Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Musik Banyuwangian di Era Pasar: Melow-isme di Ruang Lokal

13 Januari 2022   05:00 Diperbarui: 8 Maret 2022   21:14 4051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demy dalam klip Kanggo Riko

Namun, paling tidak, mereka juga berhak mengatakan tengah melakukan perjuangan kultural di tengah-tengah ambivalensi orientasi kultural masyarakat. Pembacaan secara kritis terhadap kompleksitas proses kreatif dan perjuangan para seniman musik dalam ranah industri budaya tetap harus diperhatikan, sebelum mengatakan mereka terhegemoni atau tidak terhadap kecenderungan budaya modern yang bersifat global dan mekanisme industri budaya di tingkat lokal.  

Perkembangan-perkembangan budaya di era 2000-an yang semakin dinamis, beragam, dan lentur juga mempengaruhi pola pikir serta karya kreatif para seniman musik di tanah air, tidak terkecuali para seniman musik Banyuwangi. Cinta memang masih menjadi rumus mujarab dalam industri musik di tanah air. Namun, beberapa isu yang dulu tabu untuk dimunculkan dalam lirik lagu, seperti perselingkuhan, mulai diusung oleh para musisi. 

Dalam konteks industri musik Banyuwangian, para pencipta lagu juga masih berkutat dalam wacana cinta, tetapi mereka mencoba untuk memberikan cara pikir dan pemahaman transformatif terkait cinta. Ungkapan-ungkapan yang mereka gunakan lebih terbuka dan minim metafor alam, meskipun masih ada sebagian kecil yang menggunakannya. 

Beberapa wacana 'nakal' dan menggelitik juga diusung, tentu saja tetap tidak kehilangan nuansa lokalnya. Meskipun demikian, ada sebagian kecil seniman yang mencoba untuk menafsir-ulang permasalahan sosial dan politik di tingkat lokal. Maka, pada era 2000-an, kita bisa menyaksikan bagaimana para musisi Banyuwangi mentransformasi lokalitas untuk kepentingan komersial mereka dengan argumen ikut memeriahkan dan mengembangkan budaya lokal.

Pada era 2000-an, para musisi muda yang terpengaruh oleh musik Barat, seperti bosas, blues, reggae, dan rock, mulai mengembangkan genre musik yang berbeda, di mana mereka tidak lagi menekankan kepada peran kendang dan kempul sebagai pengendali musikal. Mereka juga mulai menggunakan instrumen modern seperti kibor dan gitar untuk menciptakan nada-nada lagu. 

Hal itu tentu berbeda dengan musisi pada era kolonial sampai era 1980-an yang masih menggunakan instrumen tradisional seperti angklung bambu untuk menciptakan lagu. Selain itu, mulai terjadi pergeseran lokalitas sebagai tema dalam lirik-lirik lagu berbahasa Using. Tema cinta sebagaimana yang ada dalam lagu-lagu pop produksi major label di Jakarta mulai menjadi warna dominan dalam industri musik Banyuwangian, meskipun masih ada beberapa lagu yang mengusung persoalan sosial.

Cinta sepertinya sudah ditakdirkan untuk menjadi rumus penting dalam industri budaya pop. Dengan resep cinta, sebuah lagu baru lebih mudah diterima oleh khalayak. Hal itu, tentu saja, tidak bisa dilepaskan dari hakekat cinta yang memang selalu mengalir dalam darah setiap manusia. 

Bagi pencipta lagu Banyuwangi, persoalan cinta atau dalam bahasa Using disebut welas bukan sekedar kegembiraan ketika bertemu dengan orang yang dicintai, tetapi ungkapan mendalam tentang perasaan batin yang menginginkan keabadian, meskipun seringkali terganjal oleh perpisahan. 

Pada masa pascareformasi, realitas tematik tersebut masih bisa dijumpai. Kecuali diksi yang mulai berubah atau disesuaikan dengan kondisi kekinian yang lebih terbuka, wacana welas masih tetap diusung oleh para seniman lagu. Menariknya, sebagian besar wacana cinta yang mereka usung melalui diksi bahasa Using semakin menegaskan rasa melas, menyayat hati dan memunculkan rasa iba akibat perpisahan atau kegagalan dalam membina hubungan cinta. 

Ini tentu menjadi permasalahan yang harus dicermati karena mereka sebagai generasi muda yang sangat paham apa yang menjadi semangat dan perjuangan gerakan Reformasi 1998 mestinya mereka bisa memunculkan karya-karya kreatif yang tetap mengusung dimensi lokalitas dengan beragam permasalahannya. 

Namun, sebelum kami mengkritisi persoalan tersebut, ada baiknya saya membahas dulu wacana lokalitas yang ada dalam lagu Banyuwangian era 2000-an. Hal ini perlu dilakukan agar bisa memetakan kecenderungan diskursif yang ada dalam model transformasi lokalitas dalam lirik lagu untuk kemudian menghubungkannya dengan konteks industri dan konteks dinamika masyarakat sebagai medan kreatif para pencipta lagu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun