Rekonstruksi adalah usaha untuk memanggil dan menata-kembali ingatan-ingatan berserak yang saya miliki sebagai penonton dan penggiat di DKK terkait peristiwa menonton dan memroduksi teater di masa lalu (era 1990-an pertengahan dan 2000-an awal). Sementara, konstruksi adalah usaha untuk mengungkapkan wacana-wacana yang bisa dimunculkan dari ingatan-ingatan terkumpul dalam cara pandang masa kini tanpa menegasikan konteks masing-masing zaman.Â
Sangat mungkin bahwa wacana terkait topik tertentu dalam pertunjukan di masa lalu tidak muncul ketika proses apresiasi berlangsung atau proses pembacaan, tetapi bisa diingat dan dikonstruksi dari masa kini. Mengikuti pemikiran Hall (1997) dalam perspektif representasi, pendekatan konstruksionis memosisikan makna dan wacana bisa muncul dari teks, apapun bentuknya, termasuk teks pertunjukan teater, karena hasil pembacaan yang disesuaikan dengan konteks zaman.Â
Kumpulan ingatan akan pertunjukan teater yang saya tonton dan nikmati merupakan gugusan teks yang bisa dibaca hari ini untuk mengetahui karakteristik masing-masing zaman dan keterkaitannya dengan kondisi kontekstual serta transformasi yang berlangsung dari masa yang satu ke masa yang lain. Â
Memang, penelusuran masa lalu berbasis ingatan tidak bisa mengalahkan sejarah, karena sangat mungkin ada subjektifikasi yang dimainkan, juga ada penceritaan yang dilebih-lebihkan. Namun, kebenaran yang disampaikan melalui penelusuran ingatan akan dikonstruksi sebagai wacana yang akan tetap dipertahankan, apalagi untuk kepentingan kultural, seperti pemetaan teater di Jember ini.Â
Dengan demikian, meskipun terkadang muncul hiperbolaisasi untuk memperindah atau menghidupkan narasi, fakta peristiwa akan tetap dihadirkan karena ingatan juga menjadi penuntun menghadirkannya kepada khalayak masa kini. Lagipula, meminjam kerangka new historicism (Challager & Greenbalt 2000; Branigan 1998; Myers 1988), teks-teks ingatan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan teks-teks lain yang diklaim sebagai sejarah karena sama-sama memunculkan wacana terkait kebenaran tertentu yang selalu berkaitan dengan wacana-wacana lain dalam formasi diskursif zaman.Â
Dalam pemahaman demikian, pertunjukan teater di Jember merupakan gugusan wacana yang terlibat dalam proses historis. Dalam artian, ikut membentuk persepsi terkait permasalahan zaman ataupun merespons kekuasaan tertentu yang bisa bertransformasi dari satu masa ke masa lain.Â
Cara pandang terakhir ini yang mendekatkan kita kepada konsep genealogi menonton, mengadopsi pemikiran Foucault (1981), di mana proses menonton sekaligus merekam transformasi dari gaya pertunjukan dan wacana-wacana  tertentu yang dikonstruksi dalam pementasan teater di Jember dari masa ke masa.Â
Dengan kerangka pikir ingatan-representasi-genealogi serta kompleksitas yang menyertainya, saya akan menawarkan hasil pembacaan terhadap teks ingatan selama menonton teater di Jember. Sekali lagi, hasil pembacaan representasional berbasis ingatan tersebut bisa jadi berbeda dengan pendapat para penonton lain ataupun para penggiat teater.Â
Bagi saya, perbedaan tafsir merupakan 'kewajiban khusus' yang tidak boleh diabaikan dalam "proses berteater" (dari penyiapan untuk penggarapan, kerja tim produksi, penataan panggung, pementasan, apresiasi dan kritik, hingga evaluasi tim produksi) karena darinya akan muncul dinamika dan demokratisasi kultural.Â
MENONTON PERTUNJUKAN AKU CINTA PADAMUÂ & MARSINAH MENGGUGATÂ
Pada 1996, saya lupa persisnya, DKK menggelar pertunjukan Aku Cinta Padamu (ACP) dengan penulis naskah dan sutradara Isnadi (biasa dipanggil Cak Is). Selain menjadi panitia pertunjukan (membantu nyetting panggung dan jaga tiket), saya juga menjadi penonton yang 'diombang-ambingkan' oleh struktur dan gaya pertunjukan lakon ini.Â