Sementara di zaman kolonial hingga awal kemerdekaan identitas Using masih belum menjadi kekuatan yang mengerucut menjadi nama suku atau budaya, di masa Orde Baru keadaan berbalik. Identitas Using seperti menjadi "paket yang sudah dibungkus" rapi, tidak bisa diotak-atik lagi, bahkan tidak perlu diganggu-gugat lagi.Â
Memang banyak peneliti yang mencoba untuk merangkai asal-muasal menguatnya identitas tersebut di masa Orde Baru. Namun, sebagian besar masih terjebak ke dalam rujukan masa kolonial yang tentu saja sangat berbeda kondisi sosial, ekonomi, politik, maupun kulturalnya. Rujukan yang sudah hampir dianggap sebagai kebenaran tersebut ternyata masih menyisakan banyak persoalan di kemudian hari.Â
Apa yang menarik untuk dicermati adalah bagaimana identitas yang bernama Using ini bisa tumbuh, bersemi, dan berkembang dalam ranah budaya Banyuwangi, sementara secara kuantitas masyarakat Jawa Kulonan dan Madura lebih dominan? Bagaimana peran aktor kultural, khususnya budayawan, dalam mengkonstruksi dan menegosiasikan ke-Using-an dalam kehidupan multi-etnis dan multikultural di bumi Banyuwangi?Â
Ranah kultural apakah yang digunakan untuk menyemaikan identitas tersebut? Bagaimana peran rezim negara Orde Baru dalam proses kultural tersebut? Tanpa membincang persoalan-persoalan tersebut, penelusuran terbentuknya dan menguatnya konstruksi identitas Using bisa dipastikan tidak menyentuh substansinya.
Sebagaimana saya jelaskan sebelumnya, tragedi berdarah 1965 menjadi titik-balik aktivitas budaya di bumi Banyuwangi yang sebelumnya sangat ramai oleh bermacam lembaga kesenian dan kebudayaan berhaluan ideologi partai politik tertentu. Pada masa inilah kebudayaan Banyuwangi tidak hanya berwarna Using, tetapi juga Jawa, Melayu, maupun Madura.Â
Semua lembaga, seniman, dan sastrawan meramaikan budaya Banyuwangian yang tidak mengedepankan satu identitas; semua memiliki kesempatan untuk berekspresi, berkontestasi, dan berselebrasi, meskipun terkadang juga dibumbuhi tegangan ideologis, tapi tidak pernah berujung pada konflik fisik (Sariono, Subaharianto, Saputra & Setiawan, 2010).Â
Artinya, di masa kepemimpinan Soekarno dalam lingkup nasional, semua aktor lokal dengan aktivitas ekspresif maupun pemikiran mereka berusaha mengkonstruksi identitas bukan Using, tetapi Banyuwangian sebagai kekuatan kultural yang memiliki karakteristik plural sebagai kelanjutan dari keterbukaan dan pluralisme sejak zaman kerajaan hingga kolonial.Â
Semua proses itu seolah "mati suri" atau bahkan dianggap akan "mati sebenarnya" karena tragedi 1965 ketika banyak anggota, simpatisan, atau orang yang dituduh PKI serta anggota lembaga yang dianggap underbow PKI, seperti Lekra banyak yang dibunuh dan dipenjara. Peristiwa tersebut memunculkan trauma berkepanjangan di kalangan seniman rakyat.
Memasuki tahun 1970-an dan semakin gencar di era 1980-an, pemerintah pusat mulai berpikir-ulang untuk memasukkan kesenian dan budaya tradisional sebagai salah satu pilar penting dalam budaya nasional yang menopang program pembangunan nasional yang mereka galakkan sampai ke tingkat daerah.Â
Selain sebagai amanat UUD 1945, budaya nasional yang dibangun dari "puncak-puncak kebudayaan daerah" diposisikan sebagai kekuatan strategis untuk mentransformasi jati diri bangsa dalam menangkal pengaruh negatif modernitas sebagai akibat dari pembangunan berorientasi Barat. Dalam REPELITA II (Rencana Pembangunan Lima Tahun II) 1974/1975-1978/1979 dikatakan:
Oleh karena itu dalam rangka pembinaan dan pemeliharaan kebudayaan nasional termasuk pula penggalian dan pemupukan kebudayaan daerah sebagai unsur penting yang memperkaya dan memberi corak kepada kebudayaan nasional... Tradisi serta peninggalan sejarah yang mempunyai nilai perjuangan dan kebanggaan serta kemanfaatan nasional juga dibina dan dipelihara untuk dapat diwariskan kepada generasi muda...Â
Pembinaan kebudayaan nasional harus sesuai dengan norma-norma Pancasila. Di samping itu harus dicegah timbulnya nilainilai sosial budaya yang bersifat feodal dan untuk menanggulangi pengaruh kebudayaan asing yang negatif. Di lain pihak cukup memberikan kemannpuan masyarakat untuk menyerap nilai-nilai  dari luar  yang positif dan yang memang diperlukan bagi  pembaharuan  dalam  proses  pembangunan,  selama  tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa.
Budaya Barat atau budaya asing lainnya boleh diserap ke dalam pengetahuan dan praktik pembangunan nasional, asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan kepribadian timur. Meskipun demikian, rezim sangat sadar bahwa tidak mungkin bisa menangkal sepenuhnya pengaruh negatif dari kebebasan yang diwacanakan dalam budaya Barat ke dalam perilaku generasi muda Indonesia.Â