Kesadaran global Aekanu yang pernah bertugas di Dinas Budaya dan Pariwisata Banyuwangi selain sebagai pemandu wisata profesional serta lama menggeluti fotografi dan dokumentasi budaya tradisional Using mendorongnya untuk menerjemahkan cerita ini ke dalam empat bahasa asing, selain bahasa Indonesia, Using dan Jawa.Â
Mengapa empat bahasa asing? Praktis saja, eksotika alam dan budaya Banyuwangi selama ini sering dikunjungi para wisatawan mancanegara yang berasal dari negara-negara yang menggunakan empat bahasa tersebut. Dengan kata lain, karya ini sebenarnya ditujukan sebagai pelengkap dari atraksi wisata alam dan kultural yang sedang digiatkan oleh rezim Pemkab Banyuwangi dalam slogan The Sunrise of Java.Â
Catatan Penutup
Tidak mungkin kita terus mengangan, mengidentifikasi, dan mengkonstruksi lokalitas sebagai masa lampau yang penuh eksotika, keghaiban, ke-primitif-an, sedangkan masyarakat sudah terbiasa dengan modernitas dalam kehidupan sehari-hari. Segala usaha untuk terus memobilisasi lokalitas sebagai representasi eksotis tidak bisa dilepaskan dari kepentingan-kepentingan ideologis para aktor yang terlibat di dalamnya.Â
Berangkat dari kepentingan-kepentingan itulah, penulis Delusi dan Kemiren berusaha untuk "meng-investasi lokalitas" dalam perspektif mereka masing-masing. Apa yang saya maksudkan dengan meng-investasi lokalitas adalah memberikan makna dan wacana partikular terhadap keunikan dan ketradisionalan masyarakat dan budayanya demi untuk merealisasikan tujuan-tujuan penulis.
Dalam Delusi, stereotipisasi masa lalu sebagai mitis, animistik, dan takhayul memang disengaja oleh penulis agar kepentingan untuk membenarkan nilai-nilai Islam yang bersanding dengan modernitas sebagai kekuatan hibrid yang akan memajukan masyarakat lokal. Kebenaran konsep "pencerahan" yang digerakkan melalui pembangunan, dari masa Orde Baru hingga masa Reformasi, menjadi kekuatan diskursif untuk me-liyan-kan ketradisionalan takhayul yang diposisikan menggangu kemajuan masyarakat. Dengan kata lain, muncul usaha diskursif dari subjek timur (yang tercerahkan) untuk menimurkan timur (yang belum tercerahkan).Â
Sementara, dalam Kemiren, mobilisasi naratif narasi tentang kekuatan dan kecerdasan masyarakat lokal memang bisa dimaknai sebagai bentuk politik identitas menghadapi kekuatan-kekuatan luar dominan. Hal itu bukan berarti menolak sang luar, tetapi memanfaatkannya untuk memberdayakan kekuatan subjek lokal.Â
Keliatan lokal menjadi senjata kultural yang bisa dikembangkan dalam menghidupkan subjektivitas di tengah-tengah hegemoni budaya luar. Sebagai tujuan ideal, penulisan legenda ini memang bisa menyemai secara ajeg identitas lokal yang terbuka terhadap budaya luar, tetapi bukan untuk tunduk. Namun, kekuatan diskursif itu mengalami dekonstruksi dengan kehadiran re-stereotipisasi subjek lokal yang mudah berkhianat dalam sebuah hubungan.
Kedua narasi sastrawi di atas, paling tidak, menegosiasikan wacana lokalitas sebagai titik pijak untuk memahaminya-kembali dalam konteks kekinian ketika modernitas dan logika pasar semakin hegemonik. Kedua-duanya sama-sama menggunakan lokalitas sebagai formula industrial untuk menarik minat konsumen di tingkat regional, nasional, dan global sekaligus mengajak mereka untuk menikmati repetisi naratif dan diskursif eksotika masa lampau.Â
Apakah kemudian mereka menerima, menganggapnya aneh, ataupun mengkritisinya, tidaklah menjadi persoalan, karena yang terpenting adalah konsumen mau membeli. Toh, ia hanyalah tembang nostalgia yang tidak mungkin terjadi lagi. Akhirnya, lokalitas di zaman pasar memang bisa dikomodifikasi, baik secara esensial maupun liat, sesuai dengan kepentingan ekonomi maupun politis aktor kultural dan pemodal. Â Â
Pustaka Acuan