Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Jalanan Mereka Berbudaya: Klub Motor sebagai Subkultur

11 November 2021   22:59 Diperbarui: 11 November 2021   23:24 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Touring PCX. Foto: Dokumentasi Kompas.com

Apa yang terjadi dengan para pengendara scooter di Inggris juga bisa digunakan untuk merefleksikan aktivitas serupa yang dilakukan para pendukung subkultur pengendara motor yang terdapat di negara-negara lain, termasuk di Indonesia. Motor pada era 70 hingga 80-an merupakan barang mewah yang hanya bisa dibeli oleh segelintir orang berduit. Seiring perkembangan ekonomi, semakin banyak pekerja/karyawan yang mempunyai kesempatan untuk membeli motor dengan beragam merk yang ada di pasaran. 

Pada awalnya kehadiran motor semata-mata digunakan untuk menunjang tingkat mobilitas mereka dalam bekerja. Namun ketika mereka bertemu dengan sesama pengendara motor dengan merk serupa, mulailah terjadi proses komunikasi tentang persoalan-persoalan teknik yang berkaitan dengan motor mereka. Ketika mereka membandingkan dengan kehadiran pengendara produk otomotif lain---katakanlah mobil, misalnya---dan merk motor lain, secara tidak langsung mereka merasa dalam satu ikatan identitas yang ditandai dengan merk. 

Sejalan dengan beban pekerjaan yang menumpuk, mereka membutuhkan sarana-saran pelepasan untuk refreshing, maka mulailah mereka melakukan aktivitas rekreasi menuju satu wilayah tertentu dengan menggunakan motor yang mereka punyai. Ketika mereka menemukan kenyataan bahwa identitas kolektif mereka semakin mewujud. Inilah awal terbentuknya klub-klub motor. Dalam perkembangannya, tidak hanya kelas menengah baru yang bergabung dalam klub motor, tetapi juga para pelajar yang merasa punya kesamaan identitas. 

Kelahiran subkultur pengendara motor dengan beragam klub yang ditandai dengan merk motor tertentu merefleksikan (1) munculnya kelas menengah baru dalam masyarakat kota yang ditandai dengan kemampuan membeli komoditas otomotif; (2) adanya keinginan untuk memunculkan identitas kolektif yang berbeda dengan apa-apa yang mereka jumpai dalam ranah pekerjaan dan konsumsi komoditas; dan, (3) adanya usaha untuk menciptakan partikularitas atribut dan praktik yang membedakan satu klub dengan klub lainnya.

Merk menjadi penanda simbolis pertama yang menyatukan para pengendara motor dalam satu klub. Merk menjadi pilihan karena inilah penanda paling menyolok yang membedakan satu pengendara motor yang satu dengan pengendara motor yang lain. Dalam konteks tersebut, merk dan model tampilan motor yang pada awalnya semata-mata menjadi kebutuhan produsen otomotif untuk mereka mengenakan pakaian dengan gaya formal sehingga mereka tidak bisa menikmati kebebasan dan kenikmatan yang mereka peroleh ketika bersama-sama anggota lainnya melakukan satu aktivitas kolektif. 

Kasualitas tersebut juga menunjukkan "perayaan akan perbedaan" dengan pakaian yang dikenakan dalam aktivitas pekerjaan atau pendidikan yang banyak dipenuhi dengan nuansa pakaian yang formal dan sopan. Meskipun sama-sama mengusung semangat kasualitas dalam pakain, masing-masing klub memiliki karakteristik, terutama dalam hal desain dan model. Karakteristik itulah yang menjadi tanda pembeda antara satu klub dengan klub lainnya. 

Pakaian yang dikenakan klub pemilik Yamaha MX, tentu akan berbeda dengan klub pemilik Suzuki Shogun, maupun dengan klub pemilik Honda Tiger, NMAX, PCX, Vario, Mio, dan yang lain. Bahkan, meskipun sama-sama berasal dari klub dengan merk yang sama, semisal Honda Tiger, namun pakaian yang dikenakan anggota klub pemilik Honda Tiger di Malang akan berbeda dengan yang dikenakan anggota klub pemilik Honda Tiger di Depok. 

Logo klub juga menjadi atribut simbolis yang mengkodekan semangat dan orientasi yang diusung masing-masing klub kepada seluruh anggotanya. Dengan logo, para anggota merelasikan diri mereka dengan orientasi kultural yang hendak dicapai atau dicita-citakan klub. Inilah yang menjadikan logo masing-masing klub berbeda karena meskipun sama-sama sebagai pendukung subkultur klub motor, namun masing-masing klub mempunyai orientasi yang berbeda dalam menjalankan aktivitas-aktivitasnya. 

Salah satu klub yang sangat memperhatikan persoalan logo adalah Scooter Owners Group Indonesia (disingkat SOG). SOG memilih logo bergambar kalong (kelelawar besar) yang mencengkram kata SOG. Logo tersebut memiliki makna partikular yang cukup bermakna buat para anggotanya. Terdapat beberapa makna kalong dalam logo SOG. 

Logo SOG. Foto: Facebook SOG
Logo SOG. Foto: Facebook SOG
Pertama, kalong berwarna hitam dan merefleksikan kejantanan, kegagahan, dan kewibawaan, dan SOG diharapkan bisa menjadi klub motor yang menampilkan itu semua. Kedua, kalong hidup mandiri sehingga anggota SOG diharapkan bisa mandiri dan tidak tergantung kepada pihak lain. 

Ketiga, kalong tahan terhadap berbagai kondisi, baik hujan, panas, sehingga anggota SOG tetap bisa melaksanakan kegiatannya dalam setiap kondisi. Keempat, kalong hidup berkelompok sehingga anggota SOG diharapkan untuk tetap kompak dan saling bekerjasama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun