Pelimpahan kesalahan kepada dhukun pandita terkait erupsi Bromo oleh sebagian kecil masyarakat Tengger memang di luar kewajaran tradisi. Namun, sekali lagi, kerugian ekonomilah yang menyebabkan masyarakat menyalahkan dhukun pandita. Menurut Mujono, kekesalahan warga terhadap dhukun dipicu oleh sebuah peristiwa di Desa Wonokerso, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo:
Yang paling parah, ada peristiwa di Wonokerso yang menyedihkan. Ada seorang warga yang kesurupan dan meminta dhukun memanggil arwah para leluhur di Bromo. Atas desakan warga, dhukun melakukan ritual bersama warga masyarakat. Baru sebentar mantra panggilan dibaca, pasir dan abu datang semakin banyak. Para warga menyalahkan dhukun itu sehingga dia tidak berani keluar selama 8 hari.
Akhirnya, saya datang ke sana, bertemu warga dan meyakinkan bahwa tidak ada yang salah dengan ritual, mantra, maupun waktu penentuan ritual. Saya sampai praktikkan penghitungan Kasada, Unan-unan, dan Karo sesuai dengan penanggalan Tengger. Selain itu saya tegaskan kepada mereka bahwa wong Tengger disuruh sabar dan rukun, nanti akan diganti yang lebih banyak semua kerugian itu. Mereka akhirnya bisa menyadari kondisi ini.
Kegundahan warga Wonokerso karena sudah menghabiskan modal banyak untuk menanam sayur-mayur, dari perspektif ekonomi, sangatlah masuk akal. Dalam logika rasional, tidak ada pemodal yang mau menanggung kerugian, meskipun hal itu disebabkan oleh bencana. Logika rasional ini menuntut “tindakan praktis” untuk bisa menghentikan pengaruh lebih buruk dari letusan Bromo bagi kehidupan warga Tengger Wonokerso.
Rasionalisasi kerugian mereka larikan ke dalam pikiran tradisional berdasarkan “celoteh seseorang yang kesurupan”: arwah leluhur di Bromo harus didatangkan agar abu dan pasir vulkanik bisa dihentikan. Dalam nalar vulkanologi, bagaimana bisa gemuruh lava di dalam gunung yang menyembur keluar dalam bentuk abu dan pasir bisa dihentikan dengan sebuah ritual pemanggilan arwah.
Namun, nalar modern tersebut tergusur oleh keyakinan tradisional mereka terhadap kesucian dan kesaktian arwah leluhur penunggu Bromo yang bisa dimintai bantuan ketika masyarakat menghadapi masa-masa sulit. Dalam konteks masyarakat yang sudah terbiasa dengan ajaran-ajaran terkait Bromo, nalar tersebut menjadi wajar.
Artinya, meskipun masyarakat Wonokerso sehari-harinya sudah biasa menonton televisi dan sudah mengenyam pendidikan, mereka tetap tidak bisa melepaskan diri dari jejaring tradisi.
Alasannya, ketika mereka tidak mempercayai atau melanggar aturan tradisi, tragedi dan bencana akan terjadi dalam kehidupan mereka. Celakanya, ritual yang dijalankan oleh dhukun pandita Wonokerso tidak berhasil menghentikan amukan Bromo, bahkan semakin memperparahnya.
Kenyataan inilah yang menjadikan warga marah. Akibatnya, 'sejarah baru' dalam jagat perdhukunan Tengger harus terjadi: dhukun pandita tidak berani keluar rumah karena merasa malu dan bersalah ketika letusan Bromo bertambah parah.
Padahal dhukun pandita sangat dihormati dan disegani dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Otoritas dhukun pandita sebagai pemangku adat Tengger benar-benar terusik, sampai-sampai Mujono harus datang langsung ke Wonokerso untuk memberikan penjelasan kepada warga.
Tentu saja, kalau kondisi tersebut dibiarkan bisa menimbulkan ‘kekacauan tradisi’ karena derajat para dhukun pandita yang selama ini diposisikan dan diyakini sebagai kekuatan suci yang menjadi penghubung wong Tengger dengan kekuatan adikodrati akan mengalami degradasi yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat.