Pembalikan kelas sosial ini menjadi realitas yang membuktikan bahwa perjuangan dan perubahan kelas bisa terjadi ketika kaum muda dusun berani membuat pilihan strategis. Mereka yang tidak memiliki sawah bisa menduduki posisi kelas atas ketika secara ekonomi mampu.Â
Keberhasilan ekonomi dari berjualan soto dan pecel lele menjadi dasar untuk mengubah struktur sosial di dusun, meskipun para penjual tidak pernah memperdulikannya. Apa yang penting bagi mereka adalah sejahtera secara ekonomi dan bisa membawa kebahagiaan itu ke keluarga di dusun.
Beberapa kawan sepermainan yang penghasilannya lumayan besar pun berinvestasi di sektor lain yang menjanjikan.Â
Seorang kawan, misalnya, membuat rumah toko (ruko) dekat jalan raya yang sebagian disewakan untuk tempat usaha. Dari uang sewa tersebut ia mendapatkan penghasilan yang memperbesar pundi-pundi rezekinya.Â
Ada juga juga yang berinvestasi dengan membuat tempat kos atau kontrakan di Jakarta. Perluasan ragam usaha ini menunjukkan kecerdasaan para penjual soto dan pecel lele dalam memanfaatkan kekayaan ekonomi dengan membaca peluang. Meskipun tidak mengenyam pendidikan ekonomi secara formal, pengalaman di rantau telah mengajari mereka banyak hal.
Selain memperbesar kekayaan, para penjual soto dan pecel lele tidak lupa terlibat dalam kegiatan-kegiatan keagamaan, sosial, dan budaya. Mereka, misalnya, tidak lupa memberikan sodaqoh untuk pembangunan masjid di dusun.Â
Sudah menjadi tradisi banyak warga dusun di Lamongan untuk membangun masjid tanpa meminta sumbangan di jalan raya. Mereka memilih gotong-royong dengan bersodaqoh sesuai kemampuan. Para penjual soto yang juga menjadi bagian dari dusun tidak lupa ikut berkontribusi.
Setahun sekali, banyak laki-laki penjual soto dan pecel lele yang ikut meramaikan perhelatan nyadran, ritual bersih desa, khususnya dalam gelaran pertunjukan tayub, tari pergaulan yang cukup popular di Lamongan. Selain ikut menyumbang biaya untuk menggelar pertunjukan tayub, mereka juga ikut menari.Â
Mereka menyiapkan uang cukup banyak untuk ikut nyawer para tandak, penari tayub, serta menikmati minuman beralkohol. Dalam ungkapan mereka, "tayuban adalah saat refreshing setelah setahun berjualan soto dan pecel." Maka, mereka akan berusaha keras untuk pulang ketika ada ritual nyadran.Â
Komitmen mereka dalam bidang keagamaan dan kebudayaan tidak perlu dipertentangkan secara kontradiktif. Hal-hal yang bersifat keagamaan merupakan dimensi ketuhanan yang harus dirawat dengan bermacam keyakinan dan praktik, seperti sodaqoh.Â
Sementara, kebudayaan merupakan bahasa sosial yang selalu mengikat mereka dengan ruang dusun, sekaya apapun mereka di kota, serta ruang rekreatif yang sekaligus memelihara identitas komunal. Â