SEBELUM ORDE BARU
Bagi masyarakat Banyuwangi, Using diposisikan sebagai identitas kultural yang melekat pada diri dan kehidupan warga keturunan Blambangan sejak awal. Padahal, kalau kita memahami dari proses kolonial, sebagaimana tulisan sebelumnya, berkembangnya istilah Using tidak bisa dilepaskan dari kontestasi kepentingan di masyarakat.
Kalaupun pada akhirnya, mereka menempatkan Using sebagai identitas atau, bahkan, nama suku yang berbeda dari Jawa, itu semua tidaklah terjadi secara alamiah. Proses kompleks terkait penundukan dan survival di era kolonial ikut membentuk kesadaran akan munculnya identitas Using. Di era pascakolonial, persoalan identitas ini menjadi semakin kompleks karena campur tangan rezim negara, khususnya rezim Orde Baru.
Apa yang perlu dicatat adalah bahwa pada masa revolusi fisik belum ada gerakan perlawanan yang menggunakan mobilisasi simbol-simbol budaya Using, kecuali kesadaran revolusioner untuk memerdekakan Banyuwangi dari cengkraman penjajah. Simpul-simpul kebudayaan berkembang untuk menyemaikan identitas Using, tetapi tidak dimaksudkan sebagai kekuatan penopang perlawanan fisik.
Meskipun terdapat beberapa tafsir terhadap kesenian gandrung yang diposisikan sebagai kesenian penuh sandi komunikasi antarpejuang, kesadaran massif sebagaimana yang dilakukan gerakan mesiah Ratu Adil tidak tampak berkembang di Banyuwangi.
Kendati demikian, pada masa Agresi militer Belanda II (1947), gerakan perlawanan yang dilakukan oleh laskar tentara lokal menggunakan nama Gerilyawan Macan Putih; sebuah identifikasi terhadap kejayaan kerajaan Blambangan di bawah Prabu Tawang Alun, meskipun dalam hal lokasi gerilya mereka selalu berpindah-pindah (Wilis, 2005: 59-61).
Pada masa awal kemerdekaan, di masa Sukarno, masih belum berkembang usaha untuk menggunakan wacana ke-Using-an untuk melakukan gerakan sosial dan budaya. Pada masa ini, setiap kekuatan kultural, khususnya sastra dan seni, lebih mengedepankan perjuangan berdasarkan ideologi politik masing-masing.
Secara individu dan kelompok mereka memang melakukan perjuangan budaya, tetapi itu semua terpolarisasi dalam batas-batas ideologis yang tegas. HSBI (Himpunan Seni dan Budaya Islam) lebih memfokuskan garapan pada tari-tarian Melayu dan drama modern berlakon kisah Islam. LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) menggarap kesenian karawitan. Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim) lebih tertarik mengembangkan perpaduan seni hadrah dan drama (hadrama).
Adapun yang banyak melakukan advokasi terhadap kesenian rakyat keturunan Blambangan adalah Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Bahkan, para seniman dan sastrawan yang bergabung di kelompok yang dikatakan mendukung ideologi komunis ini memopulerkan karya-karya lagu dan karya-karya sastra berbasis bahasa Using.
Mohammad Arif pencipta lagu Genjer-genjer yang secara nasional dianggap sebagai lagu komunis, khususnya setelah diplesetkan dalam film Pengkhianatan G 30 S PKI. Ia mendirikan kelompok musik angklung Sri Muda dengan lagu-lagu yang menyuarakan suara rakyat jelata.
Andang Chatib Yusuf menulis puisi-puisi berbahasa Using, selain yang berbahasa Indonesia, yang mengangkat tema-tema rakyat jelata yang banyak dipenuhi metafor-metafor lokal.
Para seniman Lekra juga mengadvokasi kesenian Damarwulan dan Gandrung, sehingga semakin populer di tengah-tengah masyarakat Banyuwangi dan kabupaten-kabupaten tetangganya.
Lekra berkontribusi besar terhadap besarnya jumlah pemilih PKI di Banyuwangi yang pada tahun 1955 menempati urutan ketiga dengan perolehan 60 ribu suara di bawah NU yang memperoleh 100 ribu suara dan PNI dengan 90 ribu suara (Ningtyas, 2009: 31).
Dengan kata lain, menurut saya, kontribusi para seniman dan sastrawan Lekra terhadap pengembangan identitas Using tidak bisa dianggap remeh, meskipun hal itu juga tidak bisa dilepaskan dari tendensi politik institusi yang dikatakan underbow-nya PKI ini.
Populernya lagu-lagu berbahasa Using, baik yang menggunakan musik angklung maupun keroncong, misalnya, ikut serta mengkonstruksi sebuah wacana dan kesadaran bahwa di Banyuwangi memang nyata ada kekuatan kultural yang tumbuh dan berkembang dari tradisi agraris dan ekspresi rakyat jelata. Namun demikian, pada waktu itu, sekali lagi, belum ada gerakan untuk membentuk identitas atau suku Using.
Sayangnya, peristiwa berdarah 1965 ikut menenggelamkan krontribusi diskursif dan praksis Lekra terhadap pengembangan dan penyebarluasan identitas Using di fase-fase awal kemerdekaan RI.
Lebih parah lagi, banyak di antara seniman dan sastrawan Lekra yang harus kehilangan hak hidup mereka karena dicabut oleh laskar sipil yang mendendangkan kalimat suci atas provokasi aparat militer tertentu.
Sebagian lagi harus mendekam di penjara tanpa proses pengadilan. Masa 1965 sampai 1970 bisa dianggap sebagai "fase kelabu" dari proses pengembangan dan penumbuhan budaya Using di Banyuwangi.
Meskipun banyak seniman yang tidak dipenjara atau tidak dibunuh, mereka ketakutan untuk berkarya karena trauma pembunuhan 65. Sebuah hingar-bingar musikal, tari, drama, dan sastra dari Brang Wetan harus berhenti karena ambisi rakus sekelompok elit Republik yang celakanya menjadi komprador kekuatan politk dan modal asing.
Artinya, seandainya tragedi 65 tidak terjadi, kesenian-kesenian berbasis Using bisa menjadi kekuatan kultural yang berjalin-kelindan dengan kampanye Sukarno untuk berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dan melawan anasir-anasir kekuatan asing. Sayangnya, peristiwa itu terjadi dan sebagai salah satu akibat dari trauma yang diciptakannya, sebagian besar seniman Banyuwangi pada masa awal rezim Orde Baru hingga saat ini mengaku tidak tahu-menahu tentang Genjer-genjer dan Lekra yang telah ikut berkontribusi terhadap penumbuhan identitas Using.
MENYEMAI IDENTITAS DALAM KENDALI REZIM ORDE BARU
Sementara di zaman kolonial hingga awal kemerdekaan identitas Using masih belum menjadi kekuatan yang mengerucut menjadi nama suku atau budaya, di masa Orde Baru keadaan berbalik. Identitas Using seperti menjadi "paket yang sudah dibungkus" rapi, tidak bisa diotak-atik lagi, bahkan tidak perlu diganggu-gugat lagi.
Memang banyak peneliti yang mencoba untuk merangkai asal-muasal menguatnya identitas tersebut di masa Orde Baru. Namun, sebagian besar masih terjebak ke dalam rujukan masa kolonial yang tentu saja sangat berbeda kondisi sosial, ekonomi, politik, maupun kulturalnya. Rujukan yang sudah hampir dianggap sebagai kebenaran tersebut ternyata masih menyisakan banyak persoalan di kemudian hari.
Apa yang menarik untuk dicermati adalah bagaimana identitas yang bernama Using ini bisa tumbuh, bersemi, dan berkembang dalam ranah budaya Banyuwangi, sementara secara kuantitas masyarakat Jawa Kulonan dan Madura lebih dominan? Bagaimana peran aktor kultural, khususnya budayawan, dalam mengkonstruksi dan menegosiasikan ke-Using-an dalam kehidupan multi-etnis dan multikultural di bumi Banyuwangi?
Ranah kultural apakah yang digunakan untuk menyemaikan identitas tersebut? Bagaimana peran rezim negara Orde Baru dalam proses kultural tersebut? Tanpa membincang persoalan-persoalan tersebut, penelusuran terbentuknya dan menguatnya konstruksi identitas Using bisa dipastikan tidak menyentuh substansinya.
Sebagaimana saya jelaskan sebelumnya, tragedi berdarah 1965 menjadi titik-balik aktivitas budaya di bumi Banyuwangi yang sebelumnya sangat ramai oleh bermacam lembaga kesenian dan kebudayaan berhaluan ideologi partai politik tertentu. Pada masa inilah kebudayaan Banyuwangi tidak hanya berwarna Using, tetapi juga Jawa, Melayu, maupun Madura.
Semua lembaga, seniman, dan sastrawan meramaikan budaya Banyuwangian yang tidak mengedepankan satu identitas; semua memiliki kesempatan untuk berekspresi, berkontestasi, dan berselebrasi, meskipun terkadang juga dibumbuhi tegangan ideologis, tapi tidak pernah berujung pada konflik fisik (Sariono, Subaharianto, Saputra & Setiawan, 2010).
Artinya, di masa kepemimpinan Soekarno dalam lingkup nasional, semua aktor lokal dengan aktivitas ekspresif maupun pemikiran mereka berusaha mengkonstruksi identitas bukan Using, tetapi Banyuwangian sebagai kekuatan kultural yang memiliki karakteristik plural sebagai kelanjutan dari keterbukaan dan pluralisme sejak zaman kerajaan hingga kolonial.
Semua proses itu seolah "mati suri" atau bahkan dianggap akan "mati sebenarnya" karena tragedi 1965 ketika banyak anggota, simpatisan, atau orang yang dituduh PKI serta anggota lembaga yang dianggap underbow PKI, seperti Lekra banyak yang dibunuh dan dipenjara. Peristiwa tersebut memunculkan trauma berkepanjangan di kalangan seniman rakyat.
Memasuki tahun 1970-an dan semakin gencar di era 1980-an, pemerintah pusat mulai berpikir-ulang untuk memasukkan kesenian dan budaya tradisional sebagai salah satu pilar penting dalam budaya nasional yang menopang program pembangunan nasional yang mereka galakkan sampai ke tingkat daerah.
Selain sebagai amanat UUD 1945, budaya nasional yang dibangun dari "puncak-puncak kebudayaan daerah" diposisikan sebagai kekuatan strategis untuk mentransformasi jati diri bangsa dalam menangkal pengaruh negatif modernitas sebagai akibat dari pembangunan berorientasi Barat. Dalam REPELITA II (Rencana Pembangunan Lima Tahun II) 1974/1975-1978/1979 dikatakan:
Oleh karena itu dalam rangka pembinaan dan pemeliharaan kebudayaan nasional termasuk pula penggalian dan pemupukan kebudayaan daerah sebagai unsur penting yang memperkaya dan memberi corak kepada kebudayaan nasional... Tradisi serta peninggalan sejarah yang mempunyai nilai perjuangan dan kebanggaan serta kemanfaatan nasional juga dibina dan dipelihara untuk dapat diwariskan kepada generasi muda...
Pembinaan kebudayaan nasional harus sesuai dengan norma-norma Pancasila. Di samping itu harus dicegah timbulnya nilainilai sosial budaya yang bersifat feodal dan untuk menanggulangi pengaruh kebudayaan asing yang negatif. Di lain pihak cukup memberikan kemannpuan masyarakat untuk menyerap nilai-nilai dari luar yang positif dan yang memang diperlukan bagi pembaharuan dalam proses pembangunan, selama tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa.
Budaya Barat atau budaya asing lainnya boleh diserap ke dalam pengetahuan dan praktik pembangunan nasional, asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan kepribadian timur. Meskipun demikian, rezim sangat sadar bahwa tidak mungkin bisa menangkal sepenuhnya pengaruh negatif dari kebebasan yang diwacanakan dalam budaya Barat ke dalam perilaku generasi muda Indonesia.
Budaya daerah atau tradisional dianggap mengandung nilai-nilai adiluhung sebagai identitas masyarakat daerah dan bangsa yang bisa menjadi filter bagi berkembangnya gaya hidup Barat melalui beragam budaya pop yang diimpor dari Amerika Serikat dan ditiru oleh banyak kreator di tanah air.
Meskipun demikian, rezim negara juga tidak menghendaki budaya feodalisme yang bersemayam di dalam banyak budaya daerah ikut dikembangkan, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai kemajuan yang ditawarkan pembangunan nasional.
Selain itu, mereka juga tidak ingin muncul kekuatan-kekuatan politik yang dibangun berdasarkan kesamaan identitas kultural, semisal bahasa dan kesenian yang memang sangat mudah membangun imajinasi dan ikatan kolektif kedaerahan. Munculnya kekuatan-kekuatan politik berbasis kedaerahan bisa menjadi ancaman serius terhadap kemapanan otoritas politik negara serta diwacanakan bisa menggangu stabilitas nasional dan pembangunan nasional.
Dengan perspektif itulah, pemerintah daerah melalui koordinasi dengan aparatus militer diperbolehkan menghidupkan kesenian-kesenian rakyat, termasuk yang pada masa Sukarno berada dalam pengaruh Lekra. Tentu saja, konten dari pertunjukan kesenian tersebut tidak diperkenankan menyinggung atau mengkritik kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Aparat militer ikut menyensor konten yang akan disampaikan para seniman ke khalayak luas.
Hal ini juga diterapkan ke dalam industri budaya pop di tingkat pusat, dari musik, film, hingga tayangan televisi. Maka, di beberapa daerah Jawa Timur, kesenian rakyat mulai dihidupkan kembali. Ludruk di wilayah kebudayaan Arek, misalnya, mulai digelar dalam hajatan keluarga maupun peringatan hari-hari besar dan bersih desa, tetapi dengan pengawasan ketat dari aparatus militer, sampai dengan urusan kidungan dan lakon yang harus disesuaikan (Setiawan & Sutarto, 2014).
Di Banyuwangi, Bupati Joko Supa'at Slamet menerapkan kebijakaan tersebut dengan mengumpulkan para seniman yang dulunya aktif di lembaga-lembaga berorientasi ideologi partai. Dalam arahannya, bupati menasehati para seniman untuk mengembangkan-kembali kesenian-kesenian daerah yang sudah ada.
Hasnan Singodimayan, salah satu anggota HSBI yang ikut diundang bupati, masih ingat bagaimana ucapan Joko: "Sekarang ini ada potensi kesenian daerah, angkat itu, menurut kemampuan Saudara, jangan pecah belah perkara Partai, ndak usah mikir partai sudah" (Sariono, Subaharianto, Saputra & Setiawan, 2010).
Kesenian daerah yang dimaksud adalah gandrung, angklung, serta janger yang dulunya sangat terkenal. Pesan Joko juga bermakna bahwa para seniman diizinkan untuk mengembangkan-kembali kesenian sebagai penopang budaya daerah, tetapi tidak diperkenankan untuk memasukkan ideologi-ideologi, khususnya ideologi komunis dan yang berbau SARA karena bisa dikhawatirkan menimbulkan konflik horisontal.
Sebuah momen politis menjadi legitimasi untuk menggerakkan kembali kesenian rakyat Banyuwangi dengan arahan Negara. Pada tahun 1970, Presiden Soeharto melakukan kunjungan ke Desa Tapanrejo, Kecamatan Muncar. Di antara kesenian yang ditampilkan adalah gandrung. Rupa-rupanya, penguasa Orba tersebut tertarik dengan kesenian ini. Pemkab Banyuwangi pun dipersilahkan mengembangkan kesenian rakyat dengan tetap melalui mekanisme pembinaan.
Dengan mengambil kebijakan pembinaan dan pelestarian yang disahkan dalam SK Nomor um/1968/50 tertanggal 19 Mei tahun 1970 (Waluyo & Basri, 2007), Joko mendapatkan penilaian positif dari kalangan seniman sebagai aktor kultural di Banyuwangi. Inilah fase dimulainya proyek hegemoni negara melalui prinsip artikulasi dan inkorporasi terhadap eksistensi budaya Banyuwangi warisan masa lampau, khususnya Using.
Dalam proses berikutnya, beberapa aktor kultural melakukan gerakan untuk 'membangunkan-kembali' para seniman rakyat yang 'tengah tiarap' akibat trauma. Pilihan yang diambil adalah kesenian yang menggunakan bahasa Jawa-Banyuwangi, atau yang di masa kolonial dilabeli bahasa Using, seperti gandrung dan angklung. Selain itu, kesenian drama janger atau damarwulan juga dikembangkan.
Hasan Ali dan Hasnan Singodimayan, dua seniman yang juga berstatus sebagai PNS, juga melakukan lobi terhadap bupati agar para seniman seperti Andang CY, Mahfud, dan Basir Noerdian yang dikenal publik sebagai anggota Lekra, diperbolehkan untuk berkarya-kembali karena dua orang itu merupakan figur-figur sentral dalam kesenian musik Banyuwangian. Bupati mengizinkan dengan syarat agar mereka tidak diberi peran terlalu banyak.
Sementara, Mas Soepranoto, yang juga PNS, meminta izin bupati untuk menghidupkan kembali angklung yang identik dengan Lekra dan Genjer-genjer. Izin diberikan dengan catatan lagu-lagunya harus mendukung pembangunan kebudayaan nasional dan pembangunan nasional (Sariono, Subaharianto, Saputra & Setiawan, 2010).
Mulai berseminya identitas Using tidak bisa dilepaskan dari kontribusi para seniman yang disponsori negara untuk memulai proyek kebudayaan khas Banyuwangi. Dipilihnya kesenian-kesenian yang menggunakan bahasa Using menjadi strategi populis karena, baik kesenian lagu maupun tembang dan tari, merupakan ekspresi kultural khas dan unik yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain di Jawa dan Indonesia.
Maka, Hasan Ali kemudian berupaya melakukan rekaman terhadap lagu-lagu para seniman musik tersebut dengan menggunakan angklung yang sudah ditambahi alat musik gandrung, sehingga disebut "angklung daerah". Lagu-lagu seperti Kembang Galengan, Kembang Peciring, Amit-amit, Kembang Pethetan, Ulang Andung-andung, Prawan Sunti, Kali Elo, Tanah Kelahiran, Ugo-ugo, Umbul-umbul Blambangan dan yang lain, direkam dan disebarluaskan melalui radio khusus pemerintah daerah (RKPD, Suara Blambangan).
Penyebarluasan lagu-lagu berlirik bahasa Using inilah yang menjadi tonggak-baru kebangkitan identitas Using di wilayah Banyuwangi secara massif karena banyak warga yang menggunakan bahasa berciri khas "sing" atau "Using" ini yang menggemari. Perlahan-lahan mereka mulai lepas dari trauma Genjer-genjer yang diklaim sebagai lagu komunis.
Lebih jauh lagi, warga yang berbahasa Using mulai menemukan kebanggaan karena bahasa mereka digunakan sebagai bahasa lagu yang direkam dan disebarluaskan oleh rezim negara. Apalagi dalam sosialisasinya, musik garapan tersebut selalu diwacanakan sebagai Musik Lare Using atau Gaya Musik Lare Using (Arps, 2009: 16).
Untuk semakin menggairahkan dan menyebarluaskan ke-Using-an di tengah-tengah masyarakat Banyuwangi, RKPD Suara Blambangan juga diminta membuat program-program khusus, seperti Gaya Lare Using, Siaran Bahasa Using, Sastra Using, dan Drama Using.
Selain itu, pada 1970-an sampai dengan 1980-an diselenggarakan acara tahunan Lomba Tembang Using yang menyanyikan lagu-lagu gandrung. Efek diskursif dari mulai berkembangnya kebanggaan akan Using adalah mulai meluasnya usaha-usaha diskursif turunan yang dilakukan oleh individu seniman ataupun pengusaha swasta yang ikut memopulerkan lagu-lagu berbahasa Using dalam bentuk rekaman pita/kaset.
Beberapa individu, seperti Fatrah Abal, seorang seniman dan kontraktor listrik, menciptakan lagu-lagu berbahasa Using bertema cinta seperti Gelang Alit dan pentingnya pendidikan serta kepahlawanan Menak Jinggo diiringi musik Melayu yang pada awal 1970-an mulai populer di Banyuwangi. Perusahaan rekaman swasta, seperti Sarianda Record dan Ria Record di Banyuwangi, Moro Seneng di Kalibaru, dan Kencono Record Rogojampi, mulai merekam dan mengedarkan lagu-lagu berlirik Using (Waluyo & Basri, 2007).
Namun dikarenakan rezim tidak ingin kehilangan kendali atas proyek kultural yang mereka usung, usaha-usaha individual maupun swasta tersebut mulai dibatasi. Artinya, tafsir pengembangan identitas kedaerahaan di Banyuwangi tidak boleh melanggar pakem dan kebijakan yang sudah diputuskan oleh negara dan diamini oleh sebagian para aktor yang terlibat di dalam penentuan kebijakan tersebut.
Fatrah Abal, misalnya, dianggap melanggar pakem musikal angklung daerah dan gandrung karena menggunakan musik Melayu. Sebagai pelaku seni yang punya tujuan untuk menyabarluaskan budaya Banyuwangi, khususnya yang berwarna Using, ke khalayak yang lebih luas, tentu saja, ia berhak untuk meniru dan menyerap aspek musikalitas yang berasal dari luar. Apalagi motivasi ekonomi untuk mendapatkan populeritas juga menyertai usaha kultural tersebut.
Namun, bagi rezim negara, kreativitas tersebut dianggap berpotensi mengganggu pelestarian kesenian dan kebudayaan Using yang memang sedang diunggulkan demi mengejar karakteristik daerah Banyuwangi yang berbeda dengan daerah lain. Ketika musik Melayu dimasukkan dalam lagu-lagu Using, maka bisa mengganggu orisinalitas dari ke-Using-an itu sendiri.
Peristiwa ini sekaligus menjadi penanda lahirnya politisasi identitas fase awal di Banyuwangi, di mana para aktor kultural dukungan rezim negara membayangkan adanya "unsur inti" yang tidak boleh diganggu-gugat demi mengkonsolidasikan kesamaan dan kesadaran terhadap ke-Using-an dalam ranah populer.
Kesepakatan antara rezim negara dan budayawan memunculkan 'percumbuan manis' antara kepentingan untuk melestarikan budaya yang dianggap asli/khas dengan kekuasaan untuk mengendalikan gerak kultural masyarakat. Karena Fatrah tidak mau tunduk terhadap kebijakan tersebut, pemerintah membatalkan beberapa kontrak instalasi listrik yang akan dikerjakannya sebagai kontraktor.
Sementara, untuk mencegah komersialisasi terhadap usaha pelestarian kesenian Using, Ketua RKPD mengeluarkan Surat Edaran No 51/RKPD/V 1972 yang berisi larangan pengedaran dan penjualan lagu-lagu daerah Banyuwangi bagi para pengusaha rekaman swasta (Waluyo & Basri, 2007).
Pelarangan ini merupakan bentuk kekhawatiran rezim negara terhadap perkembangan liar dari industrialisasi kesenian yang bisa mengarah ke praktik swastanisasi secara massif, sehingga mereka akan kesulitan untuk mengendalikan proyek pelestarian karena naluri bisnis swasta selalu berorientasi pasar tanpa memikirkan kepentingan budaya. Tentu saja, keliaran tematik industrialisasi musik Banyuwangian dikhawatirkan akan mengusung lirik-lirik atau mempopulerkan genre musik yang bertentangan dengan arah kebijakan rezim, atau bisa mengganggu kemapanan kekuasaan.
Meskipun dalam catatan Arps (2009: 3) dikatakan bahwa sampai dengan tahun 1983 ketika dia memulai riset lapangannya di beberapa desa du Banyuwangi masih banyak ditemukan masyarakat yang mengidentifikasi kesukuan dan kebahasaan mereka dengan "Jawa" dan bukan "Using", program musikal, bahasa, dan sastra yang dilakukan oleh RKPD dengan pelibatan para seniman yang disokong rezim negara bisa kami katakan sebagai bentuk penyemaian awal bahasa dan budaya Using sebagai identitas khas masyarakat Banyuwangi yang multi-etnis dan multi-bahasa.
Lebih dari itu, program-program tersebut juga memberikan peluang lebih besar bagi konsolidasi dan penguatan identitas Using oleh para budayawan yang ditopang oleh negara. Kalaupun masih banyak warga pribumi Blambangan yang mengidentifikasi diri mereka sebagai Jawa, hal itu bisa jadi dipengaruhi oleh perjalanan historis yang mendudukkan Using sebagai sebutan yang mengejek.
Dalam perkembangan dari 1980-an sampai dengan 1990-an, penyemaian dan pengembangan identitas Using masih terus berlangsung dalam arahan dan kebijkan rezim negara Orde Baru, meskipun memunculkan juga riak-riak kecil yang dilakukan oleh individu-individu dan pihak swasta.
Ragam wacana digunakan untuk mensosialisasikan dan menyebarluaskan identitas Banyuwangi ini ke tengah-tengah masyarakat. Arps (2009) menyebutnya discursive ambience, di mana banyak ragam wacana di tempatkan di banyak lingkungan masyarakat Banyuwangi serta melibatkan banyak institusi, individu, kelompok, sehingga akan mempengaruhi pola pikir, imajinasi, dan pemahaman masyarakat terhadap wacana ke-Using-an.
Menariknya, perluasan dan pelipatgandaan medium ke-Using-an ini diramu secara manis dengan banyak kisah-kisah heroik seputar Kerajaan Blambangan, penetapan hari jadi, tradisi kuliner, etnisisasi ikon di tempat publik, pakaian, populeritas kesenian berbasis Using, dan lain-lain; sebuah glorifikasi dan valorisasi masa lampau untuk kepentingan masa kini.
Identifikasi identitas Using yang merujuk pada kisah-kisah heroik disebarluaskan oleh para budayawan yang dulunya para seniman yang dilibatkan dalam proyek budaya rezim negara dan sejarahwan yang, sekali lagi, mendapatkan legitimasi dari rezim pemerintah kabupaten.
Bahkan, penetapan hari jadi pada tanggal 18 Desember 1771, setelah melalui perdebatan dalam banyak seminar yang juga melibatkan akademisi dari Bali, Jember, dan Yogyakarta, juga merujuk pada perlawanan Wong Agung Wilis terhadap penjajah Belanda, di mana pasukan pimpinannya berhasil untuk sementara waktu mengalahkan penguasa asing tersebut.
Meskipun pada masa itu kabupaten ini masih bernama Kerajaan Blambangan, rujukan pada tanggal, bulan, dan tahun tersebut jelas ditujukan untuk memunculkan kebanggaan regional berbasis kisah kepahlawanan. Identifikasi heroisme sebagai basis untuk menentukan hari lahir selain berkaitan dengan kebanggaan juga berkaitan dengan mendapatkan legitimasi politiko-historis yang bisa memperkuat solidaritas sebagai sama-sama warga pewaris kejayaan Blambangan.
Apa yang berlangsung di Banyuwangi pada era Orde Baru menunjukkan bahwa identitas Using bukanlah sesuatu yang tiba-tiba lahir. Alih-alih, proses identifikasi Using merupakan transformasi dari apa-apa yang diwariskan oleh pengetahuan dan praktik kultural era kolonial.
Sejak era kolonial, labelisasi yang bernuansa stereotip berlangsung dalam kehidupan warga keturunan Blambangan. Meskipun demikian, mereka bisa melakukan proses kebudayaan yang dinamis dan lentur dengan memformulasi beragam ritual dan kesenian. Kesemarakan tersebut menjadikan masyarakat Using memiliki karakteristik dan menjadi penanda penting budaya Banyuwangi.
Bagi rezim Orde Baru, kesemarakan yang menyisahkan bermacam peristiwa tragis pasca 1965 memang harus dibina dan dikendalikan secara benar. Tujuannya, menetralisir sisa-sisa komunisme yang pada masa sebelumnya begitu kental di kalangan seniman, terutama mereka yang berafiliasi ke Lekra, serta mendukung proyek budaya nasional.
Akibatnya, kesenian lebih semarak dan berhasil menyebarkan konsep identitas Using secara massif ke tengah-tengah masyarakat, sehingga warga keturunan Blambangan mulai familiar dan menerima identifikasi yang sejatinya pada masa kolonial tidak disukai tersebut. Tentu saja, prinsip-prinsip selebrasi menjadi lebih utama, alih-alih semangat resisten terhadap kekuasaan yang dulu pernah diperjuangkan para leluhur Blambangan terhadap penjajah.
Dengan kata lain, diakui atau tidak, rezim Orde Baru secara diskursif dan praksis berhasil menanamkan fondasi identitas Using dalam aspek kebahasaan, kebudayaan, dan etnisitas yang sampai saat ini berkembang di masyarakat. Penekanan pada identitas dalam makna solidaritas dan kebanggaan dalam prinsip selebrasi, ikut berkontribusi membentuk kerangka berpikir dan praksis yang berkembang dalam masyarakat.
Perayaan ekspresi kultural yang dirintis sejak Orde Baru, pada akhirnya, ikut memperkuat identitas Using yang begitu meriah di tengah-tengah masyarakat. Meskipun demikian, kita juga menyaksikan, betapa sejak Orde Baru, kekuatan identitas tersebut secara pasti diarahkan untuk perayaan dengan meminimalisir potensi-potensi resistensi terhadap kekuasaan sehingga aspek ketertiban bisa diciptakan guna mendukung nasionalisme dan pembangunan.
* Tulisan ini merupakan bagian dari "Bab Using dalam konstruksi dan tegangan dari masa kolonial hingga masa pascakolonial" dalam buku Merawat Budaya/Merajut Kuasa: Identitas Using dalam Kontestasi Kepentingan (2017), diterbitkan Diandra Kreatif Yogyakarta, yang saya tulis bersama Albert Tallapessy dan Andang Subaharianto. Ditulis kembali khusus untuk Kompasiana.
DAFTAR RUJUKAN
Arps, Ben. 2009. “Using kids and the banners of Blambangan: Ethnolinguistic identity and the regional past as an ambient theme in East Javanese town”. Dalam Wacana, Vol.11, No.1: 1-38.
Ningtyas, Ika. 2009. “18 Oktober 1965”. Dalam Lembar Kebudayaan, No. 4: 9-41.
Sariono, Agus, Andang Subaharianto, Heru SP. Saputra, & Ikwan Setiawan. 2010. “Rancak Tradisi dalam Gerak Industri: Pemberdayaan Kesenian Tradisi-Lokal dalam Perspektif Industri Kreatif (Belajar dari Banyuwangi).” Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional. Jember: Fakutas Sastra Universitas Jember.
Waluyo, Paring & Hasan Basri. 2007. “Politik dan Bisnis dalam Industri Kesenian”. Dalam Harian Surya, edisi 2 Maret.
Wilis, Endro. 2005. “Gerilyawan Macan Putih”. Dalam Jejak, Nomor 7: 59-61.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H