Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Soto dan Pecel Lele yang Mengubah Wajah Dusun di Lamongan

1 November 2021   10:15 Diperbarui: 4 November 2021   04:47 1291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Warung tenda Soto Lamongan. (Foto: KOMPAS.com/Muhammad Irzal Adiakurnia)

Menurut informasi lisan, setidaknya sejak era 1960-an, di Jakarta sudah dijumpai penjual soto Lamongan (baca: ini). Yang  lebih dulu terkenal adalah soto ayam, baru kemudian ditambah varian soto daging. Para penjual soto merantau ke Jakarta untuk mengubah nasib. 

Pada era itu, banyak warga yang hidup dalam kemiskinan karena keterbatasan lahan pertanian. Banyak dari mereka yang berprofesi menjadi buruh tani atau petani penggarap berlahan sempit. Harapannya, dengan berjualan soto di ibukota mereka bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Pada era 1970-an para penjual soto Lamongan di Jakarta dan kawasan sekitarnya mulai memperkenalkan menu pecel lele di warung mereka (baca: ini). 

Pecel lele adalah menu lele goreng yang dilengkapi dengan sambal dan mentimun. Perpaduan gurihnya daging lele dan pedas sambal menjadikan menu ini sangat digemari oleh para konsumen.  

Itulah mengapa, soto Lamongan biasanya selalu dilengkapi dengan pecel lele. Meskipun di wilayah tertentu, terdapat semacam pantangan untuk tidak makan lele karena mitos tertentu (baca: ini), berjualan pecel lele, nyatanya, memberikan rezeki berlimpah bagi banyak perantau dari Lamongan.

Tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota lain seperti Yogyakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Surabaya, dan bahkan di beberapa kota di luar Pulau Jawa, menu soto dan pecel lele bisa kita jumpai. 

Kedua menu tersebut menjadi penanda  keberadaan para perantau-pedagang asal Lamongan yang memperjuangkan nasib mereka agar menjadi lebih baik.

Di desa tempat saya dilahirkan, Desa Karangsambigalih, Kecamatan Sugio, Lamongan, baru pada era 1980-an, beberapa warga dusun memutuskan merantau ke Jakarta untuk berjualan soto dan pecel lele. 

Sama dengan alasan para penjual soto lainnya, sempitnya lahan pertanian dan terbatasnya pekerjaan menjadikan mereka pergi ke Jakarta.

Keberhasilan para penjual soto tersebut segera menjadi perbincangan di antara warga. Banyak warga pada era 1990-an awal memutuskan untuk ikut bermigrasi ke Jakarta: menjadi penjual soto dan pecel lele. 

Waktu itu saya masih duduk di bangku SMP. Dan, ketika memasuki tahun 1993, ketika saya duduk di bangku SMA, banyak kawan-kawan sepermainan yang memutuskan menjadi buruh di warung para warga yang sudah sukses di Jakarta. Selain itu, sebagian dari mereka juga ikut di juragan soto yang mulai sukses di Yogyakarta, kota pelajar.

Sebenarnya saya sempat tergoda untuk ikut merantau bersama mereka, tetapi orang tua ingin saya melanjutkan ke SMA agar bisa kuliah. Meskipun mereka berdua harus bekerja keras untuk membiayai sekolah saya dan adik perempuan semata wayang duduk di bangku SMP. 

Jadinya, saya kehilangan kontak dengan banyak kawan sebaya dan lebih banyak menghabiskan waktu di kota Lamongan, tempat saya belajar di bangku SMA.

Mereka yang memutuskan menjadi buruh tersebut adalah kawan-kawan yang di masa SD dan SMP bermain bersama di sawah dan sungai, mencuri pepaya dan mangga, berburu burung di tegalan dan rawa, serta tidur bersama di kandang sapi tempat salah satu kawan menjadi tukang angon, buruh di rumah orang kaya yang bertugas mencari rumput dan memelihara sapi.

Kami juga seringkali menonton pertunjukan kesenian seperti tayub, ludruk, dan wayang, bersama-sama. Terkadang jalan kaki, terkadang naik sepeda onthel. 

Pada masa itu, kami juga sering menonton layar tancap, bioskop di tempat terbuka dengan layar kain yang dibentangkan dan disorot proyektor. 

Selain itu, kami juga menonton acara televisi swasta, RCTI dan SCTV, yang memperkenalkan kami dengan bermacam pesona modernitas, dari baju yang bagus, rumah mewah, sepeda motor, mobil, dan yang lain.

Setidaknya, pesona-pesona modernitas itulah yang menjadikan saya dan kawan-kawan ingin punya uang banyak: agar bisa merasakan menjadi manusia modern yang bisa menikmati banyak fasilitas yang menandakan kemajuan. 

Itulah yang menyebabkan mayoritas kawan sebaya memilih bermigrasi ke Jakarta atu Yogyakarta setelah mereka tidak lagi menjadi tukang angon. Sementara, saya seorang diri melanjutkan sekolah SMA hingga perguruan tinggi di Jember.

Menurut cerita kawan-kawan saya, mereka memang menjadi buruh di warung para juragan yang sudah sukses. Namun, para juragan soto dari Lamongan memiliki solidaritas yang cukup bagus. 

Para buruh yang rata-rata masih mudah dipersilahkan untuk belajar. Kelak ketika mereka sudah mampu meracik soto dan pecel lele secara mahir, mereka akan diberikan pinjaman modal untuk membuka warung sendiri.

Apa yang cukup membanggakan adalah kerja keras para penjual soto Lamongan di Jakarta, Yogyakarta, Bogor, Semarang, dan beberapa kota besar lainnya di Jawa maupun luar Jawa membawa dampak positif. 

Mayoritas pedagang soto mendapatkan rezeki ekonomi yang melimpah. Dari jam buka habis Maghrib hingga dini hari, mereka bisa mengumpulkan penghasilan harian yang cukup lumayan. Kalau lagi ramai, ada pedagang yang bisa menghasilkan keuntungan bersih Rp. 500.000 hingga Rp. 1.000.000.

Salah satu etos kerja yang cukup baik adalah memperbanyak warung ketika penjual soto dan pecel lele memiliki cukup modal. 

Di warung-warung baru mereka mempekerjakan anak-anak muda yang tidak melanjutkan sekolah SMA atau kuliah. Biasanya mereka akan dilatih terlebih dahulu sebelum disuruh mengelola warung secara mandiri.

Keberhasilan ekonomi para pedagang soto dan pecel lele Lamongan ini ikut mengubah wajah banyak dusun di Lamongan. Di dusun tempat orang tua saya tinggal, banyak rumah tembok bergaya kota dibangun. Rumah-rumah itu cukup megah dan luas. 

Kalau dihitung secara rupiah, pastilah habis ratusan juta. Kemegahan rumah-rumah tersebut merupakan bukti fisik betapa usaha berjualan soto dan pecel lele bisa benar-benar mensejahterakan para pedagangnya. 

Meskipun banyak dihuni orang tua para pedagang soto karena mereka biasanya pulang waktu Lebaran atau hari-hari besar nasional, rumah-rumah tersebut menandakan keberhasilan secara ekonomi dari kaum muda yang dulunya berasal dari kelas bawah.

Pada setiap Lebaran, di rumah-rumah tersebut terparkir mobil-mobil buatan Jepang, seperti Inova Reborn, Yaris, Avanza, Jazz, BRV, HRV, Mobilio, CRV, Xpander, dan yang lain. 

Kalau dulu kawan-kawan saya hanya bisa berkhayal memiliki mobil sebelum tidur di kandang sapi, saat ini, khayalan itu menjadi kenyataan. Bersama-sama dengan rumah megah, keberadaan mobil tersebut menjadi penanda kesuksesan dan kemakmuran hidup para penjual soto dan pecel lele.

Lebih dari itu, keberhasilan dan kekayaan para pedagang soto juga mengubah struktur kelas sosial dalam masyarakat. Kalau kelas sosial ditentukan secara ekonomi, maka, struktur masa lalu yang berdasarkan kepemilikan tanah mulai berubah. 

Para pemilik tanah yang dulunya merupakan orang kaya dengan posisi elit, sekarang secara ekonomis kalah kaya dibandingkan para penjual soto. Bahkan, para penjual soto banyak membeli sawah dari orang-orang yang dulu kaya.

Pembalikan kelas sosial ini menjadi realitas yang membuktikan bahwa perjuangan dan perubahan kelas bisa terjadi ketika kaum muda dusun berani membuat pilihan strategis. Mereka yang tidak memiliki sawah bisa menduduki posisi kelas atas ketika secara ekonomi mampu. 

Keberhasilan ekonomi dari berjualan soto dan pecel lele menjadi dasar untuk mengubah struktur sosial di dusun, meskipun para penjual tidak pernah memperdulikannya. Apa yang penting bagi mereka adalah sejahtera secara ekonomi dan bisa membawa kebahagiaan itu ke keluarga di dusun.

Beberapa kawan sepermainan yang penghasilannya lumayan besar pun berinvestasi di sektor lain yang menjanjikan. 

Seorang kawan, misalnya, membuat rumah toko (ruko) dekat jalan raya yang sebagian disewakan untuk tempat usaha. Dari uang sewa tersebut ia mendapatkan penghasilan yang memperbesar pundi-pundi rezekinya. 

Ada juga juga yang berinvestasi dengan membuat tempat kos atau kontrakan di Jakarta. Perluasan ragam usaha ini menunjukkan kecerdasaan para penjual soto dan pecel lele dalam memanfaatkan kekayaan ekonomi dengan membaca peluang. Meskipun tidak mengenyam pendidikan ekonomi secara formal, pengalaman di rantau telah mengajari mereka banyak hal.

Selain memperbesar kekayaan, para penjual soto dan pecel lele tidak lupa terlibat dalam kegiatan-kegiatan keagamaan, sosial, dan budaya. Mereka, misalnya, tidak lupa memberikan sodaqoh untuk pembangunan masjid di dusun. 

Sudah menjadi tradisi banyak warga dusun di Lamongan untuk membangun masjid tanpa meminta sumbangan di jalan raya. Mereka memilih gotong-royong dengan bersodaqoh sesuai kemampuan. Para penjual soto yang juga menjadi bagian dari dusun tidak lupa ikut berkontribusi.

Setahun sekali, banyak laki-laki penjual soto dan pecel lele yang ikut meramaikan perhelatan nyadran, ritual bersih desa, khususnya dalam gelaran pertunjukan tayub, tari pergaulan yang cukup popular di Lamongan. Selain ikut menyumbang biaya untuk menggelar pertunjukan tayub, mereka juga ikut menari. 

Mereka menyiapkan uang cukup banyak untuk ikut nyawer para tandak, penari tayub, serta menikmati minuman beralkohol. Dalam ungkapan mereka, "tayuban adalah saat refreshing setelah setahun berjualan soto dan pecel." Maka, mereka akan berusaha keras untuk pulang ketika ada ritual nyadran. 

Komitmen mereka dalam bidang keagamaan dan kebudayaan tidak perlu dipertentangkan secara kontradiktif. Hal-hal yang bersifat keagamaan merupakan dimensi ketuhanan yang harus dirawat dengan bermacam keyakinan dan praktik, seperti sodaqoh. 

Sementara, kebudayaan merupakan bahasa sosial yang selalu mengikat mereka dengan ruang dusun, sekaya apapun mereka di kota, serta ruang rekreatif yang sekaligus memelihara identitas komunal.  

Begitulah, kawan-kawan sepermainan saya, para penjual soto dan pecel lele, adalah para wirausahawan yang berhasil mengubah nasib mereka. Perjumpaan saya dengan mereka biasanya berlangsung selama Lebaran. 

Pada perjumpaan itulah kami akan bercanda dan berbincang secara terbuka sebagai sama-sama anak dusun yang pernah merasakan kemiskinan, yang sama-sama pernah bermimpi ingin menjadi manusia modern dan kaya, yang sama-sama ingin terus menghayati kehidupan dusun dan segala dinamika perubahannya. 

Dan, kawan-kawan sepermainan saya menjadi subjek yang mampu mengubah wajah-wajah dusun di Lamongan, baik secara sosial, ekonomi, maupun kultural.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun