Maka, wangsit yang diterima Mujono agar “para dhukun pandita tidak membuat slametan karena hanya ngriwuki (menganggu) pembangunan istana baru oleh para leluhur” menjadi semacam pembenaran tradisional dari lamanya durasi letusan Bromo dan ‘kegagalan’ ritual slametan yang dilakukan para dhukun pandita.
Namun, paling tidak, Mujono dan para dhukun pandita lainnya masih bisa berargumen bahwa dengan usaha yang mereka lakukan, tidak sampai ada jatuh korban jiwa dan warga Tengger tidak sampai mengungsi di barak-barak pengungsian. “Warga di sini tetap tenang saja. Yang bingung itu aparat pemerintah,” begitu ungkap Mujono melengkapi cerita keberhasilan usahanya, meskipun tetap tidak bisa menghentikan letusan Bromo dan menghindarkan warga dari kerugian ekonomi.
Usaha untuk melakukan pembenaran secara tradisional terhadap ketidakberdayaan slametan dalam menangkal kerugian material akibat letusan Bromo juga dikaitkan dengan empiri bahwa setelah letusan dahsyat biasanya pertanian di lereng Bromo akan subur dan menghasilkan panen melimpah. Sutomo, Dhukun Pandita Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, yang sejak tahun 2014 menggantikan (alm) Mujono sebagai Koordinator Dhukun Pandita, menuturkan:
Letusan Bromo yang sampai 9 bulan itu memberikan pelajaran yang cukup berharga bagi warga Tengger. Seperti orang hamil 9 bulan, Bromo lahir kembali dengan wajah dan lembaran baru. Tentu saja hal ini juga berarti kelahiran baru bagi wong Tengger. Mereka harus bisa menjaga dan memelihara kelahiran baru ini agar Bromo bisa memberikan hal yang baik dan berguna bagi masyarakat. Memang para leluhur ngaluhur sedang membangun istana atau punya gawe besar sehingga kami tidak banyak melakukan ritual waktu itu.
Kalau sudah selesai pasti berakhir sendiri. Yang penting tidak ada korban jiwa. Memang dari dulu tidak pernah membawa korban jiwa dari penduduk Tengger. Bahkan seekor ayam pun ndak ada yang mati. Kami percaya bahwa setelah meletus, mangke dilironi. Menurut orang dulu, sebelum mereka makan nasi dan masih bertanam jagung belum sayuran seperti sekarang, setiap habis erupsi Bromo, panen talas dan jagung melimpah.
Artinya, setelah letusan Bromo, warga Tengger akan mendapat ganti berupa kemakmuran. Istilahnya para leluhur ngaluhur cuma njaluk sak usum, minta hasil bumi satu musim. Setelah letusan warga akan memperoleh kemakmuran lebih, baik dari hasil pertanian tegalan maupun pariwisata. Buktinya, setelah erupsi, semakin banyak turis mancanegara dan domestik yang datang. Meskipun belum bisa baik menanam kentang dan wortel, petani mulai menanam bawang pre dan bagus, subur banget. Bahkan, hama ulat yang sebelum letusan banyak, sekarang ini tidak ada.
Keyakinan bahwa para leluhur ngaluhur (arwah para leluhur yang bersemayam di kawasan Bromo dan sudah menjadi Dewata) yang sedang “membangun istana” atau “mempunyai gawe besar” diyakini oleh Tomo, begitu ia biasa dipanggil, sebagai sesuatu yang memang harus terjadi sehingga ritual tidak perlu dilakukan.
Usahanya membandingkan “9 bulan letusan Bromo” dengan “9 bulan masa hamil perempuan” yang akan memberikan “kelahiran dan wajah baru bagi Bromo dan masyarakat Tengger” merupakan bentuk nalar tradisional berdasarkan pengalaman dan tuturan para leluhur. Dengan nalar tersebut, paling tidak, masyarakat Tengger akan merasakan ketenangan karena bencana yang mereka terima dan rasakan akan berubah menjadi sesuatu yang membahagiakan.
Dalam nalar Tengger, setiap kali Bromo meletus tidak ada korban jiwa, bahkan tak seekor ayampun yang mati. Kegagalan panen selama satu musim akan dilironi (diganti) dengan kemakmuran yang lebih melimpah, baik dari hasil panen maupun pariwisata. Dalam aspek pertanian, tentu hal itu wajar terjadi karena abu vulkanik yang menutupi lahan tegal (ladang) selain menunda aktivitas pertanian mereka juga akan membawa dampak kesuburan bagi tanah. Selain itu, hama seperti ulat akan mati karena mereka terkena abu dan pasir.
Bagi masyarakat Tengger, pengalaman-pengalaman seperti itu diyakini sebagai “berkah tersembunyi” dari letusan Bromo sehingga menjadi wajar kalau mereka diminta tetap sabar dan rukun. Dalam aspek wisata, berdasarkan pengamatan kami pada minggu terakhir bulan Juli 2011, banyak sekali turis mancanegara yang datang, termasuk juga turis domestik. Sebagian besar mereka menggunakan jasa angkutan jeep yang dikelola oleh masyarakat Tengger untuk menikmati wajah baru Bromo pasca-erupsi.
Semua hotel di kawasan Bromo penuh. Kondisi itu sebenarnya menjadi wajar karena pada bulan Juli hingga Agustus merupakan peak season di mana banyak turis mancanegara yang menghabiskan waktu liburan. Namun demikian, masyarakat Tengger, melalui tuturan Tomo, tetap meyakini ramainya wisata Bromo sebagai bentuk kemakmuran yang diberikan Dewata setelah harus menderita terlebih dahulu akibat erupsi.