Lebih jauh, mereka mengatakan bahwa lagu-lagu klasik tersebut digelar sebagai bagian dari adat dan tidak bisa dipisahkan dari budaya Using yang sangat mereka banggakan (Wolbers, 1992: 285). Artinya, sekuat apapun kalangan budayawan mengintrodusir dan menyebarluaskan gagasan revolusioner dari gandrung, respons para pelaku di lapangan belum tentu sejalan. Meskipun demikian, identitas itu tidak mereka semai dari wacana revolusioner, alih-alih dari penyebarluasan gagasan bahwa gandrung, baik musik, tembang, maupun tariannya, merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas Using.
Menurut saya, asumsi yang dikonstruksi Wolbers lebih mengena karena melalui tembang di pagelaran gandrung, paling tidak, para penonton tetap bisa merasakan ikatan solidaritas di tengah-tengah kekuasaan Belanda. Tentu saja, bagi para budayawan maupun seniman sanggar yang telah menerima secara konsensual wacana-wacana heroisme dalam lirik lagu gandrung, pendapat Wolbers bisa dianggap "melecehkan".
Mengapa? Karena bagi mereka wacana heroisme ini, sekali lagi, merupakan usaha untuk meninggikan nilai gandrung sekaligus mengurangi pandangan stigmatik terhadap kesenian ini di tengah-tengah komunitas santri Banyuwangi.
Terlepas dari keberjarakan makna gandrung hasil kajian para budayawan dengan pemahaman para pelaku, makna-makna terkait heroisme gandrung yang terus disebarluaskan melalui institusi pendidikan, birokrasi, maupun sanggar, nyatanya, mampu menjadi investasi kultural, khususnya untuk meninggikan nilai tawar gandrung sebagai kesenian khas Banyuwangi yang tidak harus ditempatkan dalam makna stigmatik.
Lebih dari itu, usaha aparatus kabupaten untuk menyelenggarakan agenda rutin berupa festival tari garapan berbasis gandung serta mengirim misi kesenian gandrung ke daerah-daerah lain dan luar negeri menjadikan tari yang diiringi tembang berlirik Using ini menempati posisi terhormat. Sanggar-sanggar tari berdiri. Para murid dari SD, SMP, hingga SMA tidak malu lagi untuk berlatih tari ini, meskipun bukan untuk kepentingan gandrung teroban, tetapi sekedar untuk mengikuti lomba.
Keberhasilan menempatkan gandrung dalam posisi terhormat, meskipun masih banyak santri yang tidak menyepakatinya, berimplikasi pula mulai berkembangnya kebanggaan komunal komunitas Using. Mereka yang dulunya tidak suka disebut Using, perlahan-lahan mulai membiasakan diri dengan sebutan tersebut.
Mereka mulai menikmati posisi baru yang sangat terhormat dari bahasa, kesenian, suku, dan budaya Using yang diakui secara resmi dan didukung sepenuhnya oleh pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat, meskipun, sekali lagi, tidak semua mereka yang berasal dari keturunan warga eks-Blambangan berkenan dan bangga dengan sebutan Using. Paling tidak, gandrung ikut membuka jalan bagi penyebarluasan imajinasi tentang menjadi Using yang diarahkan oleh rezim negara Orde Baru.
* Tulisan ini merupakan bagian dari "Bab 3 Menjadi Using dalam pesona tembang dan gandrung", buku Merawat Budaya/Merajut Kuasa: Identitas Using dalam Kontestasi Kepentingan (2017), diterbitkan oleh Diandra Kreatif Yogyakarta, yang saya tulis bersama Albert Tallapessy dan Andang Subaharianto. Ditulis kembali khusus untuk Kompasiana.
Daftar Bacaan
Abal, Fatrah. 2011. “Penjabaran Gending-gending Gandrung”. Lembar Kebudayaan, No. 19: 55-78.
Basri, Hasan. 2009. “Gandrung dan Identitas Daerah”. Lembar Kebudayaan, No.2: 15-19.