Yang pasti, asumsi-asumi stereotip yang dilekatkan dengan kata "Using" tersebut memang menyebarluas melalui banyak ranah, sehingga di sebagian masyarakat Jawa Kulonan, Panaragan, Madura, dan etnis-etnis lain berkembang cara pandang negatif. Kondisi itu pula yang menjadikan sebagian intelektual dan budayawan kritis dari Banyuwangi mencoba untuk melakukan pembacaan-ulang terhadap konstruksi tersebut, khususnya di masa pascareformasi.Â
* Tulisan ini merupakan bagian dari "Bab Using dalam konstruksi dan tegangan dari masa kolonial hingga masa pascakolonial" dalam buku Merawat Budaya/Merajut Kuasa: Identitas Using dalam Kontestasi Kepentingan (2017), diterbitkan Diandra Kreatif Yogyakarta, yang saya tulis bersama Albert Tallapessy dan Andang Subaharianto. Ditulis kembali khusus untuk Kompasiana.
Daftar Bacaan
Ali, Hasan. 2003. "Kata dan Predikat Using". Majalah Budaya Jejak, No. 03: 13-16.
Anoegrajekti, Novi. 2010. "Padha Nonton dan Seblang Lukinto: Membaca Lokalitas dalam Keindonesiaan". Jurnal Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 22, No.2: 171-182.
Arps, Ben. 2009. "Using kids and the banners of Blambangan: Ethnolinguistic identity and the regional past as an ambient theme in East Javanese town". Wacana, Vol.11, No.1: 1-38.
Hamid, Sumono Abdul. 2012. "Majapahit Kedaton Wetan, Negeri dengan Banyak Julukan". Lembar Kebudayaan, No. 24: 37-52.
Hamid, Sumono Abdul. 2011. "Wong Banyuwangi Bukan Using". Dalam Lembar Kebudayaan, No. 15: 23-30.
Lekkerkerker, C. 2005. "Sejarah Blambangan" (alih bahasa Pitoyo Budhy Setiawan). Diterbitkan-kembali dalam Jejak, No. 07: 77-81.
Margana, Sri. 2012. "Melukis Tiga Roh: Stigmatisasi dan Kebangkitan Historiografi Lokal di Banyuwangi". Lembar Kebudayaan, Juni: 5-36.
Stoppelar, Y.W. De. 2004. "Hukum Adat Belambangan". Diterbitkan-kembali dalam Jejak, No. 5: 67-77.