Kesadaran untuk menempuh pendidikan menjadi penanda penting modernitas masyarakat Tengger, meskipun, sampai tahun 2000, tingkat pendidikan mereka masih sangat rendah.Â
Menurut hasil penelitian Thoha yang dikerjakan tahun 2000 (dikutip dalam Sulistyowati, 2003), mayoritas masyarakat Tengger adalah lulusan SD (lebih dari 50 %), sedang yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah lebih dari 25 %. Sementara, yang lulus SMP kurang dari 6 % dan yang lulus SMA sebesar 5 %. Adapun yang lulus perguruan tinggi kurang dari 1 %.Â
Data kuantitatif tersebut tentu sangat mengejutkan, karena tahun 2000 sebagian besar penduduk di wilayah bawah sudah lulus SMP ataupun SMA dan sebagian lagi lulus perguruan tinggi. Paling tidak, masih menurut Thoha, kecenderungan untuk memanfaatkan anak-anak usia sekolah dalam kerja-kerja pertanian dan pariwisata menyebabkan rendahnya keinginan orang tua untuk menyekolahkan anaknya.
Keengganan untuk menyekolahkan anak merupakan kelanjutan dari apa-apa yang dialami oleh orang tua mereka. Orang tua yang terlahir pada era 1960-an, misalnya, mengalami masa-masa (era 1970-an) di mana pendidikan bukan hal yang utama bagi masyarakat Tengger.Â
Dalam sebuah perbincangan santai di rumahnya pada 22 Juli 2011, Manuto, salah satu lelaki Tengger di Desa Wonokerto, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo menceritakan pengalamannya sebagai berikut:
"Pada tahun 70-an, sebagian besar anak-anak Tengger, seusia saya, baru lulus SD. Waktu itu lulus SD itu sudah luar biasa. Orang tua kami memang lebih mendidik kami sebagai petani ladang. Kata mereka, buat apa sekolah, nanti juga jadi petani. Orang tua saya sudah menyiapkan keranjang dan arit setiap saya habis pulang sekolah. Apalagi kalau hari minggu, wah, kami harus di ladang seharian penuh. Nah, pada periode 80-an mulai berubah. Pada generasi anak saya yang sekarang berusia 25 tahun, anak-anak Tengger sudah mulai sekolah sampai tingkat SMA atau sebagian kecil kuliah."
Tenaga anak-anak jelas sangat membantu bagi kerja-kerja pertanian dan peternakan. Kalau mereka menempuh pendidikan sampai jenjang SMA, tentu saja, keluarga mereka akan kehilangan aset berupa tenaga produktif yang berarti pula harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk membayar pekerja di ladang.Â
Artinya, faktor pertanian komersil memang menjadi penentu utama bagi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Tengger. Selain itu, masyarakat Tengger juga memiliki persepsi bahwa sekolah sampai SMA maupun kuliah di perguruan tinggi tidak menjamin seseorang akan mendapatkan pekerjaan dan kemakmuran di kota.Â
Apalagi beberapa lulusan perguruan tinggi lebih memilih kembali ke desa, bekerja di ladang meskipun mereka bekerja sebagai guru maupun perangkat desa. Kondisi tersebut semakin memperkuat keengganan masyarakat Tengger untuk meng-kuliah-kan anak-anak mereka.Â
Namun, kondisi tersebut perlahan-lahan mulai berubah. Sebagian besar generasi muda Tengger saat ini sudah mengenyam pendidikan SMA. Bahkan, warga berusia 40-an yang dulunya hanya lulus SD atau SMP mulai di-sekolahkan melalui Kejar Paket B maupun Kejar Paket C.Â
Di Desa Ngadisari, misalnya, Kepala Desa Supoyo (saat ini menjadi anggota DPRD Kabupaten Probolinggo) dengan persetujuan perangkat desa dan dhukun pandita menyelenggarakan Kejar Paket C untuk warga yang belum lulus SMA. Bahkan, untuk memaksa warga agar mau bersekolah sampai jenjang SMA, Supoyo membuat kebijakan tidak mengizinkan kaum muda menikah sebelum mereka mendapatkan ijazah SMA.Â
Dia juga membuat perkuliahan kelas jarak jauh bekerjasama dengan salah satu perguruan tinggi swasta di Probolinggo. Pada tahun 2010, warga Ngadisari yang sudah sarjana berjumlah 25 orang (Sariono, dkk, 2010). Apa yang dilakukan Supoyo memang terkesan memaksa warga.Â