Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Ulang Makna Heroisme dalam Gandrung Banyuwangi

1 Desember 2021   09:22 Diperbarui: 1 Desember 2021   09:36 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertunjukan gandrung zaman kolonial. Dok. Collectie Tropenmuseum Belanda

Konstruksi imajiner yang dihadirkan oleh kesenian tradisi berbahasa lokal merupakan 'cara sederhana-tetapi-mujarab' untuk menegosiasikan dan memobilisasi kesadaran individual dan komunal berbasis kesamaan bahasa dan selera estetik. Selain itu, metode tersebut juga bisa dilakukan dengan memaknai-ulang ekspresi tradisional, tetapi masih memiliki banyak penggemar fanatik di tengah-tengah masyarakat. 

Dengan memaknai-ulang ekspresi tradisional, para aktor kultural bisa memformulasi makna-makna baru berbasis cerita atau data historis yang dikontekstualisasikan atau ditransformasikan ke dalam kesadaran terkini warga komunitas. Formula transformatif tersebut bisa mewacanakan perspektif dan pemikiran baru yang bisa melampaui cara pandang lama yang terkadang bersifat stigmatik dan bisa menjadi senjata untuk menyerang identitas kultural dan keberadaan kelompok. 

Namun demikian, mobilisasi makna-makna baru terkait dengan ekspresi budaya tradisional memang bisa memperkuat rasa memiliki dan solidaritas komunal. Namun, kalau tidak hati-hati, bisa dimanfaatkan oleh rezim penguasa atau kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. 

Gandrung adalah salah satu kesenian tradisional dari Banyuwangi yang cukup populer hingga saat ini. Sebagai tari pergaulan, gandrung cukup terkenal dari era kolonial hingga saat ini. Keterkenalan itulah yang menarik perhatian para aktor kultural dan rezim penguasa untuk memberikan tafsir sesuai dengan kepentingan mereka.

Di Banyuwangi, sejak era 1970-an beberapa budayawan yang berada dalam pengaruh kampanye penelusuran dan penemuan-kembali identitas daerah melalui kesenian berusaha membincang dan menafsir-ulang keberadaan gandrung, salah satu tari pergaulan paling populer di wilayah ini. 

Meskipun masih menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat Banyuwangi yang plural, baik secara etnis maupun agama, serta dianggap semata-mata hiburan profan yang cenderung erotis, mereka tetap berusaha mengkonstruksi wacana positif tentang gandrung, utamanya keterkaitan syair-syair tembang yang dikaitkan dengan perjuangan. 

Hasan Basri (2009: 15) menjelaskan bahwa bagi para tokoh budaya gandrung bukan sekedar kesenian untuk bersenang-senang menghabiskan malam. Gandrung, bagi mereka, adalah kesenian yang memiliki makna historis dan kepahlawanan. Kesadaran, atau barangkali lebih tepatnya romantisme historis ini berkembang pada awal tahun 70-an setelah beberapa budayawan menafsir lirik gendhing-gendhing (laguklasik yang cukup terkenal dalam pertunjukan gandrung seperti padha nonton, sekar jenang, seblang lokinto, layar kumendhung dan lain-lain. 

Para budayawan juga memperoleh beberapa dokumen lawas penulis Belanda dan beberapa tulisan berbahasa Inggris yang membantu upaya penggalian makna tersebut. Berdasar hasil tafsiran makna gendhing-gendhing klasik tersebut lahir wacana bahwa gandrung adalah sebuah kesenian yang berfungsi sebagai alat perjuangan melawan Belanda.

Gandrung di depan rumah pada era kolonial. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda 
Gandrung di depan rumah pada era kolonial. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda 
Di antara budayawan yang terlibat dalam proyek penemuan makna perjuangan dalam kesenian gandrung adalah Fatrah Abal (alm), Hasnan Singodimayan, dan Hasan Ali (alm). Meskipun tahu bahwa gandrung dalam masyarakat Banyuwangi telah menjadi kesenian profan yang diwarnai tradisi minum minuman beralkohol, tetapi mereka tetap meyakini bahwa terdapat makna dan nilai perjuangan yang disuguhkan, khususnya, melalui syair-syair tembang klasik. 

Menariknya, untuk memperkuat tafsir tekstual, para budayawan memperkuatnya dengan kesadaran konstekstual masa-masa tragis yang dialami warga Blambangan (nama lama Banyuwangi) selepas perlawanan habis-habisan terhadap kolonial Belanda berdasarkan sumber-sumber asing. 

Untuk mengkomunikasikan kesadaran dan semangat perjuangan di antara banyak komunitas Using yang hidup secara terpencar di wilayah-wilayah pedalaman Banyuwangi, para seniman gandrung melakukan pertunjukan keliling. Walaupun tulisan asing, khususnya tulisan Scholte, Gandroeng van Banjoewangi, tidak dilengkapi data-data akurat, tetapi para budayawan tetap menjadikannya dasar untuk melegitimasi analisis tekstual yang mereka lakukan (Hasan Basri, 2009: 16). 

Analisis tekstual yang dilakukan para budayawan lebih didasari kepentingan politis untuk memformulasi dan memperkuat kesadaran akan identitas yang dimiliki oleh komunitas Using dan diharapkan bisa memunculkan kesadaran serupa bagi komunitas-komunitas etnis lain di Banyuwangi. 

Apa yang tidak bisa dipungkiri adalah campur-tangan rezim negara dalam mengkonstruksi makna-makna positif yang diusung kesenian gandrung. Pada era 1970-an ketika proyek diskursif ini dicanangkan, negara memang tengah mensponsori banyak kegiatan kultural yang menegaskan identitas sebuah daerah sebagai wilayah yang berkontribusi bagi kebudayaan nasional. 

Mobilisasi wacana perjuangan juga berlangsung dalam kesenian tradisional lain, seperti ludruk yang diarahkan oleh aparatus militer di wilayah kebudayaan arek dengan lakon-lakon yang menceritakan perlawanan terhadap kolonial, khususnya penjajah Belanda (Setiawan & Sutarto, 2014). 

Artinya, melalui tafsir tekstual yang dikaitkan dengan kesadaran kontekstual perkembangan gandrung, para budayawan sebenarnya tidak hanya berada dalam posisi menemukan makna dan wacana gandrung sebagai alat perjuangan, sekaligus meng-investasi kesenian ini untuk membangkitkan kesadaran kolektif komunitas Using dalam arahan rezim negara militeristik. 

Seorang serdadu Belanda menari bersama dua gandrung. Foto: Koleksi Online Mariniers Museum
Seorang serdadu Belanda menari bersama dua gandrung. Foto: Koleksi Online Mariniers Museum
Apa yang menarik diperbincangkan lebih lanjut adalah betapa usaha untuk meng-invensi dan meng-investasi kesenian gandrung dalam wacana-wacana heroisme di masa kolonial berbenturan dengan fungsi hiburan seni tari-musikal berbahasa Using ini yang sudah berlangsung sejak lama. Dua foto di atas, paling tidak, memberikan informasi bahwa pada masa kolonial, gandrung sudah menjadi seni hiburan/tontonan yang ditujukan kepada beragam kalangan; dari warga desa hingga tentara Belanda. 

Kita bisa menafsir bahwa para seniman gandrung pada masa itu sudah berorientasi pada kebutuhan untuk ditonton yang tentu saja akan menghasilkan keuntungan ekonomis. Tidak peduli bahwa yang menjadi pemajunya adalah para tentara marinir Belanda. Bagi para gandrung dan musisi, mencari rezeki ekonomi tentu tidak  harus melihat posisi sosial dan politik para penikmat dan pemaju. Jadi, makna heroisme dalam ekspresi gerak maupun puitik tembang gandrung bisa diperdebatkan terkait pijakan historisnya.    

Kalau ditilik lebih jauh lagi, kesenian tari model ini juga sudah berkembang di Keraton Majapahit, digelar pada pagelaran pasca-panen. Claire Holt (2000:14), menurutkan:

Kita memiliki kesaksian dari kehadiran seorang gadis yang sangat mirip dengan teledhek pesinden di istana Majapahit di Jawa Timur dari abad ke-14. Penampilannya digambarkan dalam dua stanza dari Nagarakrtagama. Selama tujuh hari perayaan yang diselenggarakan setelah panen untuk menyanjung kebesaran raja dan istananya sebagai pusat dari kemakmuran negara, seorang penari wanita yang disebut I Angin tampil di atas arena dengan diiringi oleh seorang atau dua orang buyut.

Juru I Angin menyanyi ketika ia menari, rupanya dengan nada humor, karena kata-katanya serta tingkahnya menyebabkan ketawa. Dalam nyanyiannya ia menyinggung untuk memilih pasangan. Setelah tariannya selesai, Juru I Angin dilimpahi pemberian-pemberian busana, dan setelah itu diundang pada 'Kehadiran Raja' untuk minum minuman keras menemani beberapa orang terkemuka.

Kalau penjelasan dalam Negarakrtagama terkait Juru I Angin kita posisikan sebagai wacana, maka tari yang ia pertunjukkan dikonstruksi sebagai karya yang berada pada batas antara yang bersifat ritual dan profan. Sebagai kesenian yang terintegrasi dengan "tujuh hari perayaan" pasca-panen, kesenian ini menjadi ekspresi yang mengiringi ritual yang penuh kegembiraan. 

Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari penyanjungan terhadap kebesaran raja sebagai titisan dewa yang diyakini memberikan kemakmuran bagi penduduk Majapahit. Namun, kitab ini juga tidak mengingkari adanya praktik profan berupa undangan raja kepada Juru I Angin untuk menikmati minuman beralkohol bersama para pembesar istana. 

Tradisi menenggak minuman beralkohol adalah tradisi yang biasa pada waktu itu. Meskipun demikian, posisi sentral Juru I Angin dalam perayaan tersebut oleh Pigeud ditafsir sebagai kehadiran makna kesakralan/kesuburan (Holt, 2000: 144). Ia mungkin diposisikan sebagai seorang dewi setempat yang dekat kepada Dewi Angin-AnginIa bisa jadi menjadi lambang dari "angin musim barat" yang mendatangkan hujan, sehingga dimaknai sebagai dewi kesuburan.

Gandrung berkaos kaki dalam sebuah foto studio. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda
Gandrung berkaos kaki dalam sebuah foto studio. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda
Meskipun Pigeud menafsir tari model itu berkaitan dengan ritual untuk menghormati Dewi Angin-Angin, apa yang menjadi karakteristik tari tersebut adalah pagelaran di depan khalayak untuk kepentingan menghibur. Kalau kita memosisikan tari gandrung memiliki kesamaan geneologis ataupun kesamaan model pertunjukan seperti yang ada di keraton Majapahit apalagi Blambangan dianggap 'kerajaan kembar-nya' Majapahit, maka kita bisa mengatakan bahwa tarian ini tidak ada kaitannya dengan perjuangan. 

Kalau para budawayan menegaskan bahwa tarian ini berasal dari usaha untuk mengkonsolidasikan kekuatan warga yang tercerai-berai dan untuk menguatkan semangat perjuangan, maka asumsi yang bisa kita bangun adalah bahwa tarian ini berasal dari masa kolonial. Namun, sekali lagi, apakah benar para seniman yang menciptakan gandrung memaksudkannya sebagai seni perlawanan terhadap kolonialisme?

Terlepas dari pertanyaan yang jawaban-jawabannya masih debatable sampai dengan hari ini itu, kita menyaksikan betapa gigihnya para budayawan dalam memunculkan gandrung sebagai identitas yang patut dipelihara dan dikembangkan. Maka dari itu, wacana-wacana positif terkait kesenian ini perlu dikonstruksi agar para seniman, masyarakat, dan generasi mendatang mengetahui fondasi ideologis mengapa gandrung dijadikan kesenian khas Banyuwangi di masa Orde Baru. 

Dengan prinsip invensi dan investasi, mereka berharap gandrung akan menempati posisi terhormat karena masyarakat akan meyakininya sebagai produk estetik yang bisa memainkan peran dan memberikan kontribusi strategis bagi munculnya semangat heroisme dan patriotisme masyarakat di tengah-tengah stigma negatifnya karena pertunjukan gandrung terob yang ditandai bau alkohol. 

Untuk memperkuat keyakinan tersebut, Dewan Kesenian Blambangan (DKB) menerbitkan beberapa tulisan tentang gandrung dan hubungannya dengan usaha memperjuangkan kemerdekaan, seperti Gandrung Banyuwangi yang ditulis oleh Hasnan Singodimayan dan kawan-kawan. Selain itu, secara individual tulisan Fatrah Abal, Kadung Dadi Ganrung Wis (1990) juga diterbitkan oleh salah satu penerbit di Jakarta (Hasan Basri, 2009). 

Sosialisasi dalam bentuk tulisan merupakan usaha diskursif untuk mempertegas dan memperkuat keyakinan bagi masyarakat Banyuwangi, khususnya komunitas Using, terkait keutamaan gandrung dalam proses kultural dan politis dalam perjuangan kemerdekaan. 

Lalu, lirik-lirik tembang seperti apa yang ditafsir dan diyakini memiliki makna perjuangan oleh para budawayan Banyuwangi? Berikut ini saya kutipkan tembang Seblang Lokenta yang dibawakan pada babak Seblang-seblang, adegan terakhir pertunjukan gandrung menjelang Subuh. 

Seblang lokenta/ Seblang (nir-sadar) bercakap

Wis wayahe bang-bang wetan/ Sudah saatnya langit di timur memerah

Kakang-kakang ngeliliro/ Kakak-kakak ayo segera bangun

Wis wayahe sawung kukuruyuk/ Sudah saatnya ayam berkokok


Lawang gedhe wonten hang jagi/ Pintu besar ada yang menjaga

Medalo ring lawang butulan/ Lewatlah pintu tembusan

Wis biasane ngemong adine/ Sudah biasanya mengasuh adiknya

Sak tindak baliyo mulih/ Sekali pergi kembalilah pulang

Dari bukunya Kadung Dadi Gandrung Wis (1990) yang beberapa isinya dicetak-kembali dalam Lembar Kebudayaan (No. 19, 2011), diketahui bahwa analisis yang dilakukan Fatrah Abal menggunakan metode othak-athik-gathuk. Ia mengatakan bahwa tembang ini menegaskan ajakan untuk berjuang melawan penjajah. 

"Seblang lokenta" sebagai lirik pembuka bermakna bahwa para pejuang tidak perlu lagi atau harus melupakan untuk berunding dengan penjajah karena mereka pasti akan melakukan kelicikan. "Wis wayahe bang-bang wetan" dan "Kakang-kakang ngeliliro" merupakan pengingat bahwa sudah saatnya para pejuang untuk bangun, bersiaga, bangkit, dan jangan sampai terlena karena perjuangan harus segera dilakukan. 

Peringatan dan ajakan itu diperkuat dengan "wis wayahe sawung kukuruyuk", sebuah metafor untuk meneriakkan semangat atau tantangan untuk berjuang. Menurut Fatrah, bait pertama lagu ini memang ditujukan kepada sisa-sisa laskar pejuang Blambangan yang masih selamat dan hidup di hutan-hutan. Para penari gandrung mengajak mereka untuk kembali berjuang dengan semangat yang tidak pernah pudar.

Gandrung dengan omproknya (mahkota) di era kolonial. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda
Gandrung dengan omproknya (mahkota) di era kolonial. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda

Sementara, "lawang gedhe wonten hang jagi", mengingatkan para pejuang akan kenyataan bahwa bagian-bagian penting di Blambangan telah dikuasai dan dijaga ketat oleh aparatus penjajah. "Medalo ring lawang butulan" menjadi semacam arahan bahwa kalau ingin melakukan penyerbuan, para anggota laskar sebaiknya memilih tempat-tempat yang lemah penjagaannya. 

"Wis biasane ngemong adinemenunjukkan bahwa seorang pemimpin/komandan harus mampu memimpin anak buahnya dengan perlakuan baik, sebagaimana mengasuh adiknya sendiri, sehingga perlu diperhatikan kesehatannya, keselamatannya, kesetiakawanannya, dan lain-lain. 

Adapun, "sak tindak baliyo mulih" merupakan peringatan sekaligus strategi perjuangan. Para pejuang hendaknya sekali melakukan penyerbuan, penghadangan, dan penyergapan segera menyelamatkan diri ke dalam hutan agar apabila prajurit bantuan datang mereka tidak tertangkap atau terbunuh. Dengan demikian, bait kedua tembang ini menekankan strategi dan metode operasional perjuangan yang bisa dilakukan oleh para pejuang. 

Metode othak-athik-gathuk yang dilakukan oleh Fatrah dalam menganalisis Seblang Lokenta dan juga tembang-tembang gandrung lainnya, seperti Sekar Jenang, Kembang Dirma, Kembang Pepe, Sondreng-sondreng, dan Padha Nonton, memang boleh didebat terkait ketepatan makna yang disampaikan. 

Namun, apa yang harus diingat adalah bahwa semua analisis itu dilakukan dengan menimbang konteks penderitaan masyarakat Blambangan pasca Perang Bayu, sehingga makna perjuangan gandrung dalam membangkitkan-kembali semangat perjuangan rakyat bisa dipahami. 

Kalau kita kembalikan ke dalam perspektif akademis, tafsir yang dibuat Fatrah sah-sah saja. Proses menafsir yang berujung pada invensi dan investasi tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks historis yang melatarinya. Dalam perspektif demikian, tafsir terkait masa lalu masyarakat Blambangan yang menjadi korban kolonialisme dan berjuang untuk melawan penjajah memang bisa diterima.

Menarik kalau kita menyimak pendapat Wolbers, seorang peneliti seblang (ritual sakral di Desa Olehsari dan Bakungan) dan gandrung dari Amerika Serikat terkait wacana heroisme gandrung. Selama ia melakukan penelitian di akhir 1980-an hingga awal 1990-an memang banyak budayawan yang mengatakan bahwa gandrung adalah seni perlawanan terhadap Belanda, khususnya berdasarkan tembang yang biasa dibawakan dalam ritual Seblang. 

Namun, Wolbers (1992: 278) memberikan analisis yang berbeda terkait keyakinan tersebut.

Apakah para penyair Using membawa keseluruhan kepulauan di dalam kepalanya ketika menciptakan lagu tentu sangat sulit untuk diceritakan. Namun, sepertinya hal itu menjadi anggapan yang tidak realistis. Tidak disangsikan lagi bahwa warga Using sangat menderita di dalam kekuasaan Belanda... Namun, menimbang pengalaman negatif mereka dengan masyarakat Mataram dan....kekuasaan Bali, rasa-rasanya sulit dipercaya bahwa lagu tua Seblang patut dijadikan kandidat bagi penyebaran perlawanan nasional terhadap Belanda, atau sebagai ekspresi cinta terhadap Indonesia secara keseluruhan.

Jikalaupun beberapa dari lagu tersebut benar-benar mengekspresikan sentimen anti-kolonial, yang tentunya sangat sulit dibuktikan melampaui keraguan yang dialamatkan kepada asal-usul ambigunya, maka ini, dalam banyak opini, harus dianggap sebagai sebuah fenomena lokal. Beberapa dari teks tersebut secara nyata ditujukan untuk mempererat ikatan di antara wara Using yang kecewa terhadap rezim baru.

Pernyataan di atas merupakan wacana moderat yang ditawarkan Wolbers ketika ia tidak bisa meyakini pendapat beberapa budayawan terkait heroisme gandrung yang memosisikannya sebagai aparatus untuk mempererat ikatan solidaritas dari warga Using yang terjajah. Hal ini didasari bahwa sangat sulit memercayai kalau penulis lirik lagu akan memikirkan kepulauan Hindia-Belanda karena antarpulau atau antarkerajaan masih belum diikat dalam bentuk resmi negara ketika lagu-lagu Seblang diciptakan oleh para penyair. 

Itulah mengapa Triadi (dikutip dalam Wolbers, 1992: 278) mengatakan bahwa sebenarnya lagu-lagu Seblang lebih merepresentasikan kehidupan sehari-hari masyarakat desa. Tembang Padha Nonton, misalnya, menggambarkan ketertarikan yang saling berbalas antara perjaka dan gadis. 

Sementara, Erang-erang bermakna "perang-perang" yang melambangkan peperangan antara para lelaki dengan unsur-unsur yang mengganggu tanaman mereka. Dengan kata lain tidak ada keterkaitannya dengan heroisme maupun wacana perlawanan.

Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada hubungan sama sekali antara lirik-lirik lagu Seblang dalam gandrung dengan kondisi masyarakat ketika dijajah oleh Belanda. Sekali lagi, yang diragukan oleh Wolbers adalah wacana heroisme dan perlawanan terhadap penjajah, tetapi ia tidak menolak bahwa memang ada gambaran akan penderitaan, meskipun masih harus ditelisik lagi. 

Berikut ini saya kutipkan lirik salah satu versi Padha Nonton yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris olehnya dan kami terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Padha nonton/ Setiap orang menyaksikan

pudhak sempal ring ngalurung/ kembang pandan/budak patah di atas jalan

Yo pendhite pudhak sempal/ Batang kembang pandan/budak patah

lambeyane para putra/ mereka tetap berjalan, para lelaki muda

 

Para putra/ Semua lelaki muda

kejala ring kedhung lewung/ terjaring di pusaran

yo jalane, jala sutra/ Jalanya jala sutra

tampange tampang kencana/ tampang nya bersepuh emas

Menurut Wolbers (1992: 279), kata "pudhak" bisa ditafsir kembang pandan maupun pembantu/budak. Meskipun demikian, rujukan kepada para putra pada akhir bait ini menegaskan bahwa metafor tersebut memang dimaksudkan untuk membandingkan "para lelaki muda" dengan kembang yang sangat berharga yang batangnya patah; mereka adalah para budak yang dikalahkan oleh penguasa. 

Bait kedua menceritakan bagaimana para lelaki muda itu ditangkap dalam perangkap yang membuat mereka tidak bisa keluar lagi, kedhung (pusaran air di sungai). Mereka terpikat meskipun ditangkap, karena jala bersepuh emas.

Oleh beberapa budayawan tembang tersebut ditafsir dibuat pada awal abad ke-19 ketika banyak pemuda mengalami penderitaan karena harus bekerja membuat jalan utama Anyer-Panarukan di masa Gubernur Jendral Daendels. Wolbers (1992: 280) mengritisi pendapat tersebut karena jalan pos tersebut tidak sampai ke wilayah Banyuwangi ketika dibangun oleh Daendels; hanya sampai di wilayah Sumberwaru, dekat Panarukan, Situbondo. 

Artinya, secara implisit, kurang tepat kalau dikatakan bahwa lagu ini ditujukan untuk melawan pembangunan jalan yang dilakukan oleh Daendels. Mengapa? Bukan hanya karena letaknya yang jauh dari Banyuwangi, tapi juga karena pada masa itu warga Using sedang mengalami permasalahan sendiri, buat apa memikirkan bagian lain dari Pulau Jawa. 

Meskipun pembangunan jalan diteruskan ke arah Banyuwangi, yakni Bajulmati selepas masa Gubernur Jendral Daendels, kurang tepat kalau dikatakan tembang ini menceritakan keadaan buruk yang dialami oleh para tenaga kerja narapidana yang terlibat di dalam pembangunannya. 

Dengan kata lain, konstruksi diskursif terkait perlawanan terhadap kekuasaan Daendels di tanah Jawa yang dilekatkan pada lagu Padha Nonton versi di atas memang agak berlebihan. Namun, untuk mendapatkan wacana yang mendekati realitas historis memang perlu dilakukan penelisikan lebih jauh lagi. 

Apalagi ada beberapa ungkapan dalam lagu itu yang mewacanakan sentimen negatif, seperti "kembang yang patah/budak", "para lelaki muda yang ditangkap"; semua menunjukkan ada sesuatu yang salah di daerah tempat dibuatnya tembang-tembang tersebut. Wolbers (1992: 283) menjelaskan bahwa pemaknaan terkait protes terhadap penderitaan yang diakibatkan oleh kolonialisme tidak bisa dilepaskan dari sejarah penindasan yang dialami masyarakat Blambangan pasca kekalahan dalam Perang Bayu. 

Dengan demikian, berpijak pada tafsir tersebut, tembang-tembang Seblang yang dinyanyikan dalam pertunjukan gandrung memang merupakan bentuk protes terhadap keadaan, tetapi bukan untuk menggumpalkan perlawanan masyarakat eks-Blambangan terhadap penjajahan Belanda, meskipun memang terkesan romantik.

Apa yang menarik dari temuan Wolbers adalah kenyataan bahwa tidak semua musisi maupun penari gandrung yang menyepakati investasi diskursif yang dilakukan oleh para budayawan yang pro terhadap kebijakan pendopo. Sebagian besar informan yang ia temui ketika proses penelitian mengatakan bahwa mereka tidak berpikiran bahwa lagu-lagu tersebut dimaksudkan untuk kepentingan revolusioner. 

Lebih jauh, mereka mengatakan bahwa lagu-lagu klasik tersebut digelar sebagai bagian dari adat dan tidak bisa dipisahkan dari budaya Using yang sangat mereka banggakan (Wolbers, 1992: 285). Artinya, sekuat apapun kalangan budayawan mengintrodusir dan menyebarluaskan gagasan revolusioner dari gandrung, respons para pelaku di lapangan belum tentu sejalan. Meskipun demikian, identitas itu tidak mereka semai dari wacana revolusioner, alih-alih dari penyebarluasan gagasan bahwa gandrung, baik musik, tembang, maupun tariannya, merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas Using. 

Menurut saya, asumsi yang dikonstruksi Wolbers lebih mengena karena melalui tembang di pagelaran gandrung, paling tidak, para penonton tetap bisa merasakan ikatan solidaritas di tengah-tengah kekuasaan Belanda. Tentu saja, bagi para budayawan maupun seniman sanggar yang telah menerima secara konsensual wacana-wacana heroisme dalam lirik lagu gandrung, pendapat Wolbers bisa dianggap "melecehkan". 

Mengapa? Karena bagi mereka wacana heroisme ini, sekali lagi, merupakan usaha untuk meninggikan nilai gandrung sekaligus mengurangi pandangan stigmatik terhadap kesenian ini di tengah-tengah komunitas santri Banyuwangi.

Terlepas dari keberjarakan makna gandrung hasil kajian para budayawan dengan pemahaman para pelaku, makna-makna terkait heroisme gandrung yang terus disebarluaskan melalui institusi pendidikan, birokrasi, maupun sanggar, nyatanya, mampu menjadi investasi kultural, khususnya untuk meninggikan nilai tawar gandrung sebagai kesenian khas Banyuwangi yang tidak harus ditempatkan dalam makna stigmatik. 

Lebih dari itu, usaha aparatus kabupaten untuk menyelenggarakan agenda rutin berupa festival tari garapan berbasis gandung serta mengirim misi kesenian gandrung ke daerah-daerah lain dan luar negeri menjadikan tari yang diiringi tembang berlirik Using ini menempati posisi terhormat. Sanggar-sanggar tari berdiri. Para murid dari SD, SMP, hingga SMA tidak malu lagi untuk berlatih tari ini, meskipun bukan untuk kepentingan gandrung teroban, tetapi sekedar untuk mengikuti lomba.

Keberhasilan menempatkan gandrung dalam posisi terhormat, meskipun masih banyak santri yang tidak menyepakatinya, berimplikasi pula mulai berkembangnya kebanggaan komunal komunitas Using. Mereka yang dulunya tidak suka disebut Using, perlahan-lahan mulai membiasakan diri dengan sebutan tersebut. 

Mereka mulai menikmati posisi baru yang sangat terhormat dari bahasa, kesenian, suku, dan budaya Using yang diakui secara resmi dan didukung sepenuhnya oleh pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat, meskipun, sekali lagi, tidak semua mereka yang berasal dari keturunan warga eks-Blambangan berkenan dan bangga dengan sebutan Using. Paling tidak, gandrung ikut membuka jalan bagi penyebarluasan imajinasi tentang menjadi Using yang diarahkan oleh rezim negara Orde Baru.  

* Tulisan ini merupakan bagian dari "Bab 3 Menjadi Using dalam pesona tembang dan gandrung", buku Merawat Budaya/Merajut Kuasa: Identitas Using dalam Kontestasi Kepentingan (2017), diterbitkan oleh Diandra Kreatif Yogyakarta, yang saya tulis bersama Albert Tallapessy dan Andang Subaharianto. Ditulis kembali khusus untuk Kompasiana. 

Daftar Bacaan

Abal, Fatrah. 2011. “Penjabaran Gending-gending Gandrung”. Lembar Kebudayaan, No. 19: 55-78.

Basri, Hasan. 2009. “Gandrung dan Identitas Daerah”. Lembar Kebudayaan, No.2: 15-19.

Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia (Terj. R.M. Soedarsono). Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Setiawan, Ikwan dan Sutarto. 2014. “Transformation of Ludruk Performances: From Political Involvement and State Hegemony to Creative Survival Strateggy”. Humaniora, 26(2): 187-202.

Wolbers, Paul Arthur. 1992. “Maintaining Using identity through musical performance; seblang and grandung of Banyuwangi, East Java (Indonesia)”. Thesis for Ph.D. Illinois: University of Illinois at Urbana-Champaign.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun