Awal(-an)
Siapakah yang pernah menyangka bahwa Laskar Pelangi yang menceritakan perjuangan Ikal dan kawan-kawannya untuk mendapatkan pendidikan di Belitong dengan segala keterbatasannya bisa menarik minat banyak pembaca. Memang ada beberapa nama hebat seperti Korrie Layun Rampan, Kak Seto, dan Sapardi Djoko Damono yang memberikan pujian terhadap novel ini ketika pertama kali dicetak, 2005. Terlepas apakah pujian mereka berpengaruh pada penjualannya, menurut saya, dalam novel ini Andre Hirata mampu meramu dan menarasikan peristiwa-peristiwa biasa tentang perjuangan, impian, harapan, dan kegigihan anak-anak miskin di Belitong untuk mengenyam pendidikan modern; sesuatu yang sangat khas di zaman Orde Baru sebagai latar waktu cerita ini. Selain itu, Laskar Pelangi menjadi semacam oase kerinduan terhadap eksotisme dan perjuangan penuh cerita masa kecil.
Tema manusia-manusia di ruang lokal, dalam artian ruang yang jauh dari metropolitan, sebenarnya bukan hal baru. Sejak zaman kolonial, para penulis cerita perjalanan (travel writing) yang melakukan petualangan ke tempat-tempat baru non-Eropa telah menarasikan keliaran, ketidakberadaban, dan paganisme penduduk pribumi sebagai pembanding biner pengetahuan dan kemajuan Eropa. Melalui produk-produk sastrawi, baik berupa prosa, drama, dan puisi, ruang-ruang eksotis pribumi dengan beragam budaya yang dianggap terbelakang menjadi sumber kreatif untuk dinarasikan dan didistribusikan kepada manusia-manusia modern Eropa sehingga mereka semakin meyakini kebenaran modernisme yang memperkuat posisi kolonial (Said, 1978, 1993).Â
Bahkan para penulis besar seperti Charles Dickens dan Jane Austen juga tidak melupakan latar kolonial, meskipun karya mereka masuk kategori karya sastra kolonial, bukan kolonialis. Boehmer (2005) menjelaskan sastra kolonial adalah karya yang ikut menceritakan persepsi dan pengalaman terkait kolonialisme. Biasanya ditulis oleh para penulis metropolitan, tetapi sebagian kecil juga ditulis oleh penulis berdarah campuran atau penulis dari pihak terjajah. Sementara, karya sastra kolonialis adalah karya yang secara khusus menulis tentang ekspansi penjajah Eropa, memperkuat sudut pandang kolonialisme, mengartikulasikan superioritas subjek Eropa, serta mengkonstruksi inferioritas subjek Timur.
Artinya, cerita tentang ruang lokal beserta keadaan masyarakat dan budayanya (lokalitas) merupakan lanskap yang sangat biasa dalam jagat fiksional, dari masa kolonial hingga pascakolonial. Namun demikian, gaya penceritaan dan konstruksi wacana terkait manusia dan manusia di ruang lokal, tidak bisa dilepaskan dari pandangan dunia pengarang, kondisi-historis yang melatarinya, dan kepentingan ekonomi penerbitan.Â
Berangkat dari konsepsi tersebut, tulisan ini pertama-tama akan mengungkapkan pemikiran paradigmatik terkait masyarakat dan budaya lokal sebagai kompleksitas di mana bertumpuk orientasi dan praktik kultural saling mengada, saling melintasi, dan, bahkan, saling menggusur. Semua itu menjadi mungkin karena pengaruh historis masa lalu kolonial dan kelanjutan proyek-proyek modernitas yang dilakukan rezim negara pascakolonial sampai saat ini.Â
Tarikan antara kepentingan untuk terus menegosiasikan ajaran-ajaran leluhur dan kuatnya pengaruh hegemonik modernitas, serta hadirnya aspek-aspek lain seperti agama formal, jender, kepentingan ekonomi-politik negara menjadikan ruang lokal sebuah kompleksitas yang menarik untuk diurai. Kedua, cara pandang yang bisa dimainkan oleh para pengarang dalam menggunakan kompleksitas ruang lokal sebagai sumber kreatif sastrawi.
Di Dalam Ruang Lokal yang Semakin Kompleks
Mengapa saya memilih metafor "ruang"? Ruang bagi saya adalah sebuah arena tempat di mana peristiwa-peristiwa berlangsung; melibatkan banyak subjek dengan beragam kepentingan, kehendak, dan harapan; tempat berkembangnya permasalahan, baik yang berdimensi sosial, ekonomi, politik, maupun kultural; tempat terjadinya pertemuan dan saling-silang beragam nilai. Sementara, lokal dalam tulisan ini merujuk pada sebuah lokasi geokultural yang berada jauh dari metropolitan, meskipun kita bisa menjumpai hasrat-hasrat metropolitanisme di wilayah lokal. Jadi definisi itu bukan dimaksudkan untuk memperkuat dikotomi kota-desa atau pusat-periferal, tetapi sekedar untuk memudahkan identifikasi geokultural yang berbeda dari metropolitan.Â
Ruang lokal bisa berwujud hutan, gunung, pesisir dan laut, pasar, dusun, desa, kota kecamatan, ataupun kota kabupaten. Tentu, masing-masing memiliki dinamika kultural yang berbeda. Berlangsungnya bermacam peristiwa dan permasalahan itulah yang menghadirkan kompleksitas di ruang lokal, sehingga ia tidak bisa lagi disederhanakan sebagai yang tradisional karena kenyataan sejak zaman kolonial hingga pasca Reformasi sudah mengalami banyak perubahan dan transformasi.Â