Tawaran dan tantangan untuk membuat alat musik bambu jenis baru, jelas akan memberikan pengalaman tersendiri karena ia diberikan keleluasaan untuk membuat kreasi sehingga bisa menghasilkan produk yang berbeda dari yang sudah ada. Penciptaan alat musik bambu jenis baru tentu akan menghadirkan nuansa kreatif yang berbeda sehingga lebih menarik bagi masyarakat.Â
SENIMAN ANGKLUNG & PERLUNYA KESADARAN EKOLOGIS
Sejarah kesenian dan budaya Banyuwangi sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari integrasi dengan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Ritual, tari, dan musik dulunya merupakan respon para seniman terhadap kekayaan alam, permasalahan masyarakat, mulai mengalami pergeseran pemaknaan.Â
Sejak 1965, misalnya, lagu-lagu Banyuwangian mulai kehilangan nuansa kritis dalam menyuarakan permasalahan sosial dan lingkungan. Hanya beberapa lagu yang diciptakan oleh para seniman eks-Lekra yang masih menghadirkan nuansa alam, meskipun tidak mengekspos permasalahan ekologis.Â
Lagu-lagu pop-etnis Banyuwangi di era 2000-an pun tidak banyak yang menghadirkan isu-isu lingkungan dan lebih didominasi tema romantisme dan meloisme. Selain itu, ritual yang menurut asal-muasalnya merupakan bentuk integrasi alam-manusia-kekuatan adiluhung semakin diramaikan, tetapi dalam saat yang sama dihilangkan makna ekologisnya.Â
Sementara, kasus ekologis besar tengah berlangsung dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi, khususnya bagian selatan, yakni operasi tambang emas Tumpang Pitu yang semakin massif. Keberadaan tambang tersebut jelas-jelas mengancam keberlangsungan ekosistem di sekitarnya. Para nelayan terancam karena ikan-ikan terancam limbah berbahaya. Biota sungai dan laut tercemar limbah merkuri yang sangat berbahaya.Â
Debet sumber air bukit Tumpang Pitu yang cukup besar bisa terganggu, sehingga bisa berdampak ke air tanah yang mengalir ke kawasan pemukiman warga. Belum lagi soal debu dari tambang. Ancaman ekologis tersebut jelas-jelas berbahaya untuk kehidupan masyarakat Banyuwangi selatan. Menyadari ancaman tersebut, sekelompok warga melakukan perlawanan hingga saat ini, meskipun harus berhadapan dengan aparat keamanan dan pengadilan.
Lingkungan dan masyarakat Bongkoran, Wongsorejo di Banyuwangi utara juga mengalami permasalahan ekologis yang tidak kalah beratnya. Kawasan ini disiapkan secara sistematis oleh Pemkab Banyuwangi di bawah kepemimpinan Abdullah Azwar Anas untuk sentra industri.Â
Sama seperti di Tumpang Pitu, sekelompok warga juga melakukan resistensi dan harus berhadapan dengan arapat keamanan dan pengadilan. Namun perlawanan mereka tidak kunjung surut karena kehendak untuk hidup di tengah lingkungan Wongsorejo yang mereka warisi dari nenek moyang sejak era kolonial lebih kuat dari pada ancaman penjara. Janji-janji pekerjaan di sektor industri juga tidak meluruhkan perlawanan mereka.Â
Konsistensi manusia-manusia keturunan Madura di Wongsorejo dan keturunan Jawa-Mataraman di Tumpang Pitu menegaskan bahwa masih ada manusia-manusia Banyuwangi yang berani melawan rezim yang banyak mendapatkan penghargaan, baik nasional maupun internasional, serta selalu diwacanakan luar biasa oleh media arus utama.