Bukan hanya karena karya ini ditulis dalam tujuh bahasa (Indonesia, Osing, Jawa, Perancis, Italia, Belanda, dan Inggris) dengan ilustrasi lukisan cat air yang menawan serta diberi pengantar oleh pakar budaya yang sudah punya nama, baik di lingkup regional, nasional, maupun internasional, Prof. Dr. Ayu Sutarto (alm), tetapi juga karena diterbitkannya karya ini berbarengan dengan kebijakan pemerintah Kabupaten Banyuwangi untuk memasarkan eksotika alam dan kekayaan tradisi dalam bingkai The Sunrise of Java.
Secara naratif, Kemiren terbagi dalam dua bagian utama yang masing-masing terdiri dari beberapa unit-naratif yang tersusun dari paparan awal, konflik, klimaks, resolusi. Berikut cerita singkat bagian pertama.
Pada bagian pertama, paparan awal bercerita tentang keangkeran hutan yang dihuni binatang buas, seperti hariamu, macan tutul, ular, dan monyet, di mana mereka berada dalam kepemimpinan seekor singa besar bermahkota dan bisa terbang bernama Singabarong. Kedatangan seorang pengembara perempuan bernama Jakripah yang cantik dan sakti menjadikan tatanan kosmos hutan belantara terguncang. Jakripah berkelahi dengan semua hewan buas dan menang. Puncaknya, Singabarong bertempur melawan Jakripah. Keduanya sama-sama menguras kesaktian, sampai akhirnya memilih berdamai. Kedua tokoh ini kemudian menyatukan kekuatan mereka dan hidup damai di hutan belantara.
Membaca cerita seperti di atas, pertama-tama, kita dihadapkan kepada atmosfer eksotis dan magis, khas wilayah pedalaman belantara dengan manusia-manusianya. Pembekuan masa lalu ekostis-magis menjadi formula naratif yang diekspos-kembali oleh penulis. Penggambaran visual mendukung imajinasi beku tersebut. Apa yang menarik adalah pemunculan subjek-naratif bernama Jakripah, perempuan pengembara yang mampu menaklukkan keliaran hewan dan penguasa lokal, Singabarong.Â
Di satu ini, cerita ini sangat tipikal dalam legenda-legenda penamaan sebuah wilayah, di mana tokoh pengembara berhasil menaklukkan sebuah tempat liar atau angker. Namun, di sisi lain, membalik logika umum bahwa hanya tokoh laki-laki yang bisa melakukan pekerjaan berat tersebut. Kalau ditilik lagi, pada awalnya perempuan menempati posisi penting dalam ruang tradisi, seperti kisah Dewi Sri.Â
Menjadi wajar kalau Jakripah digambarkan sakti serta mampu mengendalikan hutan dan isinya dalam cerita di atas, karena dari seorang perempuanlah akan lahir kehidupan dari generasi ke generasi. Artinya, dalam nalar lampau masyarakat Banyuwangi, perempuan bukanlah subjek lemah yang hanya bisa hidup dalam perlindungan lelaki. Ia mampu mengolah nalar, energi, dan batinnya sehingga dimetaforkan sebagai memiliki kesaktian mandraguna. Bukankah sampai dengan saat ini, para perempuan Banyuwangi masih menjadi penggerak utama kebudayaan, seperti yang dilakoni oleh para penari gandrung?
Memasuki bagian kedua, Kemiren menyajikan cerita tentang siasat licik dan pengkhianatan seorang Jakripah. Berikut sinopsisnya.
Paman Iris, seorang pertapa muda, yang sakti. Paman Iris biasa menderes nira sebagai bahan makanannya. Pada suatu ketika Singabarong mencuri air niranya untuk mendapatkan kebugaran. Ketika Paman Iris mengetahui perbuatan Singabarong yang menjelma menjadi kupu-kupu raksasan, ia segera menangkap dan mengurungnya. Ia kaget ketika mengetahui bentuk asli Singabarong.Â
Akhirnya mereka bersahabat. Jakripah yang kebingungan dan kehilangan tenaga karena berpisah dengan Singabarong segera mencarinya ditemani tiga lelaki bersaudara yang ia temui di tengah hutan. Akhirnya, mereka bertemu dengan Paman Iris. Si pertapa jatuh cinta kepada Jakripah. Si perempuan bersedia menjadi istrinya kalau ia bisa menemukan Singabarong. Segera saja ia terbang dan membawa-kembali Singabarong.Â
Namun, Jakripah mengkhianatinya. Paman Iris tetap berusaha merayunya. Jakripah bersedia menikah kalau Paman Iris mampu membunuh Singabarong. Dalam sebuah pertempuan, Singabarong terbunuh. Lagi-lagi, Jakripah tidak menepati janji. Ia kembali berjanji untuk menikah kalau Paman Iris mampu menghidupkan-kembali Singabarong. Setelah bersemedi dan membaca mantra, Paman Iris mampu menghidupkan-kembali Singabarong.Â
Lagi-lagi, Jakripah mengkhianatinya. Akhirnya, mereka bertarung. Paman Iris sengaja tidak melukainya, karena ingin berdekatan dengan Jakripah. Kepada perempuan itu Paman Iris berkata bahwa ia bisa mengalahkan dan membunuhnya kalau berhasil menyentuh pipinya. Akhirnya, dengan lembut Jakripah menyentuh pipi Paman Iris dan ia meninggal. Pada akhir cerita, Jakripah, Singabarong, dan ketiga laki-laki hidup damai di hutan belantara yang dipenuhi pohon kemiri, durian, dan aren. Kelak wilayah ini diberi nama Kemiren.