Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masyarakat Tengger: Menanam Sayur-mayur, Merangkul Modernitas

20 November 2021   23:01 Diperbarui: 20 November 2021   23:05 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panorama di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Dok. Dias Fannah, Wikimedia Commons

Dalam kearifan sebagian masyarakat Jawa, misalnya, terdapat konsep sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (tempat tinggal) yang menjadi orientasi kultural dan menuntut pemenuhan dengan kerja. Memang pada masa lampau orientasi duniawi tersebut lebih ditekankan kepada kerja-kerja subsisten untuk mewujudkan mereka, perkembangan ekonomi modern telah menghadirkan transformasi kultural dari kearifan-kearifan tersebut dalam wujud-wujud terkini. 

Masyarakat Tengger sebagai masyarakat Jawa pegunungan juga memiliki kearifan serupa yang disebut setya laksana. Setya laksana merupakan komitmen individual yang diyakini sebagai kebenaran komunal untuk mewujudkan walima, empat "wa" dan satu "wis" dalam kehidupan duniawi, yakni wareg (cukup makan), wastra (pakaian), waras (kesehatan), wasis (pengetahuan), dan wisma (rumah/tempat tinggal). 

Saya menyebut kearifan lokal terkait capaian-capaian duniawi sesederhana apapun sebagai titik apropriasi, dari mana masyarakat lokal berusaha menyeleksi, meniru, dan mempraktikkan budaya modern yang mereka terima dari proses kolonialisme yang dilanjutkan dalam program-program pembangunan pascakolonial dengan tetap berpegang kepada nilai-nilai tradisional yang mereka yakini.

Titik apropriasi ini menjadi penting bagi masyarakat lokal untuk transformasi kultural dikarenakan datangnya budaya modern. Aschroft (2001: 1-2) menjelaskan bahwa transformasilah yang memberikan masyarakat-masyarakat tersebut kendali terhadap masa depan mereka. Transformasi mendeskripsikan cara-cara yang di dalamnya masyarakat-masyarakat terjajah mengambil wacana-wacana dominan, mentrasfromasi dan menggunakan wacana-wacana tersebut untuk kepentingan penguatan mereka sendiri. 

Melengkapi cara baca Aschroft dalam memandang kekuatan strategis dan subversif transformasi pascakolonial yang fondasinya sudah dibangun sejak era kolonial, menurut saya, dorongan-dorongan internal dari kearifan tradisional berorientasi duniawi menjadikan masyarakat lokal mengapropriasi wacana-wacana dan praktik kultural dominan, termasuk di dalamnya pengetahuan maupun teknologi, yang dibawa pihak penjajah. 

Dalam terma strategis apropriasi tersebut dilakukan untuk memperkuat subjektivitas mereka di tengah-tengah kuasa dominan; sebuah subversi. Namun demikian, akibat dari transformasi ini adalah bergeser atau berubahnya cara pandang masyarakat lokal terhadap kearifan tradisional mereka yang disesuaikan dengan nalar modern. 

Selain itu, aspek penguatan yang ditekankan Aschroft tidak bisa dikatakan sebagai penguatan mutlak untuk memperkuat budaya lokal mereka, tetapi menyesuaikan budaya tersebut ke dalam praktik yang lebih modern, sehingga diharapkan tetap bisa bertahan dan tidak menjadikan mereka larut sepenuhnya dalam atmosfer modern.

Apropriasi-apropriasi yang dilakukan masyarakat Tengger nyata-nyata mentransformasi pemahaman mereka terhadap konsep walima. Sebelum kehadiran pertanian modern, masyarakat Tengger untuk memenuhi kebutuhan pangan cukup dengan menanam jagung. 

Namun, rezeki ekonomi dari transaksi komersial sayur-mayur dan keinginan untuk meniru tradisi kuliner di masyarakat ngare (masyarakat di wilayah bawah dan kota) dan masyarakat metropolitan, mendorong mereka untuk membeli beras dan mengkonsumsi nasi putih sebagai makanan sehari-hari. 

Nasi jagung berubah menjadi sekedar makanan klangenan. Rumah yang pada masa lampau cukup dibangun dengan kayu cemara gunung, seperti dijelaskan sebelumnya, pada saat ini secara massif berganti dengan rumah-rumah berbahan tembok dengan desain arsitektur berorientasi-kota. 

Di Desa Ngadas, Wonokerto, Jetak, Wonotoro, maupun Ngadisari (semuanya masuk dalam wilayah Kecamatan Sukapura, Probolinggo), jumlah rumah berbahan kayu sudah tidak menjadi mayoritas lagi. Anak-anak, kaum remaja, dan para pemuda sudah terbiasa dengan pakaian-pakaian modis sebagaimana mereka saksikan dalam tayangan televisi-televisi swasta. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun