Menurut Lury (1996: 45), kondisi tersebut menunjukkan terjadinya pergeseran dari pola konsumsi dari producer-led, produsen yang menentukan dan membentuk pola konsumsi, menuju consumption- led, Â konsumen dan konsumsi mereka yang menentukan dan memberikan makna atas apa-apa yang mereka konsumsi. Dalam pola consumption-led, makna tidak semata-mata ditentukan oleh komoditas tetapi pada pemakaian secara aktual, yang menjadikan terjadinya "konsumsi kreatif" (Willis, 1990: 20). Dalam konteks itulah subkultur muncul.
Subkultur, dengan demikian, telah menjadi medium dan praktik untuk merayakan perbedaan orientasi dalam memaknai kondisi sosial sebagai akibat kuatnya pengaruh tradisi besar dan hegemoni budaya pasar dengan segala keseragamannya. Dari konteks tersebut, subkultur telah mewujud sebagai perilaku oposisional dengan menciptakan 'peta makna' dan gaya hidup bagi para anggota kelompok melalui atribut dan praktik yang berasal dari konsumsi kreatif produk- produk yang ada sehingga membedakannya dengan kondisi mainstream (Thornton, 1997: 5; Barker, 2004: 337).Â
Konsumsi kreatif yang menghasilkan atribut dan praktik kultural tersebut berasal dari proses bricolage yang melibatkan penataan ulang dan rekontekstualisasi barang/objek untuk mengkomunikasikan makna yang lebih baru dan segar (Clarke, 1976: 177). Konsumsi kreatif merupakan bentuk partisipasi aktif dari para anggota sebuah subkultur. Dengan partisipasi aktif itulah terjadi proses menjadikan komoditas menjadi lebih bermakna untuk kepentingan identitas kolektif sesuai dengan kebutuhan mereka (Douglas & Isherwood, 1979: 75).Â
Maka tidak mengherankan, di tengah-tengan arus besar musik pop yang ditandai dengan konsep romantis, muncul kelompok-kelompok anak muda yang merekontekstualisasikan peralatan musik untuk menciptakan musik punk, misalnya, yang lirik-liriknya dipenuhi sumpah serapa sebagai bentuk oposisi terhadap kecarut-marutan kondisi sosial serta keseragaman selera masyarakat terhadap musik pop.Â
Dan di tengah-tengah suasana hedonis mall dan plaza di Manila, terdapat sekelompok politisi dan intelektual yang dengan santai menikmati kopi dan makanan di kafe sembari memperbincangkan, lebih tepatnya "meng-gosipkan", persoalan politis negara (Lopes, 1995: 103-108).Â
Kolektivitas dan kreativitas konsumtif yang terbentuk dalam praktik dan atribut dalam subkultur, kemudian, bisa dibaca dalam dua perspektif, yakni: (1) sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni tradisi besar serta massifikasi dan komodifikasi barang konsumsi; (2) sebagai pemaknaan kreatif atas komoditas yang dihasilkan industri demi kepentingan kelompok dan gerakan mereka. Realitas produksi beragam komoditas secara langsung telah memunculkan varian-varian subkultur yang sesuai dengan konteks konsumsi komoditas yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pendukungnya.Â
Ragam subkultur tersebut pada akhirnya melahirkan perbedaan dalam orientasi kultural yang diacu, apakah bersikap oposisonal dengan tindakan politis, seperti yang terdapat dalam subkultur punk maupun skinhead, atau oposisional melalui pemaknaan kreatif, seperti yang terdapat dalam subkultur pengendara mobil/motor, subkultur ngobrol di kafe, dan lain-lain.Â
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa meskipun subkultur terkesan 'kurang formal', dalam praktik-praktik yang diciptakan untuk menyemaikan identitas kolektif para anggota satu kelompok atau klub seringkali terdapat usaha-usaha formal, tidak hanya melalui atribut, tetapi juga melalui struktur keanggotaan, kepengurusan, hingga kegiatan-kegiatan bersama. Dalam konteks itulah pembacaan terhadap partikularitas yang ada dalam klub atau kelompok pendukung subkultur perlu dilakukan.
Atribut dan Praktik Kultural dalam Klub Motor: Merayakan Partikularitas
Dalam kajiannya tentang scooter di Inggris, Hebdige (2000) menjelaskan bahwa motor yang semula diciptakan untuk kaum perempuan aktif itu, ternyata, dalam perkembangannya mendapatkan 'pemaknaan kreatif' bagi kaum muda (baik laki-laki maupun perempuan) di Inggris. Pemaknaan kreatif tersebut berkaitan dengan bagaimana mereka memperlakukan scooter yang awalnya sekedar alat transportasi yang feminin menjadi objek yang mampu menciptakan identitas kolektif bagi para pengendaranya.Â
Atribut dan praktik partikular yang dilekatkan dengan produk tersebut menjadi medium untuk menyemaikan identitas kolektif. Identitas kolektif tersebut semakin menemukan signifikansinya dengan lahirnya klub-klub scooter pada masing-masing kota di Inggris. Beragam kegiatan muncul dari kehadiran klub-klub tersebut. Kajian Hebdige menyiratkan betapa kehadiran scooter dalam masyarakat Inggris telah terjadi 'pembongkaran' dari nilai fungsional menuju nilai simbolik untuk merepresentasikan gaya hidup dan identitas para pengendaranya.