Karena, meskipun di Jawa Kulonan juga dikenal ritual dan kesenian sejenis, seperti sedekah bumi/nyadran dan seni tayub, secara struktur pertunjukan dan tampilan visual berbeda. Ritual yang berbeda antara komunitas Using yang satu dengan komunitas yang lain menegskan bahwa tidak mungkin menyeragamkan elemen-elemen kultural di antara komunitas Using, termasuk perbedaan persepsi terkait pertunjukan gandrung di mana tidak semua warga dari desa-desa Using mau menerimanya.
Pemertahanan ritual dan kesenian tersebut juga untuk menegaskan bahwa meskipun agama Islam mulai menjadi mayoritas sejak ditaklukkannya para prajurit Blambangan Hindu dan dikendalikannya pemerintahaan Banyuwangi oleh arapatus ningrat bentukan kolonial, secara kultural masyarakat (yang dikatakan) Using tidak bisa ditundukkan sepenuhnya, karena mereka masih mewarisi dan menerukan adat-istiadat para leluhur Blambangan-Hindu.Â
Oleh sebagian kaum santri, realitas kultural tersebut juga memunculkan stigma terkait tradisi masyarakat Blambangan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan agama, meskipun sebagian yang lain tidak mempermasalahkan. Dari foto-foto yang dibuat fotografer Belanda antara tahun 1910 sampai 1930, bisa dikatakan bahwa seblang dan gandrung menjadi ekspresi kultural khusus yang menunjukkan keberbedaan masyarakat Jawa-Banyuwangi. Tentu saja, bahasa juga menjadi penanda kekhususan tersebut.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa persoalan identitas Using pada masa kolonial, atau setelah ditaklukkannya Blambangan oleh pihak Belanda, masih diliputi oleh kabut tebal atau simpang-siur. Meskipun demikian, konstruksi positif tentang sikap hidup terbuka, jujur, tidak mau menyerah terhadap dan bekerjasama dengan kekuatan asing serta kesetiaan kepada adat-istiadat dan kesenian menunjukkan bahwa para sarjana Belanda berusaha memosisikan ke-Using-an dalam posisi identitas yang sangat khas.Â
Identitas inilah menjadi kekuatan mereka untuk mempertahankan perasaan senasib dan memperkuat komunalitas sebagai warga penerus kerajaan Blambangan. Keengganan untuk dilabeli sebagai Using merupakan pilihan sikap untuk tidak terkungkung dalam pemaknaan politis etnis lain, khususnya Jawa Kulonan dan Bali, yang secara historis menjadi kekuatan dominan-menindas dalam kehidupan para pendahulu mereka.
Kalaupun akhirnya mereka membiarkan labelisasi itu melekat ke dalam komunitas warga Jawa-Banyuwangi, hal itu semata-mata karena mereka sudah biasa mendengarkan sebutan itu dan secara politis tidak mungkin melawan kekuatan yang pernah melakukan genosida terhadap para pendahulu.Â
Dalam konteks itulah, masyarakat (yang dikatakan) Using membangun komunikasi dan dialektika kultural dengan kekuatan-kekuatan asing, bukan untuk menyatakan kekalahan, tetapi untuk mentransformasi identitas mereka di tengah-tengah semakin kuatnya pengaruh budaya asing, termasuk Eropa, Jawa Kulonan, Madura, dan lain-lain.Â
Bahkan dengan budaya Eropa, mereka melakukan dialektika, yakni ketika penari gandrung menggunakan kaos kaki dan musisinya menggunakan biola yang sudah disesuaikan dengan nada khas Blambangan. Dengan kata lain, identitas komunitas (yang dikatakan) Using juga diwarnai dengan kemampuan dan kemauan transformatif untuk mengapropriasi sebagian budaya asing yang dianggap baik meskipun itu berasal dari penindas tanpa harus meniru sepenuhnya.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan itulah asumsi stereotip bahwa komunitas (yang pada akhirnya menerima dikatakan) Using ini bukanlah masyarakat tertutup, tidak mau hidup berdampingan dengan etnis lain, khususnya Jawa Kulonan. Kalaupun ada asumsi bahwa mereka longgar dalam hubungan antarjenis, pertanyaannya, apakah di etnis lain juga tidak terjadi?Â
Toh, tidak semua dari mereka bersepakat dengan hubungan model itu. Kalaupun mereka dikatakan suka berpesta, apakah etnis lain tidak suka berpesta, khususnya yang terkait dengan ritual keluarga maupun komunal? Kalaupun mereka memiliki tradisi kawin mlayokaken yang dikatakan bertentangan dengan hukum agama dan negara, bukankah mereka punya mekanisme lokal untuk mengesahkan pernikahan itu? Apalagi semakin berkembangnya agama Islam dan melek hukum pernikahan menjadikan masyarakat Jawa-Banyuwangi mulai meninggalkan tradisi ini.Â
Kalaupun penari gandrung dianggap mengumbar erotisme dengan gaya tariannya, bukankah di etnis Jawa Kulonan dan etnis-etnis lain berkembang tarian serupa? Bukankah tarian-tarian itu merupakan kekayaan kultural masa lampau berbasis budaya agraris yang harus dibaca-kembali kontekstualisasinya di masa kontemporer?Â