Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Erupsi Bromo dalam Nalar Masyarakat Tengger

16 November 2021   11:53 Diperbarui: 18 November 2021   01:46 1077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artinya, sebagai orientasi berpikir, dualisme pemikiran tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Tengger tidak bisa dikatakan lagi sebagai “sepenuhnya masyarakat tradisional”. Namun, mereka juga tidak bisa dikatakan “sepenuhnya modern”.  

Melalui hibriditas tersebut, masyarakat Tengger memang bisa dengan leluasa—tanpa harus melalui perdebatan panjang-lebar dalam forum pertemuan adat, misalnya—memadukan pesona tradisionalisme dan modernisme dalam cara berpikir dan bertindak. Di satu sisi, mereka tetap bertahan dengan keyakinan-keyakinan leluhur tentang kesucian Bromo, misalnya. 

Di sisi lain, mereka tanpa beban bisa menikmati kemakmuran dan kemewahan yang dijanjikan oleh modernitas, melalui pertanian komersil maupun pariwisata. Kondisi ini bisa dinamakan keliatan kultural masyarakat lokal di tengah-tengah hegemoni modernitas yang semakin meluas dan tidak bisa lagi ditolak secara mutlak. Dalam keliatan kultural masyarakat lokal hanya bisa bersiasat untuk terus menegosiasikan nilai dan praktik tradisional yang masih memungkinkan ditransformasi dalam kehidupan modern mereka.

Apa yang harus dilihat secara lebih kritis lagi adalah realitas bahwa ketika pola pikir modern semakin hegemonik dalam kehidupan masyarakat lokal, gugatan-gugatan terhadap otoritas lokal mulai muncul, meskipun secara politis para penggugat tersebut tetap berada dalam ranah tradisional. Memang, dalam kasus di atas persoalan tersebut bisa diatasi secara temporer, karena mayoritas masyarakat Tengger masih bersepakat dengan otoritas lokal bernama dhukun pandita.  

Namun, realitas tersebut tidak bisa digunakan untuk melihat masyarakat lokal lain yang secara geografis lebih memungkinkan berhubungan secara intens dengan budaya dan masyarakat yang lebih modern, sehingga otoritas lokal mengalami de-otorisasi karena menguatnya nalar sekuler. Realitas ini memang tidak bisa lagi dihindari, meskipun dalam batas-batas tertentu, masyarakat Tengger masih bisa memperlambat lajunya melalui beragam mekanisme adat yang dijalankan.

* Tulisan di atas berasal dari penelitian yang saya lakukan bersama tim pada tahun 2011-2012 dengan topik "Hibriditas Budaya di Masyarakat Lokal" yang didanai oleh Kementerian Pendidikan Nasional. Isi menjadi tanggung jawab saya. 

Daftar Wawancara

Mujono, Koordinator Dhukun Pandita, wawancara, 2 Agustus 2012.

Sumartono, Kepala Desa Ngadas, wawancara, 1 Agustus 2012. 

Sutomo, Dhukun Pandita Desa Ngadisari, wawancara, 29 Juli 2012.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun