Penamaan tersebut lebih didasarkan pada pengaruh kedinamisan musik yang bisa membuat penonton bergoyang hingga terasa koplo, kepala seperti 'tidak ada isinya apa-apa', bebas, lepas, melayang-layang, seperti orang yang menenggak pil koplo (ecstacy dan sejenisnya).Â
Yang juga menjadi fenomenal dari dangdut koplo adalah gerakan dan goyang akrobatis para penyanyi perempuan di atas panggung, di luar tradisi bergoyang para penyanyi ibu kota yang lebih sopan dan normatif. Para penyanyi dangdut menggoyang seluruh badannya, dari pinggung hingga dada, sehingga membuat penonton semakin bersemangat untuk bergoyang.Â
Inul Daratista, Uut Permatasari, dan Trio Macan yang akhirnya berpindah ke Jakarta merupakan 'alumni' orkes melayu gaya koplo Jawa Timuran. Goyang badan yang dianggap "liar" dan "erotis" itulah yang pernah memunculkan polemik hebat antara si Raja Dangdut Rhoma Irama didukung artis-artis dari PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia) dengan Inul yang dibela oleh tokoh-tokoh kritis anti-hegemoni dan anti-diskriminasi seperti Gus Dur dan Arswendo Atmowiloto.
Tulisan ini secara konseptual akan membahas 'potensi dan estetika subversif' yang hadir dalam pagelaran dangdut koplo pada era 2000-an awal, baik dari sisi inovasi musik, atraksi para penyanyi, hingga bagaimana respons penonton dalam menikmati atraksi yang ada.Â
Asumsi yang dikembangkan adalah bahwa dari segi estetik, dangdut koplo mampu menawarkan makna dan gaya subversif untuk merubah apa-apa yang menjadi arus utama dalam musik dangdut, menjadi permainan yang disesuaikan dengan 'semangat liar' masyarakat Jawa Timur yang diekspresikan dalam perilaku-perilaku menonton.
'Estetika Subversif' Koplo dan Resistensi terhadap Pakem DangdutÂ
Apa-apa yang populer kemarin tidak bisa menjadi populer hari ini karena orang-orang saat ini tidak ingin menjadi orang-orang di hari kemarin (Bennet, 1986: 18).
Mengikuti alur pemikiran Van Gennep tentang struktur ritual, Turner membuat eskplorasi teoretis untuk membaca struktur estetika dari sebuah pagelaran/pertunjukan (performance) yang ada dalam masyarakat. Ia menjelaskan bahwa dalam satu pagelaran bisa ditemukan adanya struktur yang tersusun dari tahapan (a) preliminal; (b) liminal; dan (c) posliminal.Â
Tahapan preliminal merupakan sebuah fase di mana mulai berlangsung pelanggaran terhadap norma yang mapan dan yang diterima selama ini. Dalam tahapan liminal berlangsung krisis dengan terbentuknya faksi-faksi baru yang kemudian menimbulkan reaksi dari faksi-faksi yang sudah mapan untuk merangkulnya kembali.Â
Tahapan posliminal melibatkan proses pengakuan faksi baru ke dalam kebudayaan asli atau bisa juga berupa pengakuan akan keterpecahan dalam segala bentuknya (dikutip dalam Carlson, 1998: 21). Dalam tahapan liminal-lah potensi untuk berperilaku subversif bisa berlangsung, meskipun Turner tidak pernah membahas istilah potensi subversif. Menurut Turner aktivitas-aktivitas liminal terhadap sikap "anti-struktur" untuk melawan "struktur" dari aktivitas budaya norma (dikutip dalam Carlson, 1998: 23).
Sampai tataran itu, aktivitas subversif bukan berarti tindakan anarkis untuk memberontak secara fisik, tetapi 'pemberontakan estetik' dari struktur mapan budaya yang direpresentasikan melalui produk-produk kesenian adiluhung yang sangat normatif. Sutton-Smith (dikutip dalam Carlson, 1998: 23) menjelaskan:
Struktur normatif merepresentasikan keseimbangan, sedangkan "antisruktur" mereprensetasikan sistem laten dari alternatif-alternatif potensial yang darinya kebaruan akan muncul ketika kemungkinan-kemungkinan dalam sistem normatif memungkinkanya untuk ada........sistem kedua ini bisa disebut sistem protokultural karena ia merupakan pendahulu dari bentuk normatif yang inovatif. Ia merupakan sumber bagi kebudayaan baru. (ibid)
Mengikuti apa yang diutarakan Turner dan Sutton-Smith, dalam struktur sebuah pagelaran, semisal seni pertunjukan, bisa ditemukan adanya 'sifat politis' dari para kreatornya. Artinya mereka mempunyai tendensi untuk membaca bentuk estetik yang mapan sebagai sumber yang bisa dikritisi dan dibongkar untuk kemudian menciptakan bentuk baru yang bisa jadi diterima sebagai bagian kebudayaan atau sebagai bentuk "liyan"Â (the Other).Â