Investasi makna gandrung secara massif sejak zaman Orde Baru, diakui atau tidak diakui, telah menjadikan kesenian ini menjadi ikon yang tidak bisa dipisahkan dari Banyuwangi. Namun apa yang mesti dicatat adalah bahwa rezim negara juga bisa melakukan pembajakan terhadap aspek identitas partikular ketika mereka merasakan kuatnya pengaruh disrkursif gandung bagi masyarakat, sehingga menginkorporasi gandrung beserta beragam wacananya merupakan usaha strategis untuk memaksimalkannya.Â
Akibatnya, makna-makna ideal dalam sebuah kesenian hanya menjadi perayaan yang membuncah dan seringkali menjadi inflasi diskursif. Dalam kondisi demikian, kekuatan sebenarnya perlahan-lahan dinihilkan dari aktivitas komunal sebagai bentuk praksis yang bisa menghubungkan karya estetik dengan gerakan-gerakan resisten terhadap kekuatan dominan.Â
Hal itu terbukti dengan tidak adanya program pemberdayaan yang terstruktur untuk komunitas gandrung terob yang menjadi kekuatan utama kesenian ini. Yang lebih diuntungkan kemudian, selain rezim negara, adalah para seniman pemilik sanggar yang mengembangkan tari garapan berbasis gandrung, khususnya mereka yang memiliki akses terhadap program bantuan dana pemerintah, meskipun itu tidak menjamin keajegan pengembangan itu sendiri.
* Tulisan ini merupakan bagian dari "Bab 3 Menjadi Using dalam pesona tembang dan gandrung", dalam  buku Merawat Budaya/Merajut Kuasa: Identitas Using dalam Kontestasi Kepentingan (2017), diterbitkan Diandra Kreatif (Yogyakarta), yang saya tulis bersama Albert Tallapessy dan Andang Subaharianto. Saya tulis ulang khusus untuk Kompasiana.Â
Daftar BacaanÂ
Basri, Hasan. 2009. "Gandrung dan Identitas Daerah". Lembar Kebudayaan, No.2: 15-19.
Anoegrajekti, Novi. 2010. "Padha Nonton dan Seblang Lukinto: Membaca Lokalitas dalam Keindonesiaan". Dalam Jurnal Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 22, No.2: 171-182.
Dewi, Kurniawati Hastuti. 2014. "Legenda, Cerita Rakyat, dan Bahasa di Balik Kemunculan Politik Perempuan Jawa". Dalam Masyarakat Indonesia, Vol. 40, No. 1: 17-35.
Sentot, Hasan. 2008. "Posisi Budaya Using dalam 'Pawai Pelangi Budaya' Harjaba 2008", http://hasansentot2008.blogdetik.com/2008/12/21/posisi-budaya-using-dalam-pawai-pelangi-budaya-harjaba-2008/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H