Saya mengalami masa-masa kecil dan remaja dengan banyak gambar pahlawan nasional di dinding ruang kelas SD, SMP, dan SMA. Ya, selain Bung Karno, Bung Hatta, yang sangat terkenal, tentu saja, Pangeran Diponegoro, R.A Kartini, Sultan Hassanudin, Tjoet Nyak Dien, Teuku Umar, Â dan yang lain. Gambar-gambar itu membentuk perspektif saya tentang sosok dan makna pahlawan.
Dalam pelajaran terkait sejarah, para guru juga tak bosan-bosan bertutur tentang para pahlawan itu beserta perjuangan mereka terhadap kemerdekaan bangsa dan negara ini. Saya dan kawan-kawan pun diajak masuk ke dalam narasi besar kepahlawanan yang diidealisasi oleh Negara melalui praktik pendidikan dasar dan menengah, bahkan sampai ke perguruan tinggi. Semua itu diperkokoh dengan peringatan Hari Pahlawan, 10 November.
Dalam model narasi besar, pahlawan adalah tokoh-tokoh terhormat yang ditetapkan Negara dengan tujuan memberikan contoh sikap heroisme yang dibutuhkan untuk membangun cinta tanah air dalam diri generasi penerus. Mayoritas pahlawan adalah tokoh yang berjuang di masa kolonial, berjuang di era revolusi, atau yang mempertahankan dasar negara.
Yang juga masih saya ingat pada masa Orde Baru adalah gelar pahlawan yang diberikan kepada sosok yang masih hidup pada waktu itu. Dia adalah Presiden Suharto, si Pahlawan Pembangunan. Sampai-sampai, sosok Pahlawan Pembangunan tersebut muncul dalam ulangan SD. Karena menjadi aparatur Negara, para guru pun dengan giat menyampaikan tentang kontribusi Suharto dalam membawa bangsa ini ke dalam modernitas melalui bermacam proyek pembangunan.
Di balik itu semua adalah usaha Negara untuk menguasai pikiran generasi penerus dengan model idola nasional yang diwacanakan berkontribusi penting bagi eksistensi bangsa ini. Tentu saja model seperti ini seringkali terjebak ke dalam model indoktrinasi dogmatis, karena generasi penerus secara formal hanya diberikan pilihan tentang sosok pahlawan berdasarkan kehendak Negara.
Sampai sekarang, Negara masih saja menggunakan prosedur formal untuk gelar kepahlawanan yang hanya diperuntukkan untuk tokoh-tokoh hebat yang sudah meninggal. Tentu saja yang tidak bermasalah secara konstitusional, seperti tokoh-tokoh yang dianggap terlibat komunisme dan pemberontakan terhadap Republik.
Dalam kondisi dewasa ini, ketika narasi-narasi besar tentang kebenaran mulai dikritisi atas nama keragaman dan keberbedaan sebagai dampak tradisi dekonstruksi dan disrupsi, konsep pahlawan juga mengalami pembacaan-ulang. Artinya, Negara tidak bisa lagi memonopoli konsep pahlawan, karena warga negara juga berhak untuk membuat narasi sendiri tentang pahlawan yang mereka idolakan.
Kalau selama ini pahlawan dinilai dari kontribusi mereka terhadap perjuangan kemerdekaan Republik serta diusulkan oleh warga atau organisasi tertentu berbasis aturan birokrasi yang sangat ketat, maka pemahaman tersebut bisa dimaknai-ulang secara merdeka oleh warga negara. Mengapa? Masing-masing warga atau komunitas tentu memiliki tokoh-tokoh yang ikut berkontribusi terhadap perkembangan mereka, baik yang sudah meninggal atau masih hidup.
Artinya, individu atau komunitas juga berhak membuat narasi tentang pahlawan dan kepahlawanan menurut versi mereka. Mengapa? Karena merekalah yang benar-benar merasakan perjuangan individu-individu yang dengan konteksnya masing-masing ikut menumbuhkan harapan dan kebaikan, memberikan solusi masalah, dan merawat kehidupan.
Tentu kriteria tersebut sangat lentur dan merdeka, tidak membatasi pada keinginan Negara semata. Apakah itu dilarang? Tidak ada larangan. Artinya, biarkan Negara tetap menggunakan formulanya dalam menentukan status pahlawan, individu atau masyarakat juga memiliki narasi dan formula mereka sendiri, walaupun tanpa membutuhkan pengakuan konstitusional dari Negara.
Dalam pemahaman pahlawan dalam narasi-narasi kecil, kita akan berjumpa banyak sekali pahlawan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Mengapa demikian? Karena pengakuan akan kepahlawanan seseorang akan sangat bergantung kepada konteks dan pertimbangan individu yang menentukan. Mereka pun tidak harus dinarasikan dalam buku besar sejarah bangsa, tetapi cukup melalui banyak narasi kecil di media sosial, media online, karya sastra, film, program televisi, ataupun buku-buku indie.
Anak, misalnya, bisa memosisikan kedua orang tua mereka sebagai pahlawan. Bukan hanya dalam anggitan batin atau pikiran. Mereka bisa menuturkannya secara terbuka melalui berbagai macam platform media baru seperti blog, Facebook, Twitter, Instagram, grup WA, dan yang lain. Toh, realitasnya orang tualah yang berkontribusi penting dalam menyiapkan generasi penerus bermutu.
Bagi para siswa dan mahasiswa, guru, dosen, tenaga tendik, staf kebersihan sekolah dan kampus, dan yang lain, bisa menjadi pahlawan dalam bidang pendidikan. Karena masing-masing dari mereka berkontribusi dengan perannya masing-masing untuk menumbuhkan tradisi berpikir dan berpengetahuan yang tentu saja sangat penting bagi kehidupan generasi penerus.Â
Bahkan, para siswa dan mahasiswa juga bisa menjadi pahlawand dalam konteksnya masing-masing. Mahasiswa misalnya bisa terlibat dalam kegiatan pengabdian seperti kuliah kerja yang benar-benar mendampingi warga masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan mereka dan menumbuhkan harapan melalui aktivitas produktif.
Para petani yang masih bertahan mengelola lahan pertanian ataupun menggunakan teknologi bertani baru yang tidak membutuhkan lahan sawan bisa juga disebut sebagai pahlawan. Mayoritas warga membutuhkan mereka untuk ketersediaan bahan pangan demi melanjutkan kehidupan. Demikian pula dengan para nelayan yang bersedia mempertaruhkan nyawa untuk memberikan ikan yang melimpah kepada warga. Bayangkan kalau sudah tidak ada individu yang berkenan menjadi petani, tentu kita akan sangat bergantung kepada impor.
Para buruh pabrik adalah pahlawan yang tidak hanya menghidupi keluarganya, tetapi juga menggerakkan roda perekonomian melalui produksi barang yang dibutuhkan publik. Bergeraknya roda perekonomian tentu saja menguntungkan kondisi keuangan Negara. Demikian pula dengan para pembantu rumah tangga, pedagang kaki lima, dan para pekerja sektor informal lainnya.
Para tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri bukan sekedar "pahlawan devisa" sebagaimana label umum yang disematkan ke mereka. Lebih dari itu, mereka adalah para pahlawan karena berkontribusi terhadap perbaikan nasib keluarga, pendidikan anak-anak atau saudara mereka. Ini tentu menjadi perilaku mulia yang layak mendapatkan apresiasi. Â
Para pejuang yang menolak keberadaan tambang mineral dan praktik ekstraksi serta individu atau komunitas yang merawat lingkungan tertentu adalah pahlawan ekologis yang tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat lokal dan nasional, tetapi juga global. Kalau semua pihak diam dan mendiamkan kerusakan lingkungan sebagai akibat kerakusan pelaku eksploitasi, tentu saja kehancuran nasional dan global bukanlah isapan jempol.
Para seniman dan pelaku budaya juga bisa disebut pahlawan karena mereka membawa identitas dan estetika dinamis yang menjadi karakteristik suatu masyarakat atau bangsa. Di tangan mereka, identitas budaya dan cita-cita nasionalisme disebarluaskan dengan gembira dan menghibur. Dalam pertunjukan ludruk, misalnya, bisa kita jumpai cerita-cerita tentang pahlawan lokal yang melawan kolonialisme. Demikian pula lirik lagu yang ditembangkan para seniman ludruk (kidungan) yang mengajak para penonton mencintai Republik ini.
Demikian pula dengan para tokoh agama yang dengan penuh dedikasi berada di tengah-tengah masyarakat, menemani mereka untuk belajar nilai dan ajaran yang bermanfaat untuk kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Apalagi, para tokoh agam yang berani mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran HAM dan permasalahan lingkungan. Tentu, mereka sangat layak disebut pahlawan.
Tentu saja, kalau mau diuraikan, pastilah kita akan menjumpai individu-individu tak terbatas yang bisa disebut sebagai pahlawan dengan beragam narasi kecil mereka. Itu memang konsekuensi ketika narasi besar kepahlawanan dikonstruksi dalam narasi-narasi kecil. Apa yang perlu dilakukan, sekali lagi, adalah memperbanyak narasi kecil tentang para pahlawan tersebut dalam wacana publik, seperti di media sosial dan media online.Â
Para pekerja kreatif seperti sastrawan dan sineas bisa menarasikan perjuangan hidup para pahlawan yang tidak butuh ditetapkan oleh Negara itu. Generasi penerus membutuhkan banyak contoh pahlawan, baik yang sudah meninggal atau masih hidup, untuk membangun optimisme di tengah bermacam masalah yang ada. Karya kreatif bisa menjadi medium untuk menyebarkan sosok-sosok pahlawan tersebut.Â
Dengan perspektif pahlawan dalam narasi kecil, warga memiliki kebebasan untuk tidak menghiraukan atau mengabaikan tokoh-tokoh Republik yang dikonstruksi berkontribusi besar, tetapi realitasnya melakukan banyak tindakan yang melanggar HAM maupun merusak lingkungan hidup. Artinya, mungkin Negara mengatakan mereka berjasa, tetapi kalau publik menemukan realitas yang berbeda, tentu memilih pahlawan-pahlawan di level lokal yang benar-benar berjasa akan lebih mulia.
Kalau pahlawan secara tradisional dan konstitusional diresmikan oleh kuasa Negara, pahlawan-pahlawan dalam narasi-narasi kecil ditentukan oleh individu dan komunitas yang merasakan secara langsung kontribusi mereka dalam kehidupan. Artinya, individu dan komunitas juga punya kuasa untuk menentukan pahlawan mereka. Â Dan, tidak ada yang salah dengan itu semua.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H