Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memahami Dinamika Kelisanan dalam Masyarakat

5 Desember 2021   06:00 Diperbarui: 7 Desember 2021   10:05 1435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa-apa yang menjadi isu atau persoalan dalam masyarakat lisan akan dengan cepat menyebar kepada anggota masyarakat lain, melalui ungkapan-ungkapan verbal. Itulah mengapa ketika ada berita tentang pemuda warga dusun yang dikeroyok oleh pemuda dusun lain akan segera mendapat reaksi cepat dari warga kampung tersebut yang diikuti dengan rasa solidaritas untuk membalas dendam sehingga terjadilah tawuran antarkampung. 

Tradisi "amuk" merupakan bagian dari berlangsungnya budaya verbomotor dalam masyarakat lisan. Selain itu, budaya verbomotor juga menghasilkan tradisi gotong-royong untuk membantu pihak lain yang membutuhkan atau untuk memperbaiki fasilitas-fasilitas umum karena mereka merasa terikat dalam komunalitas secara psikis.

Akar dari berlangsungya budaya di atas adalah interioritas bunyi, kedalaman makna dari bunyi yang ditransfer lewat ucapan. Dalam masyarakat lisan yang tidak mengenal tradisi tulis visual, bunyi yang mereka dengar dari ucapan orang lain, merupakan sarana penting yang menjadikan manusia sadar akan posisinya dalam kosmos. 

Pengetahuan yang didapatkan dari kata yang dibunyikan mengarahkan manusia untuk menyatu dengannya sehingga ia akan merasa menjadi bagian dari kosmos lahirnya pengetahuan tersebut. Bunyi dengan demikian mampu menciptakan kedalaman psikis dari manusia yang berpengaruh pada terciptanya harmoni dalam masyarakat.

Perasaan menyatu dalam komunalitas inilah yang menjadikan ritual-ritual tradisi maupun ritual-ritual agama selalu dilaksanakan dalam konteks kelisanan pertama. Ketika dhukun pandita Tengger membacakan mantra dalam ritual Kasada, misalnya, maka masyarakat Tengger dengan hikmat mendengarkannya sambil menghayatinya karena dengan demikian mereka bisa merasa menyatu dengan konteks mantra yang dibacakan si dhukun. 

Demikian pula para jamaah sholat ataupun peribadatan di gereja yang dengan khusuk mendengarkan doa dari pastur demi memperoleh derajat kesakralan tertentu sehingga mereka bisa menyatu dengan nilai-nilai doa yang sedang dibacakan. Dengan kata lain, kelisanan merupakan sarana yang sangat efektif untuk tetap menjaga kesakralan ritual dalam sebuah masyarakat karena ia tidak lagi menimbulkan jarak tetapi menyatukan warga masyarakat dalam kekhusukan mantra atau doa.

Komunalitas dalam kesakralan, pada perkembangannya, sering digunakan oleh pihak-pihak yang punya kepentingan politis untuk melaksanakan ambisi-ambisi politiknya di masyarakat target. Hal itu dilakukan dengan 'mendekati' pihak otoritas dalam masyarakat tersebut. Tentu saja peristiwa tersebut adalah pengaruh dari kuatnya tradisi lisan yang sekedar dimanfaatkan oleh pihak-pihak politis. Dan, rupa-rupanya kecenderungan tersebut masih kuat hingga saat ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun