan bambu di Rowo Bayu memiliki fungsi yang sangat penting karena menjadi penahan cadangan air yang menjadi sumber bagi salah satu sungai di Banyuwangi.
Kuantitas air yang melimpah di Rowo Bayu dan cerita-cerita seputar lokasinya yang dikatakan sebagai tempat bertapanya Tawangalun, Raja Blambangan, menjadikan tempat ini sering didatangi orang-orang yang ingin berdoa untuk kelancaran usaha atau pekerjaan mereka. Sumber air melimpah itu berada tepat di bawah rumpun-rumpun bambu yang memang sengaja dipelihara.
Penjaga situs Rowo Bayu, Saji, menjelaskan bahwa sebelum tahun 2003, kondisi bambu di tempat ini rusak karena digunakan oleh warga untuk keperluan sehari-hari, tanpa menanam lagi. Ketika perlahan-lahan bambu dirawat dan dilarang untuk ditebang warga, rumpun bambu di Rowo Bayu tumbuh dengan baik.
Implikasi dari masih banyaknya rumpun bambu adalah terjaganya pasokan air yang mengalir ke rawa dan ke sungai yang dimanfaatkan untuk pertanian. Selain dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian masyarakat Songgon dan kecamatan-kecamatan di bawanya, keindahan Rowo Bayu juga menjadi tempat wisata alam dan ritual bagi banyak pengunjung.
Untuk kepentingan ritual, banyak pengunjung, baik dari Banyuwangi maupun luar Banyuwangi dan luar Jawa Timur, yang datang ke sumber air untuk tujuan-tujuan tertentu. Menurut Jinis, penjaga situs sumber yang diyakini sebagai tempat pertapaan Prabu Tawangalun, banyak pengunjung yang mandi di sumber yang airnya sangat jernih. Sebagian besar dari mereka ada yang sekedar laku batin untuk menyerap energi positif di bekas pertapaan Prabu Tawangalun.
Sebagian lagi ingin agar keinginan mereka seperti jadi pimpinan pemerintahan, kepala desa, anggota DPRD, atau mendapatkan jodoh, rezeki, dan sembuh dari penyakit bisa terkabul dengan bantuan energi positif yang ada di sumber. Terlepas benar atau tidaknya, keberadaan sumber air di Rowo Bayu bisa tetap terjaga karena banyak orang yang membutuhkannya.
Selain semakin berkurangnya hutan bambu, di sebagian besar wilayah Banyuwangi keberadaan rumpun-rumpun bambu di sempadan sungai juga semakin berkurang. Semakin menyusut atau hilangnya sumber-sumber kecil di sepanjang sungai merupakan dampak langsung berkurangnya barongan di sempadan sungai, selain menyebabkan mudahnya tanah tergerus air atau longsor ketika hujan deras mengguyur.
Dari beberapa wilayah yang saya kunjungi, seperti Glenmore dan Sempu, krisis rumpun bambu di sempadan sungai benar-benar nyata dan membutuhkan penanganan serius. Memang masih ada sebagian kecil wilayah sempadan yang ditumbuhi rumpun bambu, namun mayoritas sempadan sudah tidak memiliki rumpun bambu.
Alasan utama adalah bambu akan menghalangi sinar matahari menuju tanaman di sawah atau di tegalan. Akibatnya, tanaman tidak bisa tumbuh subur karena tidak mendapatkan cukup sinar yang mendukung proses fotosintesis. Alasan ini memang ada benarnya. Namun, lahan yang terhalangi sinar matahari hanya sebagian kecil yang mengalami pertumbuhan tanaman kurang baik.
Selain ditebang karena menghalangi sinar matahari, rumpun-rumpun bambu di sempadan kali juga banyak ditebang secara sembarangan untuk kepentingan proyek bangunan. Biasanya digunakan untuk menyanggga strutkur cor bangunan. Proyek-proyek pemerintah atau swasta berskala besar biasanya membutuhkan bambu yang cukup banyak. Akibatnya, pihak pemborong akan mencari bambu ke warga yang biasanya memiliki rumpun bambu di belakang rumah atau di sempadan kali.
Inilah yang menyebabkan rusaknya rumpun bambu di sempadan kali. Apalagi, masyarakat kurang memperhatikan regenerasi pohon bambu. Pembangunan proyek-proyek fisik di Banyuwangi, dengan demikian, menjadi tantangan dan permasalahan tersendiri karena menjadi ancaman serius bagi keberadaan ekosistem bambu.
EKONOMISASI & KULTURALISASI BAMBU: DARI KERAJINAN HINGGA KESENIAN
Pemanfaatan bambu di Banyuwangi memang tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan sehari-hari warga, seperti rumah, gubuk, dan wadah makanan. Rumah berbahan bambu merupakan kreasi kultural masyarakat yang memanfaatkan banyaknya bambu di sekitar mereka.
Begitupula ketika mereka menggunakan bambu untuk membuat wadah-wadah yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari seperti besek pindang, wakul (tempat nasi), dan kukusan (tempat menanak nasi). Belum lagi perabot-perabot rumah tangga berbahan bambu seperti kursi dan meja.
Dalam praksis demikian, relasi erat antara manusia dan alam lingkungan sulit untuk dipisahkan. Mengikuti logika ekologi kultural, manusia dan kebudayaan selalu bergantung kepada kondisi alam lingkungan di sekitar mereka. Sebaliknya, keberlangsungan alam juga bergantung kepada manusia.
Bisa diduga, jauh sebelum mengenal rumah berbahan batu-bata, nenek moyang masyarakat Banyuwangi menggunakan bambu untuk membangun rumah dan membuat peralatan dapur. Bahkan, capaian mereka tidak lagi sebatas kepada produk-produk fungsional, tetapi juga produk estetik-seni, seperti musik angklung. Meskipun zaman dan masyarakat sudah berubah akibat proses pembangunan dan modernisasi, kita masih bisa melihat bagaimana relasi ekologis-kultural yang dibangun masyarakat Banyuwangi.
a. Kerajinan Bambu di Banyuwangi: Karya Seni Fungsional Berdimensi Ekonomi
Pada 11-13 Mei 2017, di Desa Gintangan, Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi, diadakan Gintangan Bamboo Festival yang menjadi bagian dari Banyuwangi Festival (B-Fest). Bermacam kostum berbahan bambu digelar dalam fashion show di jalan desa. Selain itu, juga digelar pelatihan menganyam bambu untuk para pelajar.
Dalam sambutan yang disebarluaskan ke media, Bupati Abdullah Azwar Anas menjelaskan bahwa dalam festival ini ditampilkan beragam ornamen dan atraksi berbasis bambu. Warga Gintangan mendesain dan menjadikan bambu sebagai atraksi seni. Menurutnya, kerajinan tersebut sangat sesuai dipadukan dengan pariwisata. Kreativitas mereka keren, luar biasa.
Ini tidak hanya mendukung perekonomian daerah lewat kerajinan bambunya, tapi juga bersemangat memunculkan ide-ide kreatif dengan mengemas potensi desa lewat ajang menarik semacam ini. Semua persiapannya dilakukan secara bergotong-royong. Semangat gotong royong seperti ini yang akan menjadikan Banyuwangi menjadi besar (www.pikiran-rakyat.com).
Pilihan untuk menggelar Festival Bambu tidak bisa dilepaskan dari kemampuan kreatif warga Gintangan untuk memanfaatkan bambu di Banyuwangi sebagai bahan kerajinan bermacam benda fungsional-artistik, dari wadah untuk keperluan sehari-hari, hingga kap lampu dan kopyah berbahan bambu.
Dalam perkembangan awal, sebelum era 1980-an, para perajin bambu hanya memroduksi wakul dan kukusan. Pada masa lalu, sebelum dikenalkannya alat-alat dapur modern, warga Gintangan memilih untuk membuat keperluan rumah tangga, karena peminatnya sangat banyak. Ini menunjukkan bahwa sejak dulu, bambu telah menjadi pendukung aktivitas rumah tangga, khususnya yang berkaitan dengan dapur, sekaligus menghasilkan keuntungan ekonomis bagi para pengrajinnya.
Bahkan, untuk memperkuat posisi geo-kultural Gintangan sebagai pusat kerajinan bambu di Banyuwangi, masyarakat secara turun-temurun memelihara cerita tentang asal-usul desa ini. Menurut Kepala Desa Gintangan, Rusdianah, nama Gintangan berasal dari kata “Gontangan” yaitu alat untuk membawa air yang terbuat dari bambu dan memiliki keterkaitan dengan peristiwa historis masa lalu, meskipun masih bersifat dongeng (travel.kompas.com).
Gontangan dari bambu dianyam oleh Patih Suluh Agung, seorang punggawa kerajaan Blambangan yang melarikan diri dari perang di Rawa Bayu, Songgon. Patih dan prajuritnya kalah perang melawan tentara Belanda, sehingga mereka harus melarikan diri. Karena banyak prajurit yang terluka dan sudah tidak kuat berjalan, Patih memerintahkan mereka beristirahat.
Demi melihat kondisi prajurit yang menyedihkan, Patih memerintahkan dua prajurit yang masih sehat untuk mencari air. Akhirnya, mereka menemukan “Banyu Panguripan” atau air kehidupan yang kemudian mereka masukkan ke dalam gontangan. Selanjutnya, tempat beristirahat prajurit tersebut akhirnya disebut Gontangan yang kemudian dikenal dengan Gintangan.
Fungsi tuturan bernuansa historis-mitis tersebut bukan tanpa kepentingan. Para pengrajin di Gintangan ingin terus-menerus memroduksi dan menyebarlauskan wacana tentang keunggulan dan keutamaan hasil kerajinan desa ini. Ke dalam wacana tersebut akan memperkuat keyakinan dan semangat para pengrajin untuk terus berkarya sehingga akan terus menghasilkan terobosan-terobosan kreatif dalam hal desain maupun bentuk.
Sementara, untuk keluar, wacana historis-mitis ini berkontribusi terhadap pengakuan akan pernik-pernik indah dalam kriya fungsional-artistik yang dihasilkan warga Gintangan, sehingga para pengrajin akan mendapatkan legitimasi kultural sekaligus mendapatkan rezeki ekonomi ketika banyak pemesanan.
Bahkan, dalam Gintangan Bamboo Festival 2018 diciptakan dan digelar pertunjukan sendratari yang berkaitan dengan bambu, Jajang Sebyarong. Shulhan Hadi menggambarkan sendratari tersebut sebagai berikut.
Sebuah fragmentasi seni dibuka dengan penampilan tari gandrung. Setelah menyajikan gerakan tari, para penari kemudian bersimpuh di sepanjang karpet yang memanjang di depan pentas. Selanjutnya, dua penari dengan karakter Betara Kala datang dan bersemayam pada sebuah rimbunan bambu.
Setelah itu, empat pria berpakaian merah menari-nari, mereka ini digambarkan sebagai masyarakat desa yang berniat menebang bambu untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, rencana itu tidak berjalan mulus. penebangan bambu baru bisa dilakukan setelah mereka mendapat petunjuk dari sesepuh desa.
Adegan tersebut digambarkan dengan seorang berkumis putih dan berjubah putih, bersila lalu bertapa. Selanjutnya, rimbunan bambu bergoyang tidak karuan. Penghuni bambu pun kemudian keluar bersama seorang putri cantik jelita. (radarbanyuwangi.jawapos.com)
Dalam hal kreativitas, sendratari yang diarahkan oleh Kurianto, Guru SDN 02 Gintangan, memang tidak bisa dilepaskan dari ekosistem kultural Banyuwangi yang sangat bagus serta kecerdasan kreator dalam memformulasi karya estetik yang mengusung topik ke-bambu-an dengan segala pernik-perniknya. Di Banyuwangi banyak pelaku seni yang sudah terbiasa terlibat dalam pertunjukan tari garapan ataupun kesenian rakyat seperti gandrung dan janger.
Pengalaman Kurianto sebagai pemain pertunjukan Janger memudahkannya untuk menciptakan gerakan-gerakan tari yang menghadirkan nuansa gebyar karena memasukkan unsur-unsur tari khas dan drama khas Banyuwangi. Keberadaan para pelaku seni yang bisa diajak bekerjasama untuk penggarapan juga memudahkan penciptaan Jajang Sebyarong. Selain itu, dukungan dari pihak pemerintah desa menjadikan Kurianto bisa memaksimalkan tari garapannya.
Apa yang menarik adalah bagaimana tari ini menghadirkan konstruksi wacana stereotip terkait barongan, rumpun bambu, yang tidak bisa dilepaskan dari imaji dan pemahaman publik, khususnya terkait aspek-asepk mistis. Dalam konteks masyarakat desa, barongan selain memberikan bambu yang bermanfaat untuk kehidupan manusia, juga diyakini tempat bersemayam makhluk-makhluk ghaib yang berbeda dimensi dengan manusia.
Dalam tari ini, misalnya, kita bisa jumpai dua penari yang figurnya menyerupai Betara Kala (raksana yang berkaitan dengan waktu). Kehadiran dua figur raksasa tersebut merupakan usaha estetik kreator untuk memudahkan pemahaman para penonton tari ini bahwa dalam barongan bersemayam “kekuatan supernatural” yang menjaga dan melindungi bambu agar tidak ditebang secara semena-mena.
Kekuatan supranatural tersebut sekaligus menjadi kehadiran wacana ekologis tentang pentingnya penghormatan terhadap bambu agar tidak diperlakukan sembarangan oleh manusia karena dihuni makhluk ghaib. Wacana tersebut merupakan transformasi budaya nenek moyang yang selalu menghormati tempat-tempat keramat yang terdapat pohon-pohon besar, termasuk bambu karena dianggap ada “penunggunya”.
Pada masa lalu, sesepuh desa membuat ritual di tempat-tempat keramat yang biasanya ada pohon besar atau rumpun bambu. Mereka memberikan sesaji dan mengirimkan doa kepada arwah leluhur. Dari kacamata ekologis, budaya tersebut merupakan usaha untuk menjaga kelestarian pepohonan yang berfungsi menahan sumber air. Kearifan ekologis itulah yang ditawarkan oleh adegan tersebut. Jadi, tidak dimaknai sebagai bentuk kesyirikan karena ada tujuan komunal untuk menjaga sumber air dan fungsi-fungsi lainnya.
Wacana stereotip lain bisa kita temukan dari kehadiran sosok sesepuh desa berjubah putih yang bisa bernegosiasi melalui tapa brata agar kedua makhluk raksana itu mengizinkan warga menebang untuk keperluan hidup mereka. Tentu saja adegan ini, lagi-lagi, hanya menjadi cara mudah untuk mengajak publik penonton memahami bahwa menebang bambu tidak bisa sembarangan.
Ada kearifan yang masih diyakini dan diterapkan oleh masyarakat desa. Bukan berarti harus bertapa seperti yang dilakukan oleh sesepuh dalam adegan tari. Namun, warga diharapkan memperhatikan aspek-aspek pelestarian, bukan sekedar menebang dan menghabiskan bambu untuk kepentingan kehidupan.
Kehadiran “putri jelita” bisa dibaca sebagai kehadiran kebahagiaan dan kesejahteraan yang akan didapat warga Gintangan ketika mereka bisa memanfaatkan bambu secara benar dan tepat serta memperhatikan kearifan-kearifan lokal. Mengapa harus “putri jelita”? Dari sudut pandang kultural, sosok perempuan diposisikan sebagai subjek penentu bagi keberlangsungan kehidupan karena memiliki fungsi reproduksi.
Apalagi dalam budaya Banyuwangi, terutama dalam hal ritual-ritual agraris yang masih dilaksanakan oleh masyarakat desa seperti Seblang, figur perempuan berperan penting. Munculnya “putri jelita” bersama-sama makhluk penunggu rumpun bambu, menandakan bahwa segala kearifan dalam memperlakukan bambu akan menghasilkan kebahagiaan dan kesejahteraan. Dan, itu semua sesuai dengan harapan dan apa yang dilakoni warga Gintangan; membuat kerajinan berbahan bambu.
Meskipun berfungsi sebagai pemanis, Jajang Sebyarong mampu mengantarkan pesan ekologis yang seharusnya dipahami oleh penonton dan warga Gintangan: memelihara dan menggunakan bambu secara arif agar bisa mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan secara maksimal.
Sejak 2017 hingga saat ini, Gintangan Bamboo Festival juga menghadirkan fashion show dengan pakaian tematik berbahan bambu. Para warga yang terlibat mendesain bermacam bentuk dan motif fashion semenarik mungkin. Pada tahun 2018, beberapa tema yang diusung kreator dan diperagakan oleh para model adalah barong, Dhamarwulan, bunga, hingga daun bambu (news.detik.com).
Sebanyak 56 peraga berjalan di jalan desa yang diubah jadi catwalk. Warga desa dan para penonton di luar Gintangan serta wisatawan domestik memadati jalan yang dilalui oleh para peraga. Para kreator yang berasal dari pengrajin bambu antusias mengikuti gelaran fashion yang terinpirasi Banyuwangi Ethno Carnival ini rela mengeluarkan uang di atas 1.000.000,- demi karya fashion yang bagus.
Bambu bukan sekedar menjadi kerajinan bernilai fungsional, tetapi juga karya estetik yang cukup indah secara visual. Tidak mengherankan ketika banyak pewarta yang mengabadikan keunikan fashion show bambu. Para penggiat media sosial juga tidak ketinggalan. Tentu saja blow up tersebut menguntungkan masyarakat Gintangan karena produk-produk kerajinan akan terpromosikan secara massif.
Selain target kultural, tarian dan peragaan busana dalam Gintangan Bamboo Festival jelas memiliki target ekonomi untuk memperkuat promosi melalui banyaknya berita di media nasional maupun internasional. Fashion bambu jelas akan memunculkan daya tarik tersendiri karena selama ini hanya digunakan untuk membangun rumah dan bahan kerajinan. Ketika semakin banyak pihak yang penasaran dengan fashion show, mereka akan mencari informasi apa dan bagaimana Gintangan itu.
Pada saat itulah berita-berita terkait kerajinan bambu menyebar ke khalayak luas. Kerajinan bambu di Gintangan mulai menggeliat pada era 1980-an dengan variasi jenis karya yang beraroma modern, seperti kap lampu, hantaran, tudung saji, tempat tisu, hingga songkok. Semakin variatifnya jenis kerajinan dan meningkatnya permintaan pasar regional, nasional, maupun internasional, menjadikan kebutuhan akan bambu di Banyuwangi juga semakin meningkat.
Di saat bersamaan, para perajin juga merasakan rezeki ekonomi. Ketersediaan bambu sebagai bahan baku kerajinan menjadi kebutuhan mutlak. Ketika berkurang karena alasan semakin berkurangnya lahan bambu di Banyuwangi, tentu para pengrajin akan mengalami masalah serius. Artinya, selain permasalahan ekologis berupa ancaman longsor atau kekurangan sumber daya air, roda perekonomian yang biasanya digerakkan oleh perdagangan kerajinan bambu di Gintangan akan mengalami hambatan.
Selain di Gintangan, sentra kerajinan bambu lain di Banyuwangi terdapat di Gombengsari. Meskipun belum pernah digelar festival seperti di Gintangan, para pengrajin bambu Gombengsari tidak kalah kualitasnya. Bahkan, sebagian bahan baku anyaman di Gintangan dan Probolinggo dikirim dari kelurahan ini.
Menarikya, mayoritas pengrajin di sini adalah ibu rumah tangga. Mereka bekerja dengan serius tapi santai karena mengerjakan anyaman bambu di rumah. Ketersediaan bahan baku berupa anyaman bambu tentu saja cukup membantu para pengrajin di Gintangan. Akan muncul simbiosis mutulaisme antara pengrajin di Gombengsari dan Giintangan yang biasanya memenuhi pasar nasional dan internasional.
Kawasan lain di Banyuwangi yang mulai mengembangkan-kembali kerajinan bambu adalah Papring Kalipuro. Para perempuan adalah penggerak utama kerajinan besek di Papring. Sejak tahun 1940-an, wilayah Papring sudah menjadi sentra produksi anyaman besek bambu. Krisis ekonomi 1998 menyebabrkan mundurnya kerajinan besek di Papring (kampoengbatara.com).
Sebagai usaha mengembangkan usaha kerajinan besek bambu, Kampung Batara, sebuah kelompok belajar di Papring, sejak 2017 menyelenggarakan pawai sebagai event untuk memromosikan kerajinan besek. Pawai yang diikuti ibu-ibu pembuat besek tersebut, meskipun berlangsung sederhana, memunculkan semangat untuk terus mengembangkan kerajinan bambu sekaligus memberikan pembelajaran kepada generasi penerus tentang bambu yang bisa memberikan kesejahteraan kalau dikembangkan secara benar.
Dari paparan di atas, kita bisa melihat betapa bambu mampu memberikan kemanfaatan ekonomi yang bisa menyejahterakan warga Banyuwangi melalui aktivitas kerajinan. Kesadaran kreatif untuk menciptakan kreasi-kreasi baru menjadi kunci untuk mengembangkan usaha kerajinan.
Tidak sekedar besek, tetapi juga karya-karya estetik-fungsional lain yang bernilai ekonomi tinggi. Meriahnya Banyuwangi Festival mendorong sentra kerajinan bambu seperti di Gintangan dan Papring membuat acara yang bernuansa promosi. Tentu pembesaran dan valoriasi melalui bermacam acara bermateri bambu tidak menjadi masalah sejauh diimbangi dengan aktivitas-aktivitas regenerasi kreatif untuk generasi muda.
Selain itu, yang semestinya tidak boleh diabaikan adalah aktivitas pelestarian bambu, seperti melalui pembibitan dan penanaman jenis-jenis bambu yang mulai langka di Banyuwangi. Ketersediaan bambu yang semakin beragam, tentu bisa membuka peluang-peluang baru untuk pengembangan jenis kerajinan yang semakin beragam serta bisa menjaga eksistensinya agar tidak surut karena minimnya bahan baku.
Selama ini pihak Pemkab masih sebatas memfasilitasi masuknya agenda festival bambu ke dalam Banyuwangi Festival, tetapi belum memikirkan secara serius program pelestarian bambu-bambu endemik yang bisa bernilai ekologis sekaligus menjamin keberlangsungan aktivitas ekonomi kreatif.
b. Angklung: Musik Agraris Berbahan Bambu
Sebagai masyarakat agraris yang menikmati kesuburan tanah, masyarakat Banyuwangi tidak lupa mengembangkan kesenian yang melengkapi proses bertani mereka. Adalah masyarakat Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, yang secara turun-temurun masih mempertahankan tradisi bermain angklung, alat musik yang terbut dari bilah-bilah bambu, ketika mereka sedang menggarap sawah.
Angklung yang terkenal di desa ini adalah angklung paglak, karena dimainkan di atas bangunan tinggi menjulang di pinggir sawah yang disangga tiang bambu. Paglak mempunyai tinggi 7-10 meter dan di bagian atas terdapat plonco, tempat duduk seluas 1,5 x 2 m. Di atas plonco itulah para penabuh melakukan atraksi. Sementara, bagian atapnya adalah welit, anyaman bambu.
Menurut, Serat, salah satu sesepuh Kemiren, angklung paglak merupakan kesenian yang paling tua di desa ini. Awalnya, orang-orang dari Desa Cungking pindah ke wilayah baru yang kemudian diberi nama Kemiren. Mereka membabat hutan untuk dijadikan lahan pertanian padi dan tanaman pangan lainnya.
Sebagai bentuk rasa syukur atas keberhasilan menanam padi, orang-orang Kemiren memainkan angklung di atas paglak. Oleh karena itu disebut angklung paglak. Para penabuh angklung terdiri dari 4 orang; 2 penabuh angklung dan 2 penabuh kendang. Mereka mengiringi para petani yang memanen padinya, agar terhibur dan tidak merasa lelah.
Selaras dengan keterangan Serat, Andik, sesepuh Dusun Kedaleman, Desa Kemiren, menduga angklung sebagai kesenian pertama di Bumi Blambangan. Menurutnya, angklung paglak pertama kali diperkenalkan oleh Mbah Kebo alias Mbah Buang sekitar tahun 1880 (http://www.kabarbanyuwangi.info/angklung-paglak-salah-satu-seni-musik-tertua-di-banyuwangi.html.).
Data ini memang masih perlu diselidiki lebih lanjut, karena bersifat turun-temurun secara lisan, belum ada data tulis. Mbah Kebo berasal Bali yang karena masalah keluarga, dia pindah ke Banyuwangi dan lantas bermukim di wilayah yang saat ini dikenal dengan Kampung Bali, Kelurahan Pengajuran, Kecamatan Banyuwangi.
Gelaran angklung paglak di sawah-sawah ketika panen memiliki gending-gending yang khas, tetapi tidak ada liriknya. Para penabuh hanya menghadirkan alunan nada yang tenang dan terasa damai sesuai dengan jiwa agraris masyarakat Kemiren dan sekitarnya. Menurut Serat ada beberapa gending yang sampai sekarang masih dikenal warga, antara lain: Arum Gandariya, Lebak-lebak, Kembang Jeruk, dan yang lain. Perkembangan kesenian lagu Banyuwangian pada era 60-an hingga 80-an, pada akhirnya, menjadikan penabuh angklung paglak juga memainkan lagu-lagu yang mulai dikenal warga Banyuwangi.
Keberadaan angklung paglak di Kemiren membuktikan bahwa masyarakat pewaris Blambangan ini mampu menciptakan karya kultural yang memanfaatkan kekayaan bambu yang ada untuk mendukung kerja-kerja pertanian. Kemampuan membangun relasi harmonis sekaligus kreatif ini menegaskan bahwa kecerdasan kreatif manusia dalam memahami dan memanfaatkan kekayaan alam secara arif bisa mendorong lahirnya kreativitas-kreativitas lokal yang terus bisa dikembangkan dan diberdayakan.
Angklung paglak juga mampu menyemai identitas budaya agraris yang sampai sekarang masih berlangsung dalam kehidupan masyarakat Kemiren. Memang mereka sudah hidup dalam kondisi yang semakin modern, tetapi kesenian agraris seperti angklung masih dipertahankan karena menjadi salah satu penanda keterhubungan ekspresi budaya dengan kekayaan lingkungan, dalam hal ini bambu—dan aktivitas pertanian.
Dengan alasan untuk melestarikan angklung paglak, Pemkab Banyuwangi pada tahun 2018 juga membuat Festival Angklung Paglak. Sama dengan festival yang lain, acara ini sebenarnya bertujuan untuk menjual eksotika budaya tradisional demi menarik kedatangan para wisatawan ke Banyuwangi.
Kearifan lokal dan gotong-royong dari tradisi angklung paglak disampaikan sebagai keunikan, sehingga kepentingan pariwisata tampak bisa dipadukan dengan kepenitngan pelestarian budaya lokal (www.beritasatu.com).
Begitulah logika dan wacana Pemkab Banyuwangi dalam menjadikan budaya lokal untuk mendukung industri pariwisata. Meskipun demikian, kita bisa mengkritisi, karena regenerasi angklung paglak tidak dipikirkan secara serius, utamanya yang ditujukan untuk anak-anak dan kaum remaja.
Selain angklung paglak, pada era 1950-an berkembang angklung caruk, di mana dua grup angklung bertemu di atas panggung. Angklung caruk ini sudah memasukkan instrumen gamelan dalam pertunjukannya, sehingga gelaran angklung semakin rancak. Menurut Slamet, 76 tahun, salah satu saksi sejarah dan pelaku angklung, pertunjukan angklung caruk sangat ramai, masing-masing grup membawa supporter.
Bahkan, pertarungan kreatif di atas panggung seringkali dibumbui dengan "pertarungan ghaib" antarpendukung kelompok. Misalnya, kelompok yang satu tiba-tiba tidak bisa bunyi alat musiknya. Slamet juga mengatakan bahwa antarpendukung kadang juga terjadi bentrokan kecil, tapi tidak sampai membesar. Kondisi itu akibat kecintaan kepada masing-masing kelompok yang merepresentasikan identitas desa mereka masing-masing.
Selain itu, di Banyuwangi pada era 1950-an juga berkembang angklung gending. Adalah Mochammad Arif yang memulai menciptakan lagu-lagu berbahasa Banyuwangi yang dalam pertunjukannya diiringi angklung, kendang, kluncing, gong, dan suling. Sebelum 1950 Arif sudah aktif menciptakan lagu dengan alat angklung yang ia buat sendiri dari bambu yang juga ia cari sendiri (www.bbc.com).
Sebagai mantan pejuang di zaman Jepang yang sangat paham kehidupan sehari-hari masyarakat Banyuwangi, Arif menciptakan lagu Genjer-genjer untuk menggambarkan bagaimana warga memetik dan mengola sayur liar di sawah berair sebagai bahan makanan. Menurut keterangan Syamsi, putra Arif, Genjer-genjer yang ditulis ketika tahun 1943, zaman Jepang, menceritakan penderitaan masyarakat saat itu yang harus makan genjer yang juga dijadikan makanan bebek. Ibunya sering masak daun genjer karena bahan makanan sulit didapat (regional.kompas.com.)
Gairah berkebudayaan pada tahun 1950-an hingga 1960-an melalui kesenian angklung Banyuwangi, baik paglak, caruk, maupun gending, menunjukkan bahwa keterhubungan lingkungan, pertanian, dan kesenian menjadi relasi strategis-kreatif di mana para seniman dan rakyat menjadi pelaku aktif dan penikmat yang sama-sama berperan.
Ketersediaan bambu yang melimpah di Banyuwangi, menjadi berkah alam yang menjadikan manusia-manusia kreatif berimajinasi dan berpikir untuk menggunakannya sebagai alat musik yang bisa menghibur sekaligus menyampaikan pesan-pesan tentang pentingnya pendidikan, gotong-royong, dan pemertahanan budaya.
Tragedi 65 menjadikan kesenian angklung lenyap selama hampir 5 tahun dari bumi Banyuwangi. Kesenian ini dianggap kesenianya PKI, sehingga dinyatakan terlarang oleh rezim Negara. Para seniman yang masih selamat pun tidak berani melakukan gelaran atau sekedar latihan karena ketatnya pengawasan rezim militer.
Kondisi ini, tentu saja, berkontradiksi dengan gairah berkebudayaan dan berkesenian yang sebelumnya begitu semarak; melibatkan semua lembaga seni dan budaya di Banyuwangi. Kesenian angklung dari segala jenis juga dilarang, sehingga warga petani pun tidak berani memainkannya ketika panen. Bisa dibayangkan, betapa kering dan senyapnya Banyuwangi tanpa alunan angklung, tanpa rancak gamelan dan kendang.
Itulah konsekuensi politik yang harus ditanggung seniman dan rakyat ketika sebuah tragedi yang dikaitkan dengan aktivitas kultural yang mereka lakoni; sebuah stigmatisasi sebagai cara rezim militeristik Suharto untuk mengendalikan keadaan dan meminimalisir, atau bahkan, menghilangkan pengaruh ideologi kerakyatan yang disebarluaskan oleh PKI di Banyuwangi.
Pada masa 1970-an, setelah dibungkam dan dilarang berkarya, para seniman musik dan sastra diajak bergabung dalam kelompok angklung binaan pemerintah kabupaten. Salah satu yang menginisiasi pembentukan-kembali grup angklung gending adalah Supranoto.
Menurut Supranoto, untuk menghidupkan-kembali kesenian angklung, tantangannya cukup berat karena stigma Lekra dan PKI masih belum hilang dari bumi Banyuwangi, khususnya kampung Tumenggungan, tempatnya tinggal, yang dulu merupakan basis orang-orang merah. Namun, ia berusaha mendekati para pejabat penting di Banyuwangi, termasuk Bupati Supa’at. Usahanya berhasil, dia kemudian mendirikan grup angklung Sayu Wiwit.
Ketika ia menggelar latihan bersama para anggotanya yang semuanya mantan anggota Lekra, masyarakat berduyun-duyun untuk datang melihat. Respons masyarakat sekitar tempat latihan Sayu Wiwit menunjukan betapa angklung masih menjadi kesenian idola, karena mereka bisa mendengarkan kembali lagu-lagu Banyuwangen yang selama beberapa saat dibungkam paksa. Untuk memuluskan jalannya, Supranoto melakukan sedikit modifikasi, khususnya dalam hal tarian.
Dimulainya usaha rekaman angklung yang dikendalikan Pemkab Banyuwangi menunjukkan bahwa kebijakan rezim Orba ternyata juga sedikit memberikan ruang untuk berkembang bagi para seniman, meskipun mereka tetap dibatasi oleh garis-garis ideologis pembangunanisme yang mengedepankan pendekatan keamanan.
Berbeda dengan angklung di era sebelumnya, pertunjukan angklung pada masa ini sudah dilengkapi gamelan dan juga alat-alat modern seperti biola dan dimasukkannya gamelan. Lagu-lagu yang digarap adalah karya Andang CY, Basir Noerdian, Mahfud, Fatrah Abal, Armaya, dan yang lain. Gelang Alit, Kembang Galengan, Kembang Peciring, Luk Luk Lumbu, Umbul-umbul Blambangan, Amit-Amit, Dalu-dalu, dan yang lain menjadi lagu yang sangat populer.
Selain diputar di Radio Khusus Pemerintah Daerah (RKPD), lagu-lagu tersebut juga diedarkan dalam bentuk kaset pita. Angklung yang disponsori birokrat ini kemudian dikenal dengan angklung daerah dan masih dimainkan hingga saat ini.
Usaha untuk menghidupkan kembali kesenian angklung di masa Orde Baru menandakan kuatnya usaha rezim untuk menguasai kehidupan masyarakat melalui jalur kesenian/kultural. Kesenian dan media eskpresinya menjadi aparatus hegemonik yang menunjukkan bahwa negara seolah-olah memberikan kesempatan bagi kelompok seniman, sastrawan, dan budayawan untuk berkreasi sehingga kebutuhan ekspresif mereka bisa terpenuhi secara wajar.
Akibatnya, konsensus akan muncul karena rezim mau mengartikulasikan keinginan seniman, meskipun mereka tetap menegosiasikan kepentingan politiko-kultural. Rakyat kebanyakan akan melihat bahwa rezim telah bertindak benar, meskipun sebenarnya ada kepentingan kuasa yang disebarkan secara terus-menerus.Terlepas dari realitas ketatnya kontrol rezim terhadap perkembangan kesenian, nyatanya para seniman punya mekanisme untuk terus mengembangkan kesenian Banyuwangian.
Sejak era 1980-an, banyak seniman menyaksikan mulai sekaratnya angklung gending, angkung daerah, dan angklung caruk di bumi Banyuwangi. Ketenaran kendang kempul di era 1980-an awal menjadikan mayoritas masyarakat mulai meninggalkan kesenian angklung, kecuali angklung paglak yang masih dimainkan di sawah.
Tidak ada usaha sistematis dari rezim untuk menyemarakkan-kembali pertunjukan angklung yang pernah tenar di era Sukarno dan berkorelasi dengan kekayaan ekologis-agraris masyarakat Banyuwangi ini. Sanggar-sanggar tari memang semakin semarak, tumbuh bak jamur di musim hujan. Namun, semua diarahkan untuk menggarap tari garapan yang berakar dari gandrung dan ditujukan untuk memenuhi kepentingan festival, parade, atau acara-acara birokrat lainnya; sebuah kondisi yang masih berlangsung hingga saat ini.
Ritual-ritual memang dimasukkan ke dalam agenda pariwisata daerah dan semakin semarak dengan hajatan B-Fest sejak tahun 2011 hingga kini. Namun, ramainya ritual belum mampu mengembalikan-kembali keterhubungan masyarakat pelaku ritual dengan kesadaran untuk melestarikan lingkungan dalam dimensi ekologis-agraris-kultural.
Kelestarian bambu, misalnya, akan menjadi penopang bagi keberlanjutkan musik angklung dan industri kerajinan yang ada di Gintangan serta menjaga pasokan air dari sumber yang bisa terus digunakan untuk kepentingan pertanian dan kepentingan sehari-hari masyarakat. Gerakan seni dan budaya semestinya bisa memromosikan pentingnya konsep tersebut dalam karya atau gelaran.
Meskipun pasca Reformasi pagelaran angklung caruk semakin jarang di wilayah Banyuwangi, bukan berarti para senimannya sudah tidak ada. Sebagai bentuk usaha formal untuk mengatakan bahwa ada regenerasi angklung caruk, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Banyuwangi menyelenggarakan gelaran angklung caruk untuk para pelajar sejak tahun 2017.
Meskipun diikuti pelajar dengan anggota per grup 12-15 orang, Festival Angklung Caruk ini tetap mengusung struktur pertunjukan sebagaimana angklung caruk pada masa lalu. Kedua grup saling beradu-tebak gending dan ketrampilan memainkan angklung, kethuk, gong, slenthem, saron dan kluncing dengan membawakan lagu-lagu Banyuwangian.
Setiap grup akan menampilkan garapan/larasan andalannya yang dilengkapi penari, disebut badut. Setelah selesai kelompok kedua dipersilahkan untuk unjuk kebolehan juga. Fase berikutnya adalah Adol Gending, di mana di antara dua grup akan saling tebak lagu. Kelompok A akan membawakan ketukan sebuah lagu dan ketukan di angklung itu ditebak oleh kelompok kedua.
Kalau kelompok B sudah tahu, maka mereka mendapatkan kesempatan untuk memotong dengan cara ngosek, memukul gamelan secara tidak beraturan. Kelompok A harus menghentikan permainan musiknya dan mempersilahkan grup kedua untuk melanjutkan permainannya.
Apabila kelompok kedua melakukan kesalahan, maka kelompok pertama akan ngosek dan mengambil-alih kembali dan meneruskan musik hingga selesai. Para badut pun harus beradu gerakan tari dengan gending andalan kelompoknya.
Sayangnya, festival angklung caruk tersebut tidak diikuti dengan usaha pembinaan secara sistematis di desa-desa sebagai basis utamanya. Pembinaan hanya dilangsungkan ketika akan berlangsung acara. Para penabuh gamelan dan para penabuh angklung muda kurang dipersiapkan secara benar sejak usia dini. Untungnya, saat ini ada beberapa sanggar seni yang mulai memikirkan pelatihan panjak angklung dan gamelan usia dini, meskipun bisa dihitung dengan jari.
Selain permasalahan pembinaan, mencari para seniman muda atau kaum muda yang memiliki kesadaran untuk mau belajar angklung memang tidak mudah. Sangat disayangkan apabila kesenian angklung gending dan angklung caruk yang sejatinya menjadi penanda kultural budaya Banyuwangian harus diterlantarkan oleh pemerintah kabupaten.
Angklung merupakan penanda nyata bahwa masyarakat Banyuwangi memiliki keterikatan dengan lingkungan dalam mengupayakan kerja-kerja agraris sekaligus mengembangkan budaya lokal. Relasi strategis inilah yang melahirkan banyak ekspresi budaya di Banyuwangi, termasuk angklung hingga hari ini.
PENGRAJIN ANGKLUNG: POTENSI & PERMASALAHAN
Bisa dikatakan, para seniman pengrajin musik bambu selama ini tidak menjumpai masalah serius. Mengapa? Secara material, kebutuhan akan pasokan bambu masih ada, meskipun, kalau tidak hati-hati, suatu ketika akan menjadi masalah serius. Misalnya, jenis bambu ori dan petung berukuran besar yang sekarang mulai langkah. Penebangan barongan milik warga dan hutan bambu untuk kepentingan proyek secara besar-besaran merupakan penyebab utama kelangkaan tersebut.
Untungnya, selama ini, sebagaimana diutarakan Andori, pembuat angklung dari Dusun Jambean, Desa Glagah, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, pesanan yang masuk ke bengkelnya lebih banyak angklung dengan ukuran standar, sehingga kebutuhan bambu ori masih tercukupi. Hal senanda juga disampaikan Ardi, pengrajin angklung dari Desa Tamansuru, Kecamatan Glagah dan Ridwan, pengrajin angklung dan gamelan dari Dusun Watugong, Desa Wonosobo, Kecamatan Srono, Banyuwangi.
Menurut mereka, bahan dasar bambu ori untuk membuat angklung masih cukup. Namun, akan menjadi masalah kalau yang dipesan adalah alat musik bambu jenis baru yang membutuhkan bambu-bambu berukuran besar. Mereka harus mencari terlebih dahulu dan tidak bisa dalam waktu sehari atau dua hari.
Bagi pengrajin angklung seperti Andori dan Ardi, pesanan dari para seniman dan warga di Banyuwangi menjadi penopang utama usaha mereka. Kalaupun ada yang dari luar, itu hanya bersifat temporer dan biakami berasal dari warga Banyuwangi yang ada di daerah lain.
Harga per paket angklung juga variatif, sesuai dengan pesanan. Untuk paket lengkap dari ukuran kecil dan besar, biasanya Andori memasang harga Rp. 3.000.000 (harga tahun 2017). Untuk pemesanan satu set angklung, harga tidak lebih dari Rp. 1.000.000. Bagi Andori dan Ardi, semakin lancar pemesanan angklung, berarti semakin lancar pula rezeki yang akan mereka peroleh.
Selain seniman, pemesan angklung adalah sanggar-sanggar seni yang berjumlah lebih dari 100 di seluruh Banyuwangi. Selain itu, ada juga sekolah-sekolah SMP dan SMA di Banyuwangi yang membelikan angklung untuk keperluan ekstrakurikuler seni yang dikuti oleh para siswa. Sayangnya, selama ini database untuk pemesan dan pembeli angklung di kedua pengrajin tersebut masih belum bagus. Bagi mereka pencatatan masih dianggap tidak begitu penting, dibandingkan pemesanan itu sendiri.
Hal-hal seperti inilah yang ke depannya perlu diperbaiki, sehingga pengrajin bisa memetakan kategori pemesan dan bisa dijadikan sasaran promosi. Selama ini promosi yang mereka lakukan masih dari mulut ke mulut dan sebatas di wilayah Banyuwangi. Ke depannya, penggarapan aspek-aspek manajerial dan promosi bisa diperbaiki dan diperluas cakupannya sehingga pemesanan angklung Banyuwangi bisa lebih meluas ke level nasional maupun internasional.
Terlepas dari permasalahan tersebut, apa yang perlu dipikirkan secara serius ke depan adalah bagaimana menyiapkan jenis-jenis bambu yang bisa digunakan untuk membuat alat musik angklung dan alat musik jenis baru berbasis bambu sesuai dengan permintaan dari pemesan.
Bambu-bambu berukuran besar dari jenis tertentu perlu dipikirkan proses konservasinya, sehingga kalau ada pemesanan dengan kualifikasi yang berbeda dengan angklung, mereka tidak kebingungan untuk memenuhinya. Mereka tidak keberatan untuk melayani pesanan non-angklung, tetapi dengan syarat jenis bambu yang sesuai dengan permintaan tidak sulit untuk didapatkan oleh para pengrajin.
Tentu saja, ini perlu dibincangkan dan dicarikan formulasi pemecahannya secara serius yang melibatkan para sesepuh adat, pengrajin, seniman, dan warga. Sayangnya, sampai dengan tulisan ini dibuat belum ada usaha serius dari dinas terkait di Banyuwangi untuk melakukan pembibitan jenis bambu lokal yang mulai langka untuk keperluan pembuatan alat musik bambu berukuran besar. Yang kami jumpai baru pembibit mandiri di Glenmore.
Dari perbincangan dengan sesepuh adat di Desa Kemiren, saya menemukan beberapa kondisi yang mendorong kelangkaan jenis-jenis bambu tertentu dalam masyarakat. Purwadi, pengelola Rumah Budaya Osing (RBO) dan anggota Badan Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara Using (Badan AMAN Using), mengatakan bahwa selama ini warga memang jarang menanam bambu karena ada prinsip tanah yang subur menjadikan bambu tetap tumbuh dengan sendirinya, meksipun ditebang untuk bermacam kepentingan.
Kondisi ini juga diiyakan oleh sesepuh lain seperti Serat, Safari, dan Sukar. Tidak salah memang kalau warga Kemiren dan warga desa-desa lain di Banyuwangi memiliki prinsip demikian, karena kesuburan tanah bisa menghidupkan beragam tanaman dan pohon, termasuk bambu. Namun, prinsip tersebut dalam jangka menengah dan jangka panjang bisa berakibat fatal berupa semakin langka atau punahnya jenis-jenis tertentu.
Selain itu, menurut Purwadi, penebangan pohon bambu untuk kepentingan proyek pembangunan dan keperluan-keperluan massif lainnya, seringkali mengabaikan kearifan-kearifan lokal yang hidup di masyarakat. Di masyarakat Kemiren dan Tamansuruh, misalnya, terdapat beberapa pantangan yang harus dihindari bagi warga yang akan menebang bambu. Menurut Sukar, sebagai pemilik barongan bambu, tidak baik memotong bambu pada hari Rabu.
Safari menambahkan, warga tidak boleh menebang bambu di barongan yang tengah tumbuh rebung (tunas bambu). Biarkan rebung tumbuh terlebih dahulu menjadi bambu muda, baru warga dipersilahkan menebang bambu tua. Bagi warga, ketika hendak menebang bambu, tidak diperkenankan untuk memukul-mukul bambu. Berdasarkan pengalaman warga, hal itu akan menjadikan bambu mudah bubuken atau dimakan pengengat.
Bagi pengrajin musik bambu seperti Ardi, ada pantangan tersendiri untuk menebang bambu karena angklungnya mudah bubuken juga. Semua kearifan lokal tersebut merupakan bentuk penghargaan kepada bambu yang telah memberikan banyak manfaat kepada kehidupan masyarakat. Khusus, pantangan hari Rabu, itu merupakan waktu jedah yang diberikan warga agar bambu mengalami pertumbuhan yang bagus.
Bagi sesepuh adat dan pengrajin angklung, ketika kearifan-kearifan tersebut masih dijaga, sebagian usaha untuk menghindari kepunahan bambu bisa dihindari. Namun, ketika kesadaran untuk melakukan penanaman bambu belum menguat di benak warga, ancaman krisis tetaplah ada, apalagi ketika penebangan massif untuk kepentingan proyek masih terus berlangsung. Untuk itu, perlu didesain strategi dan cara agar masyarakat kembali memiliki kesadaran untuk menanam bambu.
Salah satunya adalah melalui kampanye pentingnya bambu untuk keselamatan ekologis dengan cara-cara kultural, yakni gerakan gotong-royong menanam bambu di tempat-tempat tertentu seperti di daerah aliran sungai (DAS), lereng bukit, dan lain-lain. Bagi warga desa, gerakan seperti ini sebenarnya tidak terlalu sulit dilakukan. Tinggal perangkat dan tokoh desa bermusyawarah dengan warga. Kendala utama, lagi-lagi, adalah ketersediaan bibit yang siap tanam.
Biasanya warga hanya mengambil batang bambu, dipotong dan ditanam begitu saja. Tentu saja penanaman seperti itu bukan tidak boleh, tetapi tingkat keberhasilannya tidak seperti bibit yang sudah memiliki tunas dan daun. Di sinilah pentingnya pembibitan seperti yang dilakukan secara mandiri oleh warga di Glenmore menjadi penting.
Pengrajin angklung Banyuwangi pada dasarnya siap untuk membuat alat musik bambu jenis baru yang lebih menarik dan belum ada sebelumnya. Andori mengatakan bahwa selama ini ia dan para pengrajin hanya memroduksi angklung sebagai alat musik khas Banyuwangi yang memiliki kemiripan dengan angklung Bali.
Tawaran dan tantangan untuk membuat alat musik bambu jenis baru, jelas akan memberikan pengalaman tersendiri karena ia diberikan keleluasaan untuk membuat kreasi sehingga bisa menghasilkan produk yang berbeda dari yang sudah ada. Penciptaan alat musik bambu jenis baru tentu akan menghadirkan nuansa kreatif yang berbeda sehingga lebih menarik bagi masyarakat.
SENIMAN ANGKLUNG & PERLUNYA KESADARAN EKOLOGIS
Sejarah kesenian dan budaya Banyuwangi sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari integrasi dengan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Ritual, tari, dan musik dulunya merupakan respon para seniman terhadap kekayaan alam, permasalahan masyarakat, mulai mengalami pergeseran pemaknaan.
Sejak 1965, misalnya, lagu-lagu Banyuwangian mulai kehilangan nuansa kritis dalam menyuarakan permasalahan sosial dan lingkungan. Hanya beberapa lagu yang diciptakan oleh para seniman eks-Lekra yang masih menghadirkan nuansa alam, meskipun tidak mengekspos permasalahan ekologis.
Lagu-lagu pop-etnis Banyuwangi di era 2000-an pun tidak banyak yang menghadirkan isu-isu lingkungan dan lebih didominasi tema romantisme dan meloisme. Selain itu, ritual yang menurut asal-muasalnya merupakan bentuk integrasi alam-manusia-kekuatan adiluhung semakin diramaikan, tetapi dalam saat yang sama dihilangkan makna ekologisnya.
Sementara, kasus ekologis besar tengah berlangsung dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi, khususnya bagian selatan, yakni operasi tambang emas Tumpang Pitu yang semakin massif. Keberadaan tambang tersebut jelas-jelas mengancam keberlangsungan ekosistem di sekitarnya. Para nelayan terancam karena ikan-ikan terancam limbah berbahaya. Biota sungai dan laut tercemar limbah merkuri yang sangat berbahaya.
Debet sumber air bukit Tumpang Pitu yang cukup besar bisa terganggu, sehingga bisa berdampak ke air tanah yang mengalir ke kawasan pemukiman warga. Belum lagi soal debu dari tambang. Ancaman ekologis tersebut jelas-jelas berbahaya untuk kehidupan masyarakat Banyuwangi selatan. Menyadari ancaman tersebut, sekelompok warga melakukan perlawanan hingga saat ini, meskipun harus berhadapan dengan aparat keamanan dan pengadilan.
Lingkungan dan masyarakat Bongkoran, Wongsorejo di Banyuwangi utara juga mengalami permasalahan ekologis yang tidak kalah beratnya. Kawasan ini disiapkan secara sistematis oleh Pemkab Banyuwangi di bawah kepemimpinan Abdullah Azwar Anas untuk sentra industri.
Sama seperti di Tumpang Pitu, sekelompok warga juga melakukan resistensi dan harus berhadapan dengan arapat keamanan dan pengadilan. Namun perlawanan mereka tidak kunjung surut karena kehendak untuk hidup di tengah lingkungan Wongsorejo yang mereka warisi dari nenek moyang sejak era kolonial lebih kuat dari pada ancaman penjara. Janji-janji pekerjaan di sektor industri juga tidak meluruhkan perlawanan mereka.
Konsistensi manusia-manusia keturunan Madura di Wongsorejo dan keturunan Jawa-Mataraman di Tumpang Pitu menegaskan bahwa masih ada manusia-manusia Banyuwangi yang berani melawan rezim yang banyak mendapatkan penghargaan, baik nasional maupun internasional, serta selalu diwacanakan luar biasa oleh media arus utama.
Ancaman ekologis yang tak kalah seriusnya berasal dari kemajuan sektor pariwisata Banyuwangi selama hampir 1 dekade terakhir. Selain klaim kemajuan ekonomi sebagai dampak positif aktivitas pariwisata, Pemkab juga mengkampanyekan investasi di wilayah-wilayah yang memiliki potensi dikunjungi wisatawan.
Akibatnya, wilayah-wilayah yang produktif dalam pertanian mulai dibeli oleh para investor yang hendak membangun usaha penginapan ataupun restoran. Ekspansi usaha penginapan dan restoran tentu akan mengurangi lahan-lahan subur dan mengurangi debet air tanah yang bisa berdampak serius pada ketersediaan air untuk publik.
Dari aspek ekonomi, memang selalu diwacanakan adanya peningkatan kesejahteraan, meskipun bisa digugat kesejahteraan untuk siapa. Sementara, kerugian ekologis jarang sekali di-ekspos. Kalaupun di-ekspos pasti sudah ada pembelaan birokratis yang diarahkan untuk mempengaruhi publik, sehingga mereka tidak akan melakukan resistensi secara terbuka terkait ekspansi pariwisata di lahan subur pertanian.
Sayangnya, kurang ada respons kreatif dari para seniman angklung, juga para seniman lain, terhadap ancaman ekologis yang nyata adanya. Purwadi mengingatkan para seniman dan sesepuh adat Using bahwa dalam lagu Umbul-umbul Blambangan, semacam ‘lagu wajib’-nya warga Banyuwangi ada lirik, “hang sopo-sopo baen arep nyacak ngerusak, sun belani sun depani sun labuhi.” Maksudnya, siapapun orangnya yang mencoba untuk merusak Banyuwangi akan dihadapi oleh warganya, meskipun bertaruh nyawa.
Sayangnya, ideologi patriotisme yang dihadirkan dalam lirik tersebut sudah semakin kehilangan maknanya karena semakin langka pencipta lagu, musisi modern, ataupun seniman angklung yang menyuarakan resistensi secara simbolik atau diskursif terhadap potensi kerusakan alam yang dihadirkan massifnya pertambangan dan industri yang mengancam lingkungan alam Banyuwangi.
Maka, Purwadi mengingatkan bahwa di lagu tersebut sudah jelas posisi warga Banyuwangi terhadap kekuatan-kekuatan destruktif. Sudah semestinya, para seniman mulai memikirkan secara serius agar kesenian mereka tidak hanya menjadi perayaan terhadap eksotisme dan ketradisionalan yang masih terjaga di Banywangi, tanpa bisa menjadi medium untuk menyampaikan pesan-pesan sosial, kultural, dan ekologis kepada masyarakat.
Melihat kenyataan tersebut kita tentu tidak boleh serta-merta menyalahkn para seniman. Saya mengidenfikasi beberapa faktor yang menjadikan mereka tidak membuat lagu atau komposisi musikal terkait dengan isu-isu ekologis. Pertama, selama ini mereka hanya berproses kreatif dan berkarya untuk memenuhi undangan pemerintah, swasta, atau institusi yang ingin melihat keunikan garapan angklung yang biasanya sudah dicampur dengan instrumen lain, seperti gamelan, biola, dan lain-lain.
Demi memenuhi permintaan, mereka biasanya tidak akan bersusah-payah menggarap lagu baru, tetapi lagu-lagu yang sudah ada sebelumnya. Jadi, jangankan menggarap lagu tentang isu ekologis, menggarap lagu baru pun jarang dilakukan. Kondisi ini merupakan warisan dari kebiasaan di era Orde Baru di mana seniman tradisional diposisikan sebagai objek yang bisa ditanggap untuk menghibur tamu-tamu kabupaten, berpartisipasi dalam festival regional, maupun nasional.
Kedua, selama ini tidak ada pihak pemerintah atau LSM yang mengajak mereka berdiskusi atau ngobrol tentang pentingnya isu-isu lingkungan dalam karya komposisi musik angklung. Apalagi isu lingkungan didesain tidak menjadi isu umum dalam media mainstream dan online yang memberitakan tentang Banyuwangi yang lebih banyak diisi dengan oleh ramainya B-Fest atau keindahan alam dan keragaman budayanya.
Ketiga, banyak seniman dan komunitas seni yang menggantungkan eksistensi mereka kepada kegiatan-kegiatan yang didanai oleh Pemkab sehingga seperti ada rasa malu ketika mereka harus melakukan ikut melakukan protes secara kreatif melalui kesenian. Kenyataan ini menjadikan para seniman santai-santai saja, apalagi mereka juga tidak memiliki keberanian untuk melakukan resistensi terhadap kehendak pemerintah, sebagai warisan dari era Orde Baru.
CATATAN SIMPULAN
Setidaknya, melalui tulisan ini, saya berusaha menunjukkan bahwa budaya bambu di Banyuwangi bukan sekedar persoalan sederhana. Budaya bambu sebagai keseluruhan aktivitas dan produk kultural dalam masyarakat yang berbasis bambu dengan segala kompleksitas relasinya dengan lingkungan tengah menghadapi masalah serius. Keberadaan hutan bambu yang semakin berkurang memang sampai saat ini belum menimbulkan masalah serius, kecuali debet air yang berkurang.
Namun, ke depannya persoalan tersebut kalau tidak ditangani dengan serius, luasan hutan bambu dan barongan akan semakin berkurang sehingga membawa implikasi serius yang bisa mengganggu eksistensi budaya bambu di Banyuwangi. Ketersediaan bahan untuk membuat kerajinan yang dari waktu ke waktu semakin meningkat akan terganggu.
Variasi bahan untuk alat musik bambu juga akan semakin berkurang. Bambu kendang yang dulu mudah didapatkan, misalnya, selama beberapa tahun terakhir sudah sangat sulit. Mutlak dibutuhkan tindakan nyata dari pemerintah dan warga untuk menggalakkan penanaman-kembali bambu endemik Banyuwangi, apabila masih ingin mewujudkan budaya bambu yang berkelanjutan.
Penyebarluasan wacana ekologis melalui beragam aktivitas kesenian dan kultural akan memudahkan penyampaian kepada publik. Para seniman bisa menciptakan komposisi musikal dengan iringan alat musik bambu dengan mengusung tema-tema ekologis dalam garapan populer agar publik terhibur sekaligus mendapatkan pesan-pesan tentang gerakan penyelamatan lingkungan.
Memang, perjalanan ke dalam penciptaan karya tidak bisa dengan membalik jari. Kami sudah membuka jalan tersebut, selanjutnya para seniman dan warga memiliki kesempatan untuk mewujudkan cita-cita menyebarluaskan kampanye ekologis melalui komposisi musikal dengan instrumen alat musik bambu jenis baru.
* Tulisan ini merupakan bagian dari hasil riset tentang hubungan bambu, masyarakat, dan budaya di Banyuwangi yang dikerjakan pada tahun 2017 - 2018.
BACAAN PENDUKUNG
Cahyono, Rachman. 2007. “Dampak Limbah Cair PT Kertas Basuki Rachmat, Banyuwangi terhadap Kesehatan Masyarakat”. Tesis S2 Program Magister Ilmu Lingkungan. Semarang: Universitas Diponegoro.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H