SAJAK GANDRUNG
Baiklah:Â
malam ini biarkan tubuhku dinikmati ratusan mata mengharap molek; ditelan kala berkuasa; dilukis batin mengasrat cinta; diresapi pemaju selalu bergairah. Ini pilihanku, bukan pilihanmu. Ini keputusanku, bukan keputusanmu. Sejarahku adalah sejarah bang-bang wetan bermain dalam pusaran malam: bersinar bersama embun menyapa.
Tak usah kau berkata: "Kau Dewi Sri, awal kehidupan". Karena aku adalah tubuh menuntut kehidupan itu sendiri. Karena aku adalah pikiran berpetualang dalam setiap kesempatan.
Malam ini jangan lagi kau berkata: "Kau adalah pahlawan dari Brang Wetan". Aku tidak butuh itu, Sayang. Aku butuh harum bau alkohol yang jujur; yang tidak pernah menuntut; yang tidak pernah berkutbah tentang surga. Karena surga adalah aku sendiri yang berhak memoles wajahku; yang berhak meliarkan tubuhku; yang berhak menghitung lembaran demi lembaran pembeli surga.
Kutbah-kutbah hanya menghadirkan surga dalam angan-anganku sedang hidup bukanlah angan-angan. Aku sudah lelah mendengar itu semua karena selalu diakhiri hitungan-hitungan di meja makan. Sementara, aku tetap di sini menghidupkan hidupku yang memang berhak untuk hidup.
Sayang,
hidup adalah kesungguhan gerak melintasi banyak kemungkinan: mengatasi banyak ocehan, tanpa tangisan. Seperti tubuhku yang malam ini melintasi mereka tanpa bisa disentuh.Â
Selendangku adalah luka harus dikibaskan; karena ia bukanlah tangis. Omprok-ku adalah keluhuran harus dijaga; keluhuran yang selalu menuntunku pada perjumpaan-perjumpaan indah dengan mereka; perjumpaan-perjumpaan yang menyambung kehidupan.Â
Gerakku adalah keagungan harus kupersembahkan kepada para leluhur yang mengantarkan kehidupan ini kepadaku; bukan untuk mereka, Sayang. Karena mereka hanyalah para pemuja selalu mengirimkan upeti dengan hati.
Baiklah:
malam ini, aku harus meninggalkanmu. Esok, kala seblang-seblang berakhir mari kita kembali bercengkrama tentang hidup menjelang tidur. Luruhkan tangismu bersama embun karena cerita kita masih berlanjut.
Banyuwangi, 21 Pebruari 2013
MELAMPAUI: BATAS DUA NAGARI
Selalu saja ada rindu melintasi kokoh batas dua nagari. Sujud gunung ini menghantar hasrat perjumpaan. Mendung menjatuhkan air ketika pepohonan menahan angin. Mataku menembus pekat mencari sekelebat bayang menuju timur.
"Aku menunggumu bersama air terus mengalir; menyapa beribu wajah berharap berkah. Tak perlu menghitung waktu karena yakin adalah keinginan menyatu dalam darah. Tak perlu risau menderu karena senyummu adalah kepastian menghampiriku bersama tembang wangi pepunden."
Kelok dan gelap jalanan menggiringku pada suaramu. Semakin dekat gending dan suara bambu menyibak tirai malam: mempertemukan kita di sebuah bukit. Wajahmu masih teguh menyimpan harapan meski mimpi terlalu berat untuk dihapus.
Apa yang akan kita lakoni dalam perjumpaan ini? Apakah sebuah percumbuan yang kita nantikan sepanjang masa?
"Ya, percumbuan yang meluruhkan dendam menjelajah gemuruh batin; percumbuan yang membebaskan kita dari dalil-dalil suci; percumbuan yang bermula pada sunyi malam dan berakhir pada bang-bang wetan; percumbuhan yang bermula dan berakhir pada sebuah kosong; percumbuan yang menjelma sujud, sebuah takjub tanpa kutub."
Gumitir-Kemiren, Banyuwangi, 24 November 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H