Kepentingan untuk menjamu tamu-tamu daerah, mengirim rombongan muhibah ke tingkat nasional maupun internasional, serta festival menjadi alasan untuk menciptakan Jejer. Penciptaan ini sekaligus untuk mempermudah penyebaran gandrung sebagai identitas daerah yang bisa diperkenalkan untuk skala nasional maupun internasional.
Apa yang tidak dipikirkan secara matang oleh para budayawan pendukung kampanye gandrung perjuangan dan tari Jejer adalah efek diskursif dan praktis dari legitimasi kebijakan negara terhadap para pelaku gandrung itu sendiri. Dalam tataran ideal, sebagaimana seringkali disampaikan para budayawan pro-negara dan aparatus birokrasi kebudayaan, standardisasi dan investasi makna diharapkan mampu mengangkat derajat hidup para seniman serta memperkuat identitas.Â
Kenyataannya, menurut Hasan Basri (2009: 17), sejak Orde Baru mulai muncul polarisasi komunitas gandrung, yakni: (1) gandrung teroban yang masih menggelar pertunjukan melayani hajatan warga semalam suntuk dan (2) gandrung sanggar yang melayani permintaan rezim negara dalam hajatan festival, menghibur tamu daerah, maupun muhibah nasional dan internasional.Â
Pelaku kultural sebenarnya, baik yang berasal dari sanggar maupun teroban, mengalami kompetisi diam-diam dalam hal pertunjukan pesanan yang diminta oleh negara. Tentu saja, para seniman sanggar-lah yang bisa melayani permintaan negara karena mereka bisa memenuhi standar estetik sebagaimana yang diminta.Â
Selain itu, dalam hal subsidi dana yang digelontorkan oleh rezim negara, para pengelola sanggar tari lah yang lebih banyak mendapatkannya karena mereka memiliki kemampuan lobi dan akses kepada dinas terkait. Sementara, para pelaku gandrung terob yang sebagian besar tidak berpendidikan formal, hanya bisa mendengar dan ngelus dada akibat ketidakadilan perlakuan tersebut.
Fakta-fakta tidak terakomodasinya kepentingan gandrung teroban dalam kebijakan negara tidak menyurutkan langkah aparatus negara di Banyuwangi untuk memperkuat legitimasi gandrung sebagai identitas daerah. Bupati Samsul Hadi yang mengidentifikasi diri sebagai keturunan asli Using, pada tahun 2003 mengeluarkan SK Nomor 147 yang menjadikan gandrung sebagai "Tari Selamat Datang".Â
Meskipun tidak secara eksplisit menegaskan gandrung sebagai identitas daerah, kehadiran SK ini cukup untuk melegitimasi tari dari komunitas Using ini sebagai kebanggaan kultural masyarakat Banyuwangi. Tentangan dari sebagian kaum agamawan yang memandang kesenian ini sebagai karya profan penuh maksiat karena identik dengan alkohol dan erotis tidak menyurutkan implementasi SK ini dalam ruang dan praktik sosio-kultural masyarakat Banyuwangi, seperti pembuatan patung gandrung di Watudodol yang cukup besar.Â
Menempatkan gandrung sebagai representasi identitas Using dan Banyuwangi memang bukan persoalan sederhana. Hal itu tidak hanya berkaitan dengan semangat besar beberapa budayawan kritis yang menafsir kesenian ini sebagai alat perjuangan, tetapi juga dengan kepentingan rezim negara untuk 'menertibkan' dan menginvestasi makna baru, pandangan stigmatik sebagian besar kaum agamawan, serta kehidupan banyak seniman gandrung terob.Â
Bermacam kepentingan dan posisi tersebut saling berkontestasi untuk memperebutkan pemaknaan terhadap eksistensi gandrung itu sendiri. Dalam kondisi demikian, proyek politik identitas, nyatanya, tidak bisa semata-mata dipandang sebagai kepentingan kelompok marjinal dan tertindas untuk melawan kekuatan dominan.Â
Dalam banyak komunitas Using, kelompok marjinal adalah para pelaku sejati dari kesenian gandrung, yakni seniman/wati teroban, yang harus berjuang untuk mempertahankan hidup dan kesenian warisan leluhur ini di tengah-tengah stigmatisasi kaum agamawan dan ketidakberpihakan rezim negara.Â
Semestinya, merekalah yang menjadi subjek yang 'bersuara', tetapi 'suara' mereka seolah telah diwakili oleh para aktor kultural yang bercumbu dengan rezim negara untuk menegakkan pemaknaan positif dari kesenian yang dijadikan identitas Banyuwangi ini.Â