Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jalan Panjang Budaya Bambu di Banyuwangi

21 Januari 2022   05:00 Diperbarui: 9 Maret 2022   00:21 2566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Latihan angklung di Kepatihan, Rogojampi, Banyuwangi. Dok. Pribadi

Dalam hal kreativitas, sendratari yang diarahkan oleh Kurianto, Guru SDN 02 Gintangan, memang tidak bisa dilepaskan dari ekosistem kultural Banyuwangi yang sangat bagus serta kecerdasan kreator dalam memformulasi karya estetik yang mengusung topik ke-bambu-an dengan segala pernik-perniknya. Di Banyuwangi banyak pelaku seni yang sudah terbiasa terlibat dalam pertunjukan tari garapan ataupun kesenian rakyat seperti gandrung dan janger. 

Pengalaman Kurianto sebagai pemain pertunjukan Janger memudahkannya untuk menciptakan gerakan-gerakan tari yang menghadirkan nuansa gebyar karena memasukkan unsur-unsur tari khas dan drama khas Banyuwangi. Keberadaan para pelaku seni yang bisa diajak bekerjasama untuk penggarapan juga memudahkan penciptaan Jajang Sebyarong. Selain itu, dukungan dari pihak pemerintah desa menjadikan Kurianto bisa memaksimalkan tari garapannya.

Apa yang menarik adalah bagaimana tari ini menghadirkan konstruksi wacana stereotip terkait barongan, rumpun bambu, yang tidak bisa dilepaskan dari imaji dan pemahaman publik, khususnya terkait aspek-asepk mistis. Dalam konteks masyarakat desa, barongan selain memberikan bambu yang bermanfaat untuk kehidupan manusia, juga diyakini tempat bersemayam makhluk-makhluk ghaib yang berbeda dimensi dengan manusia. 

Dalam tari ini, misalnya, kita bisa jumpai dua penari yang figurnya menyerupai Betara Kala (raksana yang berkaitan dengan waktu). Kehadiran dua figur raksasa tersebut merupakan usaha estetik kreator untuk memudahkan pemahaman para penonton tari ini bahwa dalam barongan bersemayam “kekuatan supernatural” yang menjaga dan melindungi bambu agar tidak ditebang secara semena-mena. 

Kekuatan supranatural tersebut sekaligus menjadi kehadiran wacana ekologis tentang pentingnya penghormatan terhadap bambu agar tidak diperlakukan sembarangan oleh manusia karena dihuni makhluk ghaib. Wacana tersebut merupakan transformasi budaya nenek moyang yang selalu menghormati tempat-tempat keramat yang terdapat pohon-pohon besar, termasuk bambu karena dianggap ada “penunggunya”. 

Pada masa lalu, sesepuh desa membuat ritual di tempat-tempat keramat yang biasanya ada pohon besar atau rumpun bambu. Mereka memberikan sesaji dan mengirimkan doa kepada arwah leluhur. Dari kacamata ekologis, budaya tersebut merupakan usaha untuk menjaga kelestarian pepohonan yang berfungsi menahan sumber air. Kearifan ekologis itulah yang ditawarkan oleh adegan tersebut. Jadi, tidak dimaknai sebagai bentuk kesyirikan karena ada tujuan komunal untuk menjaga sumber air dan fungsi-fungsi lainnya. 

Wacana stereotip lain bisa kita temukan dari kehadiran sosok sesepuh desa berjubah putih yang bisa bernegosiasi melalui tapa brata agar kedua makhluk raksana itu mengizinkan warga menebang untuk keperluan hidup mereka. Tentu saja adegan ini, lagi-lagi, hanya menjadi cara mudah untuk mengajak publik penonton memahami bahwa menebang bambu tidak bisa sembarangan. 

Ada kearifan yang masih diyakini dan diterapkan oleh masyarakat desa. Bukan berarti harus bertapa seperti yang dilakukan oleh sesepuh dalam adegan tari. Namun, warga diharapkan memperhatikan aspek-aspek pelestarian, bukan sekedar menebang dan menghabiskan bambu untuk kepentingan kehidupan. 

Kehadiran “putri jelita” bisa dibaca sebagai kehadiran kebahagiaan dan kesejahteraan yang akan didapat warga Gintangan ketika mereka bisa memanfaatkan bambu secara benar dan tepat serta memperhatikan kearifan-kearifan lokal. Mengapa harus “putri jelita”? Dari sudut pandang kultural, sosok perempuan diposisikan sebagai subjek penentu bagi keberlangsungan kehidupan karena memiliki fungsi reproduksi. 

Apalagi dalam budaya Banyuwangi, terutama dalam hal ritual-ritual agraris yang masih dilaksanakan oleh masyarakat desa seperti Seblang, figur perempuan berperan penting. Munculnya “putri jelita” bersama-sama makhluk penunggu rumpun bambu, menandakan bahwa segala kearifan dalam memperlakukan bambu akan menghasilkan kebahagiaan dan kesejahteraan. Dan, itu semua sesuai dengan harapan dan apa yang dilakoni warga Gintangan; membuat kerajinan berbahan bambu. 

Meskipun berfungsi sebagai pemanis, Jajang Sebyarong mampu mengantarkan pesan ekologis yang seharusnya dipahami oleh penonton dan warga Gintangan: memelihara dan menggunakan bambu secara arif agar bisa mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan secara maksimal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun