Adalah satu realitas yang tragis ketika melihat kecenderungan kajian akademis kebudayaan yang berkembang di Indonesia yang sampai saat ini yang belum begitu banyak menyentuh pagelaran dangdut maupun dangdut koplo. Kesukaan untuk lebih memilih tema-tema kajian seni pagelaran tradisional menjadi ciri utama para pengkaji budaya di Indonesia saat ini.Â
Dangdut koplo seperti masih menjadi 'tabu' yang tidak begitu perlu dibahas karena tidak mempunyai nilai estetik sepertihalnya kesenian-kesenian tradisional. Sepertinya berkembang semacam asumsi bahwa dangdut koplo bukanlah 'anak sah' kebudayaan Indonesia.Â
Kebudayaan Indonesia dibayangkan sebagai kebudayaan yang berisi nilai-nilai keluhuran dan bukan sesuatu yang kasar. Rupa-rupanya, paradigma kebudayaan tinggi sebagai nilai yang mampu dan harus ditransformasikan secara terus-menerus kepada semua pendukung kebudayaan. Sungguh sebuah kenaifan yang luar biasa.Â
Bagaimanapun juga, kebudayaan Indonesia yang kita agung-agungkan saat ini bukanlah nilai dan bentuk yang selamanya baik. Artinya, selalu ada celah-celah untuk dikritisi karena begitu banyaknya kepentingan yang ada di dalamnya, termasuk kepentingan kuasa yang secara halus masuk ke dalam bentuk-bentuk estetik. Kesenian keraton adalah salah satu bentuk estetik yang sarat kepentingan kuasa, dari jaman kolonial hingga saat ini.
Sudah saatnya budaya-budaya yang berada di wilayah periperal, seperti dangdut koplo, mendapatkan perhatian akademisi maupun budayawan. Karena dalam praktik-praktik yang ada di dalamnya, banyak terdapat kreasi, negosiasi, dan resistensi yang harus selalu dikaji dan dikritisi, dan bukannya dijauhi.Â
Beragam kepentingan bisa didapatkan dari sebuah pagelaran dangdut koplo. Itulah realitas kebudayaan kita hari ini. Kebudayaan yang dipenuhi dengan ragam subkultur, dari desa hingga kota, yang harus dibaca dalam konteksnya masing-masing. Mereka juga berhak untuk diperlakukan sebagai salah satu bagian yang mengambil peran dalam perwujudan mozaik multikultural Indonesia ini.Â
Dengan memosisikan dangdut koplo sebagai salah satu bidang kajian, maka para pengkaji budaya tidak akan terjebak dalam elitisme bidang kajian, tetapi bisa masuk, merasakan, mendalami, dan mengkritisi apa yang sebenarnya terjadi dalam wujud dan praktik eskpresi masyarakat di lapisan bawah hari ini.
* Tulisan ini merupakan tugas matakuliah sewaktu saya menempuh kuliah S2 di Kajian Budaya dan Media UGM. Tugas dibuat tahun 2007.
BACAAN PENDUKUNG
Bennet, Tony.1986. "The Politics of 'the popular' and popular culture", dalam Tony Bennet, Colin Mercer, and Janet Woollacott (eds). Popular Culture and Social Relations. Philadelpia: Open University Press.
Boggs, Carl.1984. "The Theory of Ideological Hegemony" dalam The Two Revolution: Gramsci and the Dilemas of Western Marxism. Boston: South End Press.