Tuturan Miswan di atas menegaskan bahwa cinta tetap menjadi wacana hegemonik dalam industri musik Banyuwangi. Pertimbangan komersial tentu tidak bisa ditinggalkan seorang pemodal. Tentu ini juga menjadi pertimbangan para pemodal industri rekaman lain. Tidak mengherankan kalau sampai hari ini, wacana tentang "putus cinta", "ditinggal atau dikhianati kekasih", dan "harapan akan cinta yang indah" masih menjadi orientasi diskursif ideal bagi para pencipta lagu.Â
Preferensi produser ikut berperan menciptakan kecenderungan tersebut. Memang, masih ada pertimbangan akan makna filosofis, diksi, ataupun persajakan lirik sebuah lagu, akan tetapi semua itu digunakan untuk memastikan bahwa sebuah lagu menarik dan akan disukai oleh para penikmatnya. Tentu saja, trend mengikuti "selera pasar" atau konsumen merupakan cara mudah untuk melariskan sebuah album di pasaran.Â
Namun, cara ini menjadikan lagu-lagu Banyuwangian tampak 'miskin tema' dan cenderung monoton. Selain itu, lirik lagu yang digunakan juga kurang variatif, sehingga Miswan tetap berusaha mencari diksi yang "tidak umum", tetapi masyarakat sebenarnya familiar. Tema-tema sosial seperti kemiskinan, pendidikan, ataupun ketimpangan antara si kaya dan si miskin menjadi 'hilang' dari lagu-lagu Banyuwangian pasca POB. Â Â
Kriteria kedua adalah menggunakan lirik berbahasa Using untuk pasar Banyuwangi dan kabupaten-kabupaten di Jawa Timur. Ini bisa dipahami karena sumber dan target awal dari lagu-lagu Banyuwangi adalah masyarakat Using. Meskipun pada akhirnya penikmatnya meluas hingga masyarakat Jawa, Madura, China, Mandar, Arab, dan lain-lain, lirik berbahasa Using sudah dianggap sebagai 'resep baku' yang cukup eksotis untuk menarik perhatian calon konsumen ataupun penggemar.Â
Meskipun Miswan menciptakan juga lagu-lagu berbahasa Indonesia seperti Masa Lalu 1, Masa Lalu 2, dan Masa Lalu 3, dia tetap mengakui bahwa bahasa Using tetap menjadi resep yang tidak boleh ditinggalkan.Â
"Berulangkali beberapa produser dari Jakarta meminta saya untuk merekam dan mengedarkan lagu-lagu berbahasa Indonesia yang akan dinyanyikan Danang [runner up Dangdut Academy 2015), tapi saya menolak. Lakunya pasti tidak akan banyak. Masyarakat sudah jatuh cinta dengan bahasa Using sebagai lirik lagunya. Orang tahunya lagu Banyuwangian itu ya lagu Using." (Wawancara, 25 Juni 2016).Â
Bahasa Using memiliki kekuatan kultural sekaligus komersial yang tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia. Bagaimanapun juga, masyarakat Using memiliki ikatan kultural dengan bahasa ibu, sehingga mereka akan lebih memilih lirik berbahasa ini untuk lagu-lagu Banyuwangian. Sementara, bagi mereka yang berasal dari non-Using, lagu dengan bahasa ini memiliki keunikan dan ciri khas yang membuatnya berbeda. Apalagi didukung dengan tema-tema percintaan yang mendayu-dayu.Â
Meskipun demikian, beberapa pencipta lagu Banyuwangian juga menciptakan lagu berbahasa Jawa dan, bahkan, bahasa Indonesia untuk memperluas segmen penggemar. Miswan misalnya, menciptakan lagu berbahasa Jawa yang sangat laris, bahkan digemari penikmat campursari di Jawa Tengah dan Yogyakarta, yakni lagu Layang Sworo.Â
Bahkan, penyanyi muda yang sedang naik daun seperti Wandra juga menembangkan lagu berbahasa Jawa dengan judul Sawangen. Mereka sangat sadar bahwa lagu campursari berbahasa Jawa juga memiliki penggemar yang bisa 'digarap', apalagi beberapa tahun terakhir campursari lagi lesu. Artinya mereka berkesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari kelesuhan itu.Â
Ketiga, diorientasikan kepada generasi muda sebagai pasar utama. Diakui atau tidak, generasi penikmat industri musik, baik yang berasal dari ranah internasioal maupun nasional, adalah yang berasal dari generasi muda. Para produser di Banyuwangi sangat sadar akan hal itu. Pasca booming POB, musik Banyuwangian bergenre pop-etnis mampu bersaing dengan musik nasional dan mulai digemari kaum muda.Â
Ketika ponsel pintar semakin populer, semakin banyak anak muda yang terbiasa mendengarkan lagu-lagu Banyuwangian. Tentu lagu-lagu yang dipilih sudah diseleksi secara ketat, baik dalam hal nada, lirik, maupun tema yang disampaikan kepada publik. Pada era peradaban new media, di mana musik garapan studio lebih banyak menggunakan media Youtube dan aplikasi musikal lainnya, formula komersial di atas masih berlaku.Â
Prinsip like and subscribe menjadi tantangan bagi para produser dan pencipta lagu untuk menghasilkan karya terbaik. Para penyanyi pun berusaha tampil semaksimal mungkin dengan gaya semenarik mungkin. Tampilan mereka ikut menentukan ditonton atau tidaknya sebuah karya musikal.Â