Modernisme bukan sekedar benda-benda industrial di dalam rumah, tetapi lebih dari itu, sebuah orientasi dan laku hidup yang harus dihormati, dilakoni, dan diyakini. Tugas dhukun pandhita bukanlah menolak kehadiran nilai-nilai modernitas. Sebaliknya, ia harus berkenan mengakomodasinya dalam ritual yang menjadi tradisi baru bagi masyarakat Tengger.Â
Lebih jauh lagi, kemauan Sutomo untuk menyelenggarakan ritual Mayu Ilmu dengan rujukan ritual Mayu Desa dan Mayu Bumi menegaskan sebuah "penghormatan" sekaligus bentuk internalisasi dan transformasi kekuatan modernitas ke dalam alam pikir tradisional masyarakat.Â
Dalam kerangka hibriditas yang demikian, budaya modern dan tradisional bukanlah dua kutub biner yang harus selalu dihadapkan sebagai musuh. Sebaliknya, dua konsepsi tersebut bisa dipertemukan dan disandingkan sebagai keyakinan dan ritual baru bernuansa hibrid yang menjadi konsensus bagi masyarakat Tengger untuk hidup di tengah-tengah keberantaraan kultural.
Hibriditas orientasi pengetahuan dalam masyarakat Tengger menjadi bukti bahwa masyarakat lokal tidak mengambil sepenuhnya nilai-nilai ideologis yang dibawa pendidikan modern, seperti sekulerisme, rasionalitas, dan individualisme. Sebagai subjek-subjek hibrid, mereka memang mengambil aspek-aspek yang membawa kemajuan dari pendidikan modern, tetapi membatasi masuknya pengaruh kebebasan mutlak yang bisa membawa sekulersisme di tengah-tengah kehidupan generasi muda.Â
Kehadiran sekulerisme tentu bisa memunculkan ketidakpercayaan terhadap kebenaran religi dan ritual yang diwarisi secara turun-temurun dari para leluhur mereka.Â
Dengan menjadi subjek hibrid yang berorientasi dualistik, masyarakat lokal bisa terus mendapatkan keuntungan dari proyek-proyek kemajuan tanpa harus dikuasai sepenuhnya oleh paham-paham kebebasan mutlak, sehingga keyakinan terhadap tradisi akan tetap terjaga.Â
Selain itu, dengan mendapatkan pendidikan modern, mereka bisa mengisi pos-pos penting dalam pemerintahan desa yang akan memberi kesempatan lebih kepada legalisasi pelestarian tradisi, tanpa intervensi dari pihak-pihak luar.Â
Artinya, hibriditas orientasi pengetahuan, memungkinkan mereka untuk mendapatkan keuntungan politiko-ideologis dalam hal penguatan tradisi lokal, sehingga kuasa hegemonik modernitas tidak bisa berlangsung sepenuhnya.
Prinsip apropriasi menjadi kunci utama bagi masyarakat lokal untuk menerima dan menyerap nilai-nilai positif dari pendidikan atau ilmu modern. Sutomo, dhukun pandita Ngadisari, menegaskan:
"Sampai sekarang tidak ada ritual, baik besar maupun kecil, yang kami tinggalkan. Kami memang menerima kemajuan teknologi dan zaman, tapi kami harus dapat menyaring mana yang baik dan tidak bagi kehidupan masyarakat dan budaya Tengger. Ilmu-ilmu modern yang hadir harus melengkapi apa-apa yang sudah berlangsung dalam masyarakat dan budaya kami. Pun tentang agama, kami tetap ingin menjadi Hindu Tengger, bukan Hindu Bali."
Pendapat Sutomo menegaskan adanya kesadaran penuh terhadap pengaruh positif budaya modern, utamanya ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi tanda perubahan zaman.Â
Kesiapan dan kemauan untuk menerima ilmu dan teknologi modern merupakan bentuk apropriasi yang dilakukan masyarakat lokal terhadap elemen-elemen kultural baru dari luar. Apropriasi tersebut mengarah kepada praktik transformasi berupa penerimaan budaya modern untuk melengkapi, memperkuat, dan memberdayakan budaya lokal yang masih dipertahankan hingga saat ini.