Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pahlawan dalam Narasi-narasi Kecil

9 November 2021   21:43 Diperbarui: 9 November 2021   22:26 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam pemahaman pahlawan dalam narasi-narasi kecil, kita akan berjumpa banyak sekali pahlawan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Mengapa demikian? Karena pengakuan akan kepahlawanan seseorang akan sangat bergantung kepada konteks dan pertimbangan individu yang menentukan. Mereka pun tidak harus dinarasikan dalam buku besar sejarah bangsa, tetapi cukup melalui banyak narasi kecil di media sosial, media online, karya sastra, film, program televisi, ataupun buku-buku indie.

Anak, misalnya, bisa memosisikan kedua orang tua mereka sebagai pahlawan. Bukan hanya dalam anggitan batin atau pikiran. Mereka bisa menuturkannya secara terbuka melalui berbagai macam platform media baru seperti blog, Facebook, Twitter, Instagram, grup WA, dan yang lain. Toh, realitasnya orang tualah yang berkontribusi penting dalam menyiapkan generasi penerus bermutu.

Bagi para siswa dan mahasiswa, guru, dosen, tenaga tendik, staf kebersihan sekolah dan kampus, dan yang lain, bisa menjadi pahlawan dalam bidang pendidikan. Karena masing-masing dari mereka berkontribusi dengan perannya masing-masing untuk menumbuhkan tradisi berpikir dan berpengetahuan yang tentu saja sangat penting bagi kehidupan generasi penerus. 

Bahkan, para siswa dan mahasiswa juga bisa menjadi pahlawand dalam konteksnya masing-masing. Mahasiswa misalnya bisa terlibat dalam kegiatan pengabdian seperti kuliah kerja yang benar-benar mendampingi warga masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan mereka dan menumbuhkan harapan melalui aktivitas produktif.

Para petani yang masih bertahan mengelola lahan pertanian ataupun menggunakan teknologi bertani baru yang tidak membutuhkan lahan sawan bisa juga disebut sebagai pahlawan. Mayoritas warga membutuhkan mereka untuk ketersediaan bahan pangan demi melanjutkan kehidupan. Demikian pula dengan para nelayan yang bersedia mempertaruhkan nyawa untuk memberikan ikan yang melimpah kepada warga. Bayangkan kalau sudah tidak ada individu yang berkenan menjadi petani, tentu kita akan sangat bergantung kepada impor.

Para buruh pabrik adalah pahlawan yang tidak hanya menghidupi keluarganya, tetapi juga menggerakkan roda perekonomian melalui produksi barang yang dibutuhkan publik. Bergeraknya roda perekonomian tentu saja menguntungkan kondisi keuangan Negara. Demikian pula dengan para pembantu rumah tangga, pedagang kaki lima, dan para pekerja sektor informal lainnya.

Para tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri bukan sekedar "pahlawan devisa" sebagaimana label umum yang disematkan ke mereka. Lebih dari itu, mereka adalah para pahlawan karena berkontribusi terhadap perbaikan nasib keluarga, pendidikan anak-anak atau saudara mereka. Ini tentu menjadi perilaku mulia yang layak mendapatkan apresiasi.  

Para pejuang yang menolak keberadaan tambang mineral dan praktik ekstraksi serta individu atau komunitas yang merawat lingkungan tertentu adalah pahlawan ekologis yang tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat lokal dan nasional, tetapi juga global. Kalau semua pihak diam dan mendiamkan kerusakan lingkungan sebagai akibat kerakusan pelaku eksploitasi, tentu saja kehancuran nasional dan global bukanlah isapan jempol.

Para seniman dan pelaku budaya juga bisa disebut pahlawan karena mereka membawa identitas dan estetika dinamis yang menjadi karakteristik suatu masyarakat atau bangsa. Di tangan mereka, identitas budaya dan cita-cita nasionalisme disebarluaskan dengan gembira dan menghibur. Dalam pertunjukan ludruk, misalnya, bisa kita jumpai cerita-cerita tentang pahlawan lokal yang melawan kolonialisme. Demikian pula lirik lagu yang ditembangkan para seniman ludruk (kidungan) yang mengajak para penonton mencintai Republik ini.

Demikian pula dengan para tokoh agama yang dengan penuh dedikasi berada di tengah-tengah masyarakat, menemani mereka untuk belajar nilai dan ajaran yang bermanfaat untuk kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Apalagi, para tokoh agam yang berani mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran HAM dan permasalahan lingkungan. Tentu, mereka sangat layak disebut pahlawan.

Tentu saja, kalau mau diuraikan, pastilah kita akan menjumpai individu-individu tak terbatas yang bisa disebut sebagai pahlawan dengan beragam narasi kecil mereka. Itu memang konsekuensi ketika narasi besar kepahlawanan dikonstruksi dalam narasi-narasi kecil. Apa yang perlu dilakukan, sekali lagi, adalah memperbanyak narasi kecil tentang para pahlawan tersebut dalam wacana publik, seperti di media sosial dan media online. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun