Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jalan Panjang Budaya Bambu di Banyuwangi

21 Januari 2022   05:00 Diperbarui: 9 Maret 2022   00:21 2566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bambu di Rowo Bayu, Songgon, Banyuwangi. Dok. Pribadi

Akibatnya, konsensus akan muncul karena rezim mau mengartikulasikan keinginan seniman, meskipun mereka tetap menegosiasikan kepentingan politiko-kultural. Rakyat kebanyakan akan melihat bahwa rezim telah bertindak benar, meskipun sebenarnya ada kepentingan kuasa yang disebarkan secara terus-menerus.Terlepas dari realitas ketatnya kontrol rezim terhadap perkembangan kesenian, nyatanya para seniman punya mekanisme untuk terus mengembangkan kesenian Banyuwangian. 

Sejak era 1980-an, banyak seniman menyaksikan mulai sekaratnya angklung gending, angkung daerah, dan angklung caruk di bumi Banyuwangi. Ketenaran kendang kempul di era 1980-an awal menjadikan mayoritas masyarakat mulai meninggalkan kesenian angklung, kecuali angklung paglak yang masih dimainkan di sawah. 

Tidak ada usaha sistematis dari rezim untuk menyemarakkan-kembali pertunjukan angklung yang pernah tenar di era Sukarno dan berkorelasi dengan kekayaan ekologis-agraris masyarakat Banyuwangi ini. Sanggar-sanggar tari memang semakin semarak, tumbuh bak jamur di musim hujan. Namun, semua diarahkan untuk menggarap tari garapan yang berakar dari gandrung dan ditujukan untuk memenuhi kepentingan festival, parade, atau acara-acara birokrat lainnya; sebuah kondisi yang masih berlangsung hingga saat ini.

Ritual-ritual memang dimasukkan ke dalam agenda pariwisata daerah dan semakin semarak dengan hajatan B-Fest sejak tahun 2011 hingga kini. Namun, ramainya ritual belum mampu mengembalikan-kembali keterhubungan masyarakat pelaku ritual dengan kesadaran untuk melestarikan lingkungan dalam dimensi ekologis-agraris-kultural. 

Kelestarian bambu, misalnya, akan menjadi penopang bagi keberlanjutkan musik angklung dan industri kerajinan yang ada di Gintangan serta menjaga pasokan air dari sumber yang bisa terus digunakan untuk kepentingan pertanian dan kepentingan sehari-hari masyarakat. Gerakan seni dan budaya semestinya bisa memromosikan pentingnya konsep tersebut dalam karya atau gelaran. 

Meskipun pasca Reformasi pagelaran angklung caruk semakin jarang di wilayah Banyuwangi, bukan berarti para senimannya sudah tidak ada. Sebagai bentuk usaha formal untuk mengatakan bahwa ada regenerasi angklung caruk, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Banyuwangi menyelenggarakan gelaran angklung caruk untuk para pelajar sejak tahun 2017. 

Peserta Festival Angklung Caruk 2017. Dok. banyuwangibagus.com 
Peserta Festival Angklung Caruk 2017. Dok. banyuwangibagus.com 
Meskipun diikuti pelajar dengan anggota per grup 12-15 orang, Festival Angklung Caruk ini tetap mengusung struktur pertunjukan sebagaimana angklung caruk pada masa lalu. Kedua grup saling beradu-tebak gending dan ketrampilan memainkan angklung, kethuk, gong, slenthem, saron dan kluncing dengan membawakan lagu-lagu Banyuwangian. 

Setiap grup akan menampilkan garapan/larasan andalannya yang dilengkapi penari, disebut badut. Setelah selesai kelompok kedua dipersilahkan untuk unjuk kebolehan juga. Fase berikutnya adalah Adol Gending, di mana di antara dua grup akan saling tebak lagu. Kelompok A akan membawakan ketukan sebuah lagu dan ketukan di angklung itu ditebak oleh kelompok kedua. 

Kalau kelompok B sudah tahu, maka mereka mendapatkan kesempatan untuk memotong dengan cara ngosek, memukul gamelan secara tidak beraturan. Kelompok A harus menghentikan permainan musiknya dan mempersilahkan grup kedua untuk melanjutkan permainannya. 

Apabila kelompok kedua melakukan kesalahan, maka kelompok pertama akan ngosek dan mengambil-alih kembali dan meneruskan musik hingga selesai. Para badut pun harus beradu gerakan tari dengan gending andalan kelompoknya.  

Sayangnya, festival angklung caruk tersebut tidak diikuti dengan usaha pembinaan secara sistematis di desa-desa sebagai basis utamanya. Pembinaan hanya dilangsungkan ketika akan berlangsung acara.  Para penabuh gamelan dan para penabuh angklung muda kurang dipersiapkan secara benar sejak usia dini. Untungnya, saat ini ada beberapa sanggar seni yang mulai memikirkan pelatihan panjak angklung dan gamelan usia dini, meskipun bisa dihitung dengan jari. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun