Para konsumen yang mempunyai kesamaan partikularitas dalam praktik konsumsi kemudian menyatukan diri mereka dalam ikatan-ikatan sosial baru yang mewujud dalam komunitas maupun klub yang anggotanya terdiri dari kelas menengah kota baru. Klub penggemar musik tertentu, klub ngobrol, klub motor dan mobil merk tertentu, hingga klub pengemar makanan, bermunculan mengisi dan mewarnai ruang-ruang urban yang sehari-harinya dipenuhi lalu-lintas aktivitas modern.Â
Kehadiran mereka di tengah-tengah massifikasi budaya pasar dan ketatnya norma-norma tradisi besar telah melahirkan mozaik kultural masyarakat posmodern yang lebih beragam yang ditandai dengan kemandirian komunitas maupun klub dalam memaknai apa-apa yang mereka lihat dan terima dalam masyarakat terkini.Â
Lebih jauh lagi, kehadiran klub atau komunitas menandakan betapa dalam arus besar kehidupan modern saat ini telah melahirkan kondisi posmodern yang dirayakan dengan banyaknya subkultur. Dengan aktivitas dan gerakan kolektif mereka melakukan 'pemaknaan kreatif' sebagai peta makna baru untuk bersikap beda terhadap kondisi sosial masyarakat.Â
Tulisan ini secara konseptual akan mendiskusikan subkultur klub motor dengan melihat partikularitas atribut, aktivitas, dan praktik-praktik kultural lainnya yang ditandai dengan kreativitas mereka dalam menggunakan produk otomotif. Sebagai kajian deskriptif-eksproratif, tulisan ini menggunakancontoh klub motor dengan merk tertentu. Informasi yang diperoleh dari internet, terutama berkaitan dengan aktivitas dan atribut yang dijalani oleh klub-klub motor yang ada di kota- kota besar Indonesia, akan dijadikan pijakan untuk melakukan eksplorasi konseptual tentang partikularitas subkultur pengendara motor sebagai realitas pada masyarakat Indonesia saat ini.Â
Pada akhirnya, kajian ini akan menelorkan refleksi konseptual betapa kebudayaan saat ini yang tidak bisa lagi dimaknai sebagai kesatuan utuh yang menyatukan masyarakat dan pendiktean oleh industri. Lebih dari itu, estetisasi dan stilisasi praktik konsumsi yang terjadi saat ini merupakan prakondisi bagi lahirnya subkultur yang merupakan bagian dari kebudayaan yang harus dibaca dalam konteks partikularitas dan perbedaan yang melekat padanya.Â
Massifikasi Produk, Transformasi Proses Konsumsi, dan Lahirnya SubkulturÂ
Kehadiran secara massif produk-produk industri di tengah-tengah masyarakat, memang melahirkan praktik konsumsi dan praktik-praktik kultural baru yang memperlihatkan ketergantungan mereka terhadap benda-benda tersebut. Namun, massifikasi tersebut sampai batas tertentu ternyata melahirkan sebuah praktik konsumsi baru yang ditandai dengan 'perayaan perbedaan' dalam mengkonsumsi dan memperlakukan benda-benda produksi yang dilakukan kelas menengah kota.Â
Abdullah (2006b: 33-35) menjelaskan bahwa saat ini dalam kelas menengah kota tengah berlangsung proses konsumsi simbolis dan transformasi estetis yang menunjukkan betapa nilai-nilai simbolis dari produk dan praktik kultural yang menyertainya telah mendapatkan penekanan yang lebih besar dibandingkan dengan nilai-nilai kegunaan dan fungsional.
Proses konsumsi simbolis paling tidak menandakan (1) terjadinya pembedaan proses konsumsi yang membedakan kelas sosial yang satu dengan yang lain; (2) barang-barang yang dikonsumsi telah menjadi representasi dari kehadiran mereka; dan, (3) konsumsi citra telah menjadi proses konsumsi yang penting di mana citra yang dipancarkan suatu produk dan praktik merupakan alat ekspresi diri bagi kelompok (ibid). Sementara, proses estetitasi yang terjadi dalam kehidupan kelas menengah kota bisa dilihat sebagai (1) terjadinya proses seni dalam konsumsi
barang yang menegaskan nilai-nilai khusus; (2) terjadinya proses individualisasi dalam memaknai sebuah produk (ibid). Dalam kehidupan kota, kelompok dengan status sosial tertentu menggunakan pola konsumsi sebagai alat untuk memapankan tingkatan sosial mereka dan sebagai garis pembatas diri mereka dengan kelompok yang lain (Bocock, 1994: 183).Â
Dengan kata lain, realitas konsumsi dalam masyarakat kota menunjukkan bahwa produk industri budaya tidak hanya dikonsumsi dalam kepasifan yang seragam, tetapi adanya partikularitas- partikularitas yang kemudian menjadi karakteristik.Â