1918
Ada doa kekasih dari tanah seberang untuk lelaki muda yang tengah bermain akal. Sejengkal demi sejengkal tanah ditundukkan atas nama mimpi yang tak hanya 100 tahun: Jawa adalah kemakmuran.Â
Doa itu, kini, menemuimu dalam puisi yang dikawal lumut dan karat: tanpa toean besar, tanpa noni bergaun putih. Hanya pewaris yang menyimpan kabut dan harum teh dalam dongeng indah yang seringkali menyakitkan.
Gunung Gambir, 18 November 2019
HUMUS
Andai bisa kau tulis rindu seratus tahun, tak cukup puisi merekam kebahagiaan tentang rimba yang ditundukkan demi senyum di tanah seberang.
Di sini, kepasrahan humus adalah kemenangan yang perlu dicatat dalam buku harian: diabadikan dalam nota-nota bertinta kuasa; dirayakan dalam pesta penuh cinta untuk senyum di masa kini
Di sini, tak kuasa kata mewujudkan ingatan tentang asin air di tanah leluhur. Dingin tetap saja mencumbuh tubuh demi menjaga cinta berkarat yang masih dihayati para pewaris dalam cerita demi cerita yang tak berubah.Â
Gunung Gambir, 18 November 2019
Toean,Â
batu bata yang membahagiakanmu masih ada: mengabadikan rindu negerimu untuk kesetiaan atas nama kemakmuran. Tembok yang menggerakkan gulden demi gulden ke tanah seberang masih berdiri dalam pelukan semesta, meskipun karat demi karat besi mengutarakan lelah begitu gelisah.
Toean,Â
di sini dongeng tentangmu adalah kabut yang datang dan pergi dalam kesedihan dan kegembiraan ketika pucuk demi pucuk daun teh harus meninggalkan tanah tempatnya hidup. Di sini orang-orang masih merindu dongeng yang lebih indah di rumah-rumah yang masih saja mungil dari waktu ke waktu.
Jember, 21 November 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H