Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tayub dalam Dua Kutub Wacana: Kesakralan dan Keprofanan

6 Januari 2022   14:37 Diperbarui: 6 Januari 2022   21:46 3848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah-tengah persiapan dimulainya pagelaran tayub dalam rangka nyadran (sedekah bumi) di Dusun Sambiroto, Kecamatan Sugio, Lamongan (2 Agustus 2014), saya menyempatkan diri bercakap-cakap dengan Herman (38 tahun), ketua panitia. Dalam percakapan tersebut, dia bercerita tentang ‘pertikaian kecil’ yang terjadi antara panitia dengan perangkat dusun, satu bulan menjelang pagelaran.

“Satu bulan sebelum pagelaran, panitia yang terdiri dari kawula muda dikumpulkan di Balai Desa oleh Senden (Kepala Dusun, pen). Kami diminta mengundur acara karena pelaksanaan tayuban mepet dengan Lebaran, satu minggu sesudahnya. Senden bilang itu atas permintaan pemuka agama dari masjid (X). 

Mereka keberatan karena dalam tayuban dianggap ada unsur maksiat-nya. Kami selaku perwakilan panitia langsung protes, karena kegiatan nyadran dan tayuban itu sudah satu paket. Kita itu mau nguri-nguri budaya leluhur, kok mau diundur. Urusan masjid ya masjid, tayuban ya tayuban. 

Ndak usah dicampur-aduk. Kalau memang ada yang minum bir, itu urusan pribadi-pribadi, dosa ditanggung sendiri. Kami tahu kalau bir itu haram, tapi tayub itu tidak. Lagi pula, ini kan untuk melestarikan tradisi, dalam rangka nyadran yang dilaksanakan setiap tahun. Bayangkan kalau kami yang muda-muda ini sudah tidak mau nanggap tayub, pasti akan mati. 

Tahun lalu, kami sudah ngalah, mengundur tayuban karena berbarengan dengan acara pengajian di masjid itu. E, kok sekarang mau diundur. Kami sampai mengancam Senden. Untunglah, dia akhirnya dia tidak berani berhadapan dengan pemuda yang telah mendukungnya dalam pemilian dulu.”

Penjelasan Herman, setidaknya, mengimplikasikan beberapa persoalan. Pertama, wilayah pedesaan sebagai basis penyokong tayub tengah mengalami “ketidaktunggalan” dalam orientasi kultural yang memunculkan pola pikir dan tindakan dikotomis, antara “yang agamis” dan “yang-dianggap-maksiat”. 

Kenyataan sosial ini tidak bisa dilepaskan dari semakin gencarnya syiar agama Islam yang berlangsung di wilayah pedesaan. Kedua, pertunjukan tayub bisa memunculkan tegangan sosial di tingkat warga ketika pemahaman agama semakin meluas. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari tradisi minuman beralkohol yang oleh ajaran agama diharamkan. 

Ketiga, para penggemar tayub memiliki argumen kuat bahwa tayub merupakan budaya tradisional yang harus dilestarikan, diuri-uri. Artinya, alasan untuk melestarikan tradisi bisa diposisikan sebagai wacana tandingan (counter-discourse) terhadap doktrin agama yang memaksiatkan beberapa aktivitias dalam pertunjukan ini.

Kejadian seperti di atas, sebenarnya sudah lama menjadi perhatian para pengkaji. Dua kutub wacana, yakni kesakralan yang dikaitkan dengan kesuburan dan ke-profan-an yang dikaitkan dengan aktivitas-aktivitas bernuansa duniawi, menjadi tema dari beberapa kajian dengan konstruksi diskursif berikut. 

Pertama, wacana tentang ritual kesuburan sebagai akar historis tayub serta eksistensinya di masa kini (Suharto, 1999). Kedua, peristiwa-peristiwa profan yang menyertai pertunjukan tayub, baik di tengah-tengah maupun sesudah pertunjukan, dengan rujukan kepada ritual tantra di zaman kerajaan Singosari dan Majapahit, serta perkembangannya di masa Orde Baru (Rabimin, 2010). 

Ketiga, posisi tayub dalam ruang kultural masyarakat agraris yang bertansformasi menuju modernitas dengan beberapa pembicaraan seputar akar historis, aspek-aspek profan (minuman beralkohol dan seksualitas), kontribusinya dalam ritual dan pengembangan nilai integrasi di masyarakat, peran pemerintah sejak Orde Baru dalam ‘menertibkannya’, tegangan dengan syiar agama Islam, potensi ekonomi, serta tantangan dalam pengembangannya (Widyastutieningrum, 2007; Juwariyah, 2012). 

Meskipun demikian, terdapat beberapa persoalan yang membutuhkan klarifikasi lebih lanjut, yakni: (1) sejak kapan sebenarnya dua kutub—kesakralan dan ke-profan-an—dalam tayuban dikonstruksi secara diskursif?; (2) kondisi historis seperti apa yang menjadikan kedua wacana tersebut dikemukakan?; (3) kepentingan-kepentingan apa dan siapa yang dimainkan dalam usaha untuk memapankan wacana dikotomis tersebut?; dan, (4) bagaimana transformasi kedua wacana itu dalam perubahan zaman. 

Keempat pertanyaan itulah yang mendasari lahirnya tulisan ini. Argumen dasarnya adalah terdapat kondisi historis dan kepentingan politiko-ideologis yang mempengaruhi munculnya wacana ke-profan-an dan ke-sakral-an dalam pertunjukan tayub. Argumen berikutnya adalah bahwa wacana kesakralan dan ke-profan-an yang dilekatkan dalam pagelaran tayub mengalami transformasi sebagai akibat perubahan kondisi zaman. 

Pada tataran minimal, kami berusaha membuka keempat permasalahan tersebut sekaligus menjelaskan bahwa wacana-wacana terkait kesakralan dan keprofanan tayub bukanlah sesuatu yang netral dan tiba-tiba hadir dalam lingkaran akademis dan kehidupan masyarakat. Alih-alih, mereka adalah hasil konstruksi yang ditransformasikan dari awal kelahirannya hingga saat ini di mana terdapat pengaruh dari pihak-pihak yang berkepentingan.

Wacana merupakan seperangkat pernyataan yang merujuk kepada objek, tema, atau persoalan tertentu dalam periode historis partikular (Foucault, 2002: 177). Keberadaan wacana dalam masyarakat tidak bisa dilepaskan dari kondisi historis zaman—ekonomi, sosial, politik, maupun kultural. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun