Orientalisme memang tidak lagi menjadi konsumsi para penulis Barat. Para penulis Timur juga bisa menarasikan pandangan dunia itu karena mereka memilih berada dalam medan ideologis yang mengunggulkan modernitas Barat demi mendukung kekuatan-kekuatan partikular dalam negara yang diuntungkan. Selain itu, penarasian ruang lokal dengan logika Orientalisme juga berkesesuaian dengan kerinduan banyak orang akan suasana non-metropolitan, sehingga penulis juga menyesuaikan dengan suasana batin tersebut.
Dalam Tatapan Posmodernisme
Selain cara pandang eksotika pascakolonial, cara pandang posmodernis juga menarik untuk dilirik. Posmodernisme merupakan perspektif teoretis dan gerakan kultural yang menggugat kemapanan modernisme, terutama dalam hal rasionalitas, narasi besar yang selalu dihitung dalam logika Barat, dan ketunggalan kultural (Lyotard, 1984: xxiv-xxv; Featherstone, 2007: 7; Hutcheon, 1989; Harper, 1994; Ashley, 1994; Malpas, 2005). Dalil-dalil rasionalitas mulai dipertanyakan kemutlakannya karena ada eksistensi lain yang juga berhak mengada di dalam kehidupan.Â
Kerinduan terhadap narasi-narasi kecil tentang ketradisionalan, ke-primitif-an, dan hal-hal di luar nalar Barat mulai meningkat di masyarakat metropolitan dan itu tertolong dengan adanya teknologi simulasi multmedia yang bisa menjadikan hal-hal yang tampak tidak mungkin menjadi mungkin. Produk-produk representasional dipenuhi oleh subjek, citra, dan peristiwa yang tidak lagi menuntut logika modern yang linear.Â
Yang ghaib, yang mistis, yang historis, yang agamis, ataupun yang Timur berhak hadir dalam narasi-narasi filmis, televisual, maupun sastra. Pengaruh penting posmodernisme terhadap karya sasta adalah mulai maraknya narasi yang menghadirkan masa lalu atau hal yang tidak masuk akal ke dalam latar waktu masa kini. Atau, narasi yang tumpang tindih antara yang rasioal dan irasional.
Fiksi posmodernis menekankan pada aspek ontologis ketimbang epistemologis. Menurut McHale (2004: 10) terdapat 3 strategi untuk menarasikan sang ontologis dominan, yakni Dunia-dunia, Konstruksi, dan kata-kata. Ketiga hal tersebut terkait satu sama lain. Dunia-dunia dibentuk melalui cara tertentu untuk membangun konstruksi. Strategi untuk mengkonstruksi dunia-dunia menggunakan bahasa (kata-kata) dalam banyak karya sastra. Dunia-dunia itu berupa dunia nyata, dunia yang mungkin, dan dunia yang tidak mungkin (McHale, 2004: 33).Â
Dunia nyata dikonstruksi dengan modalitas  kebutuhan. Jenis dunia ini merupakan sebuah dunia di mana kita tinggal, dunia normal dan keseharian. Dunia yang mungkin atau dunia fiksional dikonstruksi dalam modalitas kemungkinan. Jenis dunia ini harus diyakini, dibayangkan dan diharapkan oleh agen manusia atau penulis. Dunia yang tidak mungkin atau dunia lain adalah dunia yang bisa benar bisa salah.Â
Untuk mengkonstruksi dunia-dunia, McHale (2004: 45) mengusulkan beberapa strategi: penyandingan, interpolasi (penyisipan), superimposition, dan misattribution. Penyandingan adalah strategi untuk menempatkan jagat-jagat yang tidak berdekatan dan tidak berkaitan dengan cara paralel. Seorang tokoh terbang menggunakan mobil dari Banyuwangi melintasi lautan lalu turun ke Hongkong. Interpolasi adalah strategi dalam memperkenalkan sebuah dunia yang tidak familiar di dalam dunia familiar. Superimposition adalah strategi dalam menempatkan sebuah dunia familiar di atas dunia yang lain. Misattribution adalah strategi dalam mengenalkan tempat-tempat atau sesuatu yang lain dan atribut-atributnya secara salah. Â
Dalam konteks Indonesia kontemporer, menurut Pujiati (2011), semenjak kemunculan Saman oleh Ayu Utami tahun 1997 yang mulai menggali mitos dan legenda yang ada di dalam masyarakat, mengenai roh-roh dan mistis dihadirkan kembali dalam karya sastra. Disusul karyanya yang lain yaitu Larung dan Bilangan Fu yang berseri dengan Manjali dan Cakrabirawa, kesemuanya menyinggung perihal unsur keterpesonaan pada dunia yang digali dari sejarah lokal masyarakat terutama Jawa. Nukila Amal dengan Cala Ibi-nya juga mengangkat unsur-unsur lokal Ternate.Â
Penerimaan-penerimaan terhadap apa yang lokal, yang dekat dengan alam dan tuhan, yang tidak dibicarakan atau bahkan dianggap konyol di kalangan orang-orang terpelajar dan pergaulan orang urban di Jakarta kembali disajikan di dalam novel-novel tahun 2000-an. Dengan narasi posmodernis itulah para penulis bisa secara bebas memainkan dan memasukkan subjek-subjek yang dalam narasi fiksi modernisme ditolak untuk masuk, seperti kehadiran sang ghaib dan alam paralel, dalam struktur penceritaan.Â
Kehadiran mereka tidak harus dipermasalahkan secara epistemologis, dalam artian tidak harus dijelaskan secara rasional. Mengapa? Karena mereka juga berhak ada dan hidup dalam dunia-dunia yang memang ada. Inilah yang kemudian dianggap mengganggu logika narasi modernis. Selain menemukan kekayaan sumber kreatif dan strategi naratif, memasukkan 'dunia lain' ke dalam nalar narasi modern juga menunjukkan kritik terhadap konsep pengetahuan, kebudayaan, dan kebangsaan yang ingin diarahkan pada ketunggalan ala Barat.