Kontekstualisasi wacana “sabar”, secara khusus, juga merujuk kepada legenda perjuangan Rara Anteng dan Jaka Seger dalam menjalani laku spiritual untuk memohon kepada para Dewata agar dikaruniai anak. Selama puluhan tahun mereka harus nglakoni, berdoa dan bersemedi di sela-sela kehidupan sehari-hari. Sampai-sampai Rara Anteng harus ikut bertapa di segara wedhi, lautan pasir di sekitar Bromo.
Ketika mereka sudah mendapatkan dua puluh lima anak, Dewata menagih janji mereka untuk mengorbankan anak terakhir, yakni Raden Kusumo. Karena Rara Anteng dan Jaka Seger tidak berkenan, Bromo mengamuk, menghadirkan penderitaan bagi keluarga mereka. Akhirnya, Kusumo berinisiatif untuk mengorbankan dirinya, mencebur ke kawah Bromo.
Selepas kematiannya, Bromo ‘diam’ dan dari kawah muncul suara ghaib agar setahun sekali di bulan Kasada, masyarakat Tengger melakukan ritual persembahan yang sekarang dinamai upacara Kasada.
Dengan memobilisasi wacana “sabar dan rukun” ke seluruh warga Tengger di empat kabupaten, Mujono dan para dhukun pandita lainnya, pada dasarnya, berusaha menata atau menertibkan-kembali kekacauan kultural ataupun ketidakyakinan terhadap otoritas tradisi.
Keadaan disorder yang disebabkan oleh bencana alam dan ideologi kemajuan ekonomi yang diyakini masyarakat di-order-kan kembali melalui penyebaran wacana yang menyentuh keyakinan dasar warga sebagai sesama saudara satu keturunan. Usaha tersebut berhasil mendinginkan batin warga Tengger yang menanggung kerugian ekonomi luar biasa.
Gugatan-gugatan terhadap kemapanan religi tidak sampai meluas menjadi gerakan massif yang bisa menyebabkan hancurnya keyakinan masyarakat terhadap ajaran leluhur. Lebih dari itu, kembalinya masyarakat Tengger ke dalam order—ke dalam keharmonisan sosial dan ke dalam keyakinan religi—juga menegaskan kembalinya otoritas dhukun pandita ke dalam kehidupan warga.
Pada fase awal letusan Bromo, Oktober 2010, Mujono dan dhukun pandita lainnya, seperti kebiasaan pada letusan sebelumnya, juga sudah melakukan slametan adat di bibir kawah Bromo. Namun, usaha mereka tidak menemukan hasil, bahkan letusan Bromo semakin menjadi.
Memang waktu meletus saya juga melakukan slametan meminta agar warga Tengger jangan sampai menderita dan mengungsi. Saya juga pernah menerima wangsit kalau para leluhur di kawasan Bromo sedang membangun istana baru. Maka, kami dilarang untuk membuat slametan karena hanya ngriwuki, kalau nanti sudah selesai membangunnya akan berhenti sendiri.
Tapi setelah dapat wangsit itu, saya minta semua dukun untuk tidak melakukan ritual. Karena bisa berbahaya. Ya, memang akhirnya masyarakat Tengger memang tidak sampai mengungsi. Bahkan, meskipun barak pengungsian disediakan oleh pemerintah, warga tidak mau mengungsi.
Pernyataan Mujono menunjukkan adanya extraordinary case, kasus di luar kewajaran, terkait letusan Bromo pada 2010-2011. Pada letusan-letusan sebelumnya, pada awal letusan para dhukun pandita memang selalu menggelar slametan untuk meminta keselamatan di bibir kawah pada fase awal erupsi.
Empiri kultural menunjukkan bahwa biasanya Bromo hanya meletus beberapa minggu atau paling lama satu bulan setelah slametan diadakan sehingga tidak sampai mengakibatkan kerugian material karena abu dan pasir vulkanik tidak sampai membuat petani ‘nganggur’ dalam jangka waktu lama.