Nama atau label tersebut hanya bermakna ketika ia disuarakan sehingga ketika tidak disuarakan ia menjadi nothing. Ia menjadi bermakna lagi ketika para anggota komunitas menyepakati secara mufakat bahwa untuk selanjutnya ia diberi nama kambing. Hal serupa juga dialami Nabi Adam ketika Tuhan mengajarinya nama benda-benda.
Itulah mengapa dalam masyarakat bertradisi lisan, kata-kata yang disuarakan dianggap mempunyai 'kekuatan magis' apalagi yang berkaitan dengan keberlangsungan ritual di mana kekuatan otoritatif dipegang oleh para pemangku adat yang dianggap mempunyai kekuatan magis dengan mantra-mantranya.Â
Hanya dengan bunyi yang disuarakan dengan varian bentuknya seperti percakapan, nasehat, mantra, dan lain-lain, proses sosio-kultural dalam masyarakat berlangsung. Karakteristik yang akan kehilangan maknanya ketika dihentikan, pada akhirya menciptakan sebuah relasi yang dinamis dalam masyarakat bertradisi lisan.
Dengan karakteristik demikian, kebudayaan dalam masyarakat bertradisi lisan kemudian diajarkan pula dengan kekuatan bunyi. Seorang pemangku adat ketika mengajarkan mantra-mantra kepada murid-muridnya, melarang mereka untuk mencatat, karena dianggap akan menghilangkan kesakralan dan daya magis mantra-mantra yang akan diajarkan.Â
Untuk bisa memperoleh pengetahuan mendalam tentang mantra, seorang murid harus menghafal dan mengucapkannya secara berulang-ulang. Ketika hal itu sudah dijalani, maka si murid akan dengan mudah memahami apa-apa yang diajarkan gurunya dan pada masa mendatang tidak akan mudah lupa mantra-mantra tersebut.
INGATAN SEBAGAI KUNCI: UCAPAN-UCAPAN MNEMONIC & FORMULAIKÂ
Karena kata yang dibunyikan merupakan bagian terpenting dalam masyarakat lisan serta tidak hanya mempengaruhi bentuk eskpresi tetapi juga pemikiran, maka ingatan menjadi kunci utama dalam relasi sosial. Karena tidak ada rujukan tulis yang setiap saat bisa dibaca dan dipelajari, maka ketika akan melakukan tindakan atau menyelesaikan masalah mereka akan merujuk pada apa-apa yang dituturkan oleh para sesepuh untuk kemudian menggunakannya. Maka, ingatan menjadi kunci utama karena tanpa ingatan yang baik, keberlangsungan sistem tradisi dalam masyarakat akan terganggu.
Untuk mempermudah "proses mengingat" maka dalam masyarakat bertradisi lisan tuturan-tuturan dari para sesepuh harus mudah diingat. Untuk menjadi mudah diingat maka pikiran-pikiran yang akan disuarakan kembali lebih bersifat mnemonics, "diciptakan untuk mudah diulang-ulang secara lisan."
Untuk bisa menjadi mnomonics maka pikiran-pikiran kita harus bernuansa ritmik, mempunyai bentuk-bentuk yang serba seimbang, repetitif atau antitesis, aliterasi dan asonansi, epitetik serta ekspresi-ekspresi formulaik lainnya. Di samping itu, setting tematik yang diusung juga mesti standard, semisal tentang kepahlawanan maupun cerita-cerita yang dekat dengan kehidupan sehari-hari sehingga masyarakat akan mudah mengingatnya.Â
Dalam peribahasa, misalnya, kita bisa menemukan betapa teknik tuturan yang dipakai banyak yang mengedepankan model mnemonics sehingga anggota masyarakat akan mudah mengingatnya. Berakit-rakit kita ke hulu/berenang-renang ke tepian/bersakit-sakit dahulu/bersenang-senang kemudian.
Sifat mnemonics dalam kebudayaan lisan juga mensyaratkan penciptaan formula pemikiran dan tuturan yang biasanya bersifat ritmik, berirama. Maka tidak mengherankan bahwa dalam pantun, misalnya, kita akan banyak menemukan irama yang dibangun melalui struktur persajakan yang cukup sederhana dan sangat mudah untuk diingat.Â