Pengibing yang tidak bisa memberi banyak akan malu, sehingga enggan untuk datang lagi. Akibatnya, pertunjukan tayub tidak semeriah pada masa sebelum perang karena hanya menjadi arena untuk pamer kekayaan para pengibingnya, bahkan tidak jarang menjurus ke perkelahian fisik. Kondisi ini berlangsung sampai era 1960-an (Widyastutieningrum, 2007: 123).
Selain adegan erotis dalam pertunjukan, tayub juga memiliki sebuah ‘ritual terakhir’ sebelum seorang calon tandhak/ronggeng bisa menjadi tandhak/ronggeng yang sebenarnya. Ritual tersebut dinamakan buka klambu, sebuah persyaratan terakhir dalam serangkaian upacara yang harus dilalui oleh seorang tandhak; berupa sayembara terbuka bagi laki-laki manapun untuk dapat menikmati keperawanan calon ronggeng dengan syarat dapat memberikan uang terbanyak (Rabimin, 2010: 223).
Sampai tahun 1960-an, ritual ini masih dilangsungkan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Terlepas dari alasan-alasan ritual yang melingkupinya, buka klambu menjadi salah satu bagian profan dari tayub yang berorientasi pada perayaan kesuburan. Tradisi ini, lagi-lagi, menempatkan perempuan dalam posisi subordinat di mana tubuh dan keperawanan mereka bisa dibeli dengan sejumlah uang.
Kemauan calon ronggeng untuk memberikan keperawanan mereka sebenarnya lebih berorientasi kepada motif ekonomi, meskipun dibungkus dengan alasan tradisi. Bagi kalangan santri, tentu saja, ritual ini menjadi titik-rawan yang menjadikan mereka enggan bersinggungan dengan tayub.
Artinya, produksi stigma oleh kalangan santri terhadap kesenian tayub juga tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan-kebiasaan yang dianggap menyimpang, sehingga aspek-aspek religi terkait kesuburan ataupun penghormatan terhadap ruh pendiri desa (khususnya dalam ritual bersih desa) menjadi tidak berarti apa-apa.
Ketika Rezim Orde Baru Menertibkan Tayub
Ketakutan akibat dampak tragedi berdarah 1965, nyatanya, tidak mampu membunuh ingatan masyarakat terhadap tayub. Pada awal 1970-an, pertunjukan tayub mulai digelar lagi. Izin dari aparat keamanan harus diperoleh, meskipun pertunjukan tayub digelar pada saat ritual bersih desa.
Apa yang tidak bisa dihilangkan dalam tayuban adalah sempalan-sempalan (adegan atau kegiatan di luar pakem tayub) yang masih berlanjut. Menurut Rabimin (2010: 221-224) aktivitas sempalan yang berlangsung bisa menjurus kepada tindakan yang oleh ajaran agama dianggap berdosa ataupun amoral. Terdapat beberapa adegan sempalan pada masa-masa itu.
Pertama, cao glethak, merupakan gending zaman dahulu yang cukup terkenal karena mengesankan sesuatu yang erotis. Bagi para pengibing yang nakal, seringkali waktu jatuh pada bunyi gong, si tandhak di-glethake (dijatuhkan) untuk kemudian di-tumpuki oleh beberapa pengibing.
Kedua, nglimpe ngesun, yakni adegan ketika tukang beksa sembari menari mencium pipi tandhak saat mereka agak lengah. Ketiga, ngombe lan ngambung, yakni adegan ketika penayub minum tuwak dan tepat pada bunyi gong ia mencium pipi tandhak. Biasanya terjadi di malam hari, ketika pertunjukan semakin panas.
Masih seperti era-era sebelumnya, minuman beralkohol, erotisme, dan tindakan seksual menjadi warna dominan dalam pertunjukan tayub. Kenyataan itulah yang menjadikan tayub oleh akademisi dikonstruksi sebagai “kesenian yang kasar”, “tidak senonoh”, “tidak sesuai dengan agama dan moralitas”, dan lain-lain.