Tahun 2006, sebagai dosen muda di Fakultas Sastra Universitas Jember (kini Fakultas Ilmu Budaya), saya berkesempatan melakukan penelitian lapangan di Desa Wonokerso, Kecamatan Sumber, Probolinggo; sebuah desa yang terletak di sebelah timur Gunung Bromo. Di desa ini bertempat tinggal warga Tengger yang mayoritas beragama Hindu dan sebagian kecil beragama Islam.Â
Fokus penelitian waktu adalah kehidupan perempuan Tengger. Namun demikian, dalam proses penelitian saya juga menemukan data-data penting terkait pengaruh modernitas, seperti pertanian komersial, yang berlangsung dalam kehidupan mereka.Â
Data-data itulah yang saya analisis dan menjadi sebuah artikel dan diterbitkan di Jurnal Kultur Lembaga Penelitian Universitas Jember. Tulisan berikut saya kembangkan dari artikel di jurnal tersebut. Semoga bermanfaat.Â
Tengger yang Bertransformasi: Pengantar
Dalam ranah akademis, masyarakat Tengger seringkali dideskripsikan sebagai komunitas yang masih kukuh dalam melestarikan tradisi leluhur, baik dalam hal religi maupun adat-istiadat. Sutarto (2001; 2003a; 2003b) menjabarkan bagaimana wong Tengger menjalani kehidupan berbasis ajaran moralitas, religi, serta praktik ritual yang bersumber pada warisan leluhur dan disosialisasikan secara ajeg oleh para dhukun pandita, pemimpin adat dan religi.Â
Dalam konteks tersebut, masyarakat Tengger menempati posisi cukup unik dalam ranah kajian budaya karena di tengah-tengah perubahan masyarakat Jawa menuju kultur modern dan Islam yang banyak meninggalkan kearifan lokal, mereka masih mampu menghargai dan melanjutkan keyakinan tradisi yang dianggap sebagai paugeran dalam menjalani kehidupan sehari-hari.Â
Masyarakat Tengger, dengan demikian, merupakan gambaran bagaimana usaha pemertahanan tradisi lokal di tengah-tengah wacana dan praktik kultural yang mengarah pada tradisi asing yang dianggap lebih maju.
Namun, kemajuan ekonomi yang disebabkan oleh perubahan kerja ekonomi-produksi dalam bidang pertanian (dalam hal ini sayur-mayur), secara langsung juga membawa implikasi berupa perubahan sosio-kutlural dalam kehidupan masyarakat. Sebelum menjadi petani komersil, wong Tengger adalah petani subsisten yang lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok untuk meneruskan kehidupan dengan menanam jagung.Â
Perubahan jenis tanaman dan pola tanam yang diperkenalkan oleh Belanda mulai abad ke-19 dan diintensifkan lagi dengan revolusi hijau di masa Orde Baru dengan keuntungan berlimpah telah membawa pengaruh cukup signifikan dalam konstruksi dan struktur sosial serta gaya hidup wong Tengger. Hefner (1999: 187-264), menggunakan perspektif ekonomi-politik dan analisis sejarah interpretif dalam penelitiannya di Kecamatan Tosari Pasuruan pada 1970-an, mencatat beberapa perubahan mencolok dalam kehidupan sosio-kultural Tengger.
Pertama, sebagaimana terjadi pada wilayah-wilayah pertanian di dataran rendah, di wilayah Tengger juga berlangsung perubahan dalam hal tenaga kerja pertanian.
Sebelum memasuki era pertanian komersial, masyarakat Tengger mengenal beberapa pola tenaga kerja seperti kroyokan (pola tenaga kerja dari kerabat dekat), gentenan (pola tenaga kerja berkelompok yang menuntut balasan setimpal dari kerja yang sudah dilakukan), dan rewang (pola tenaga kerja yang melibatkan kerabat jauh dari generasi yang sama dan tanpa menuntut balasan).Â
Ketika pertanian modern berkembang, tenaga kerja upahan (kuli bulanan dan kuli tetap) menjadi pilihan untuk lebih mengefektifkan kerja dibandingkan dengan hitungan pada pola tradisional.
Berubahnya pola tenaga kerja tersebut tidak serta-merta mengarah pada tradisi patron-klien, tetapi tetap mengedepankan semangat persamaan sesama wong Tengger yang tidak patut diperbincangkan berdasarkan kaya dan miskin.
Kedua, berkembangnya masyarakat konsumsi. Konsumsi dalam masyarakat Tengger lebih terkait dengan mobilisasi dan penggunaan kebutuhan rumah tangga dan benda-benda modern (dari pakaian, kendaraan, alat elektronik, dan lain-lain).Â
Sebagai akibat komersialisasi pertanian, kemajuan ekonomi memang berakibat pada pembelian benda-benda yang menunjukkan kemodernan sebagaimana terlihat pada kehidupan masyarakat dataran rendah.Â
Wong Tengger, jelas, tidak bisa menolak keberadaan benda-benda tersebut dalam kehidupan mereka, apalagi dengan semakin baiknya jalan dan alat transportasi yang memungkinkan mereka untuk berbelanja ke pasar di wilayah yang lebih bawah ataupun kota.Â
Hal ini berbeda jauh dengan keyakinan mereka sebelumnya untuk menolak benda atau budaya yang berasal dari wilayah ngare (bawah) yang dianggap bisa merusak ketentraman dan keharmonisan sosio-kultural. Meskipun demikian, dalam kehidupan sehari-hari keluarga yang lebih kaya tetap tidak ingin menunjukkan kemewahan konsumsi yang dijalani, karena hal itu dianggap tabu oleh tradisi Tengger.
Wong Tengger, sebagaimana masyarakat Jawa lainnya, memang mengalami perubahan signifikan dalam hal ekonomi, konsumsi, dan gaya hidup sebagai akibat komersialisasi pertanian dan persinggungan dengan budaya di luar Tengger. Namun, perubahan tersebut tidak serta-merta melepaskan 'baju tradisi' yang sudah diyakini selama ini sehingga akan lebih tepat kalau masyarakat Tengger saat ini disebut sebagai "masyarakat yang sedang bertransformasi".Â
Dalam konteks transformasi akan bisa dilihat bagaimana masyarakat Tengger memaknai dan merekonstruksi kedirian dan tradisi mereka di dalam ruang ketiga (third space) yang mempertemukan aspek kerja pertanian komersil dan aspek ketradisian.Â
Tulisan ini merupakan analisis deskriptif-interpretatif terhadap pertemuan keyakinan tradisi sebagai ideologi kultural dan praktik kerja pertanian komersil dalam konteks masyarakat Tengger poskolonial yang mewarisi nilai dan praktik tradisi sekaligus mengambil nilai dan praktik modern yang ditawarkan oleh kolonial dan berlanjut hingga saat ini dalam desain pembangunan nasional.
Wong Tengger di Ruang Antara
Apa yang terjadi dengan kehidupan wong Tengger hari ini tentu tidak bisa dilepaskan dari proses dan transformasi historis yang berlangsung dari masa awal perkembangan, kolonial, hingga pascakolonial.
Sebagai sebuah proses historis yang melampaui bermacam zaman dan pandangan dunianya, tradisi kultural yang direpresentasikan dalam religi dan praktik kehidupan sehari-hari bisa diasumsikan menjadi ruang silang-pertemuan bermacam wacana dan praktik sosio-kultural, baik yang berasal dari warisan nenek moyang maupun dari jagat luar. Pilihan untuk menjalani kerja ekonomi-produktif pertanian menandakan kontekstualisasi dari asumsi tersebut.Â
Ekonomi pertanian komersial yang diperkenalkan oleh pihak kolonial sejak abad ke-19, bagaimanapun juga, merupakan bukti bahwa wong Tengger sejak dulu mampu melakukan proses kolaborasi dan adaptasi dalam sebuah ruang sosio-kultural yang diwarnai dengan peniruan dan hibridasi.
Dalam konteks masyarakat pascakolonial, apa yang dilakoni wong Tengger memang menunjukkan bagaimana pengaruh wacana dan praktik dari subjek penjajah (the colonizer) terhadap praktik hidup subjek terjajah (the colonized).Â
Praktik pertanian komersial yang menjadi trend pada masyarakat di dataran rendah dianggap mampu memberikan keuntungan secara ekonomis yang lebih besar dibandingkan pola pertanian subsisten jagung.Â
Pihak kolonial sendiri, semisal dalam kasus di wilayah Tosari Pasuruan (Hefner, 1999: 105), menetapkan kebijakan untuk memaksimalkan potensi pertanian dengan memperkenal tanaman sayur-mayur seperti kentang, wortel, maupun kubis di lereng pegunungan atas guna memenuhi kebutuhan warga Eropa dan Tionghoa.Â
Kebijakan tersebut ditopang dengan pembuatan jalan-jalan baru untuk semakin mempermudah akses menuju wilayah Tengger. Keberhasilan secara ekonomis dari praktik pertanian yang semakin mengintensifkan relasi wong Tengger dengan pihak penjajah dan masyarakat di dataran rendah tidak berhenti hanya pada kepuasan materi.Â
Praktik kultural ikut terkena implikasi dari proses ekonomi tersebut. Rumah-rumah kayu khas Tengger mulai digantikan dengan rumah tembok yang pada awalnya diperkenalkan oleh pihak kolonial dan berlangsung hingga saat ini. Namun, di balik proses mimikri tersebut, wong Tengger masih menyimpan satu kekuatan tradisi yang dimainkan dalam ruang persilangan.
Ruang persilangan ini oleh Bhabha (1994) disebut "ruang ketiga" (the third space) atau "ruang antara" (in-between space). Dalam pandangan Bhabha, ruang antara menyediakan (1) medan untuk mengelaborasi strategi kedirian baik tunggal maupun komunal yang memunculkan tanda-tanda baru identitas dan (2) situs inovatif untuk kolaborasi dan kontestasi dalam usaha untuk mendefinisikan ide kemasyarakatan itu sendiri.Â
Pihak terjajah melakukan artikulasi dan negosiasi budaya yang dimiliki oleh pihak penjajah dari perspektif mereka sehingga terjadi keterikatan kultural (cultural engagement) yang dikerangkai melalui perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka.Â
Kondisi negosiasi dan artikulasi ini memungkinkan terjadinya hibriditas (hibridity) yang ditandai dengan munculnya mimikri oleh pihak terjajah sehingga mereka seolah-olah masuk ke dalam lingkaran kuasa kolonial sehingga batas antara tradisi lokal dan tradisi modern menjadi kabur dalam keterikatan hibrid tersebut.
Apa yang harus dicatat adalah bahwa proses mimikri yang menghasilkan hibridasi kultural ini memiliki fungsi politis bagi pihak penjajah dan terjajah. Bagi pihak penjajah kesediaan pihak terjajah untuk meniru budaya mereka dianggap sebagai keberhasilan untuk melakukan penaklukan secara kultural sehingga penaklukan lain yang lebih berwarna ekonomi-politik bisa dengan mudah dicapai.Â
Alih-alih menaklukkan, mimikri sebenarnya menjadi arena bagi pihak terjajah untuk menjalankan "strategi bunglon" karena pihak terjajah tidak sepenuhnya meniru tetapi sekaligus mengejek (mockery) dengan kesadaran yang tetap berbasis tradisi lokal sehingga mereka tidak bisa dikuasai sepenuhnya oleh penjajah.Â
Artinya, mereka memang meniru, tetapi peniruan tersebut sekaligus menjadi perlawanan terhadap kesempurnaan kuasa wacana dan praktik kolonial karena apa-apa yang mereka miliki, yang pada kenyataannya berbeda dengan yang ada di masyarakat setempat, mampu diadopsi demi kepentingan pihak terjajah itu sendiri.Â
Fungsi pengawasan yang diharapkan berhasil oleh kolonial, ternyata bisa diganggu dengan peniruan yang hampir sama tetapi tidak sepenuhnya sama yang dirayakan oleh pihak terjajah secara kreatif. Seperti diungkapkan Foucault (1988: 95-96), bahwa akan selalu muncul resistensi di tengah-tengah kuasa yang dibangun secara diskursif. Hal itu bisa terjadi ketika subjek-subjek yang dikuasai secara diskursif mampu membangun strategi dan kreativitas yang bisa mendefinisikan dan mendekonstruksi kembali kuasa tersebut secara simultan dan mobile.
Dari proses inilah identitas dan budaya lokal yang masih dijalani masyarakat partikular hingga saat ini terbentuk; sebuah persilangan terus-menerus bernuansa negosiasi, rekonstruksi, dan resistensi yang ajeg dan transformatif dari masa kolonial hingga poskolonial (Ashcroft, Griffiths, Tiffin, 1995: 2).Â
Dengan demikian, membicarakan identitas kultural tentu tidak bisa hanya berpijak pada kekakuan stereotipisasi karena semua itu merupakan "proses yang terus menjadi" (process of being) yang ditandai dengan fragmentasi kode-kode, pluralisasi, dan persilangan wacana dan praktik kultural (Hall, 1992).Â
Lebih-lebih pada era globalisasi saat ini di mana segala yang berbau asing seakan sudah menjadi 'anggota keluarga sendiri' pada sebuah masyarakat lokal (Steger, 2006), tradisi bukan lagi menjadi praktik dan wacana yang selamanya diposisikan secara stereotip karena ragam kultural tentu akan semakin banyak mengisi imajinasi dan realitas sehingga sangat mungkin akan muncul pluralisasi kultural yang diwarnai kontestasi produk "budaya glokal" (hibridari budaya global dan lokal) terhadap budaya global mainstream (Robertson, 1995).
Penjelasan di atas tidak untuk menunjukkan bahwa masyarakat lokal telah kehilangan sepenuhnya identitas dan orientasi kultural yang diyakini selama ini.Â
Permasalahannya adalah sejauh mana masyarakat lokal mampu mengendalikan permainan diskursif dalam peniruan dan hibridasi dengan budaya asing, baik yang berasal dari era kolonial maupun poskolonial atau global saat ini. Ketika mereka secara kreatif menyadari proses tersebut, maka masyarakat lokal tentu akan mampu mempertahankan pola dan bentuk kultural lokalnya sesuai dengan perkembangan jaman tanpa harus menolak kehadiran "sesuatu yang baru", seperti yang terlihat dalam kasus kesenian populer Using, Banyuwangi (Setiawan, 2007).Â
Sebaliknya, ketika mereka hanya larut dalam nyanyian budaya asing, maka masyarakat tentu hanya memiliki budaya lokal secara simbolis tanpa bisa mengembangkannya dan masuk tanpa bisa merasakan ke dalam kuasa hegemoni kekuatan-kekuatan asing yang terus bertransformasi dalam produk-produk budaya (pos) modern.
Kekuatan tradisi lokal, meskipun sudah bertransformasi dalam ruang ketiga pascakolonial, akan tetap dijalani dalam praktik hidup sehari-hari ketika sudah menjadi ideologi dan diyakini oleh masyarakat pelakunya. Ideologi dalam konteks kuasa memang cenderung melayani kepentingan hegemonik kelas pengarah (the leading class) dengan politik representasi yang terus menyebar sehingga menjadi kesadaran dan praktik konsensual bagi kelas-kelas lain dalam masyarakat (Boggs, 1984; Gramsci, 1981; Laclau & Mouffe, 1981; Thompson, 1984).Â
Ideologi dalam konteks tulisan ini bukanlah nilai dan ide yang bersifat utopis-deterministik, tetapi lebih sebagai kerangka bagi kognisi sosial, menyebar dan dijalani oleh anggota kelompok sosial, dibentuk oleh seleksi-seleksi relevan dari nilai sosio-kultural, dan diorganisir dengan skema ideologis yang merepresentasikan definisi-diri dari kelompok tersebut.Â
Di samping fungsi sosialnya untuk menjalankan kepentingan-kepentingan kelompok, ideologi juga mempunyai fungsi kognisi untuk mengorganisir representasi sosial (sikap, pengetahuan) dari kelompok, sehingga secara tidak langsung mengawasi praktik-praktik sosial yang berkaitan dengan kelompok, dan juga teks serta pembicaraan dari masing-masing anggotanya (Althusser, 1971: 162-177; Hall, 1982: 71, 1997: 26; van Dijk: 1995: 284).
Tradisi lokal bagi masyarakat pascakolonial merupakan kekuatan ideologis yang akan menuntun mereka untuk memilih bentuk, norma, dan praktik tradisi yang dipertahankan dalam ruang ketiga, meskipun mereka juga melihat, meniru, dan mengadaptasi tradisi-tradisi baru yang berasal dari luar. Sekilas, masyarakat poskolonial, memang tampak tidak bisa mempertahankan kemurnian tradisi mereka. Namun, apakah identitas ataupun yang benar-benar murni dalam konteks dan kondisi terkini?Â
Masyarakat poskolonial adalah masyarakat yang mempunyai mekanisme untuk selalu "melihat ke dalam" sekaligus "mengidealkan" praktik dan wacana yang diasumsikan lebih modern, misalnya, karena begitu kuatnya pengaruh kolonial yang bertransformasi hingga masa kolonial, sehingga mereka sebenarnya tidak sepenuhnya berada dalam kuasa wacana dan praktik tersebut atau bahkan melawannya dengan cara-cara peniruan sekaligus pengejekan di ruang ketiga hibriditas (Faruk, 2007: 14-15).Â
Pun demikian dengan masyarakat Tengger. Mereka memang tidak bisa menolak modernitas yang diperkenalkan oleh pihak kolonial dan berlangsung hingga sekarang sebagai akibat dari revolusi hijau berupa intensifikasi sayur-mayur, namun mereka justru mampu menggunakan semua itu sebagai sebuah motivasi ideologis baru untuk terus meyakini dan menjalani praktik tradisi yang mereka warisi dari para leluhur; sebuah percumbuan di ruang antara.
Setya Laksana: Tradisi yang Membutuhkan Kesiapan Ekonomi
Masyarakat Tengger memang terkenal dengan beragam kearifan tradisi yang masih diyakini dan dijalani hingga saat ini. Mereka adalah masyarakat yang taat membayar pajak, baik mereka yang tinggal di wilayah Probolinggo, Malang, Pasuruan, maupun Lumajang. Mereka juga dikenal sebagai masyarakat yang tidak pernah mau mencuri milik orang lain sehingga wilayah Tengger mendapat julukan zero crime zone.Â
Di samping itu, masyarakat Tengger juga masih setia menjalani ritual seperti Kasada (ritual tahunan berupa persembahan hasil bumi dan ternak ke kawah Bromo), Entas-entas (ritual kematian, seperti ritual 1000 hari dalam tradisi Islam), Unan-unan (semacam ritual  bersih desa), dan lain-lain. Praktik tradisi dalam lingkup sosial tersebut memang lebih banyak berasal dari ajaran turun-temurun, namun, nyatannya mampu memberikan pengaruh positif bagi wong Tengger.
Dalam ranah keluarga, wong Tengger juga mempunyai kearifan tradisi yang disebut setya laksana (Sutarto, 2003a). Dalam pandangan ideologis masyarakat Tengger, seorang suami dan istri dalam sebuah keluarga, sudah seharusnya mau dan mampu dalam menjalankan kesetiaan untuk mewujudkan setya laksana berupa walima yang berisi wareg (cukup makan), waras (sehat jasmani), wastra (cukup sandang), wasis (cukup ilmu pengetahuan), dan wisma (mempunyai tempat tinggal yang layak). Kearifan tersebut tentu sudah bertransformasi karena perkembangan zaman yang sangat dinamis.Â
Bagi wong Tengger sebelum zaman kolonial, untuk mencapai tahapan wareg, misalnya, mereka mungkin cukup menanam jagung atau talas untuk menghilangkan rasa lapar. Namun, saat ini, jagung dan talas sudah tidak banyak dikonsumsi sebagai makanan pokok dan digantikan oleh beras. Apa yang menarik dicermati dari konsep walima tersebut adalah dibutuhkannya kesiapan secara ekonomis untuk mewujudkan kelima orientasi ideologis tersebut.
Kesiapan secara ekonomis inilah yang membutuhkan kerja keras bagi keluarga-keluarga Tengger. Tidak hanya para suami sebagai kepala keluarga, para istri juga mempunyai tanggung jawab yang sama untuk mewujudkan walima dalam keluarga mereka sehingga tidak mengherankan kalau dari pagi hingga petang banyak perempuan Tengger yang ikut bekerja di ladang; dari mencangkul lahan, menanam, ngubat (menyemprotkan pestisida), hingga memanen.Â
Semua itu dilakukan demi mendapatkan hasil panen sayur-mayur yang melimpah sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup, baik yang berkaitan dengan pangan, sandang, papan, ilmu, hingga kesehatan.Â
Pertanian komersil sayur-mayur yang menuntut kerja ekonomi produksi modern, dengan demikian, mampu menjadi alat untuk mewujudkan impian-impian kebaikan dan kesejahteraan bagi keluarga Tengger.Â
Praktik pertanian yang dulunya oleh pemerintah kolonial digunakan untuk sekedar memenuhi kebutuhan mereka dan penduduk asing lain, seperti China dan Arab, ternyata bisa dimaknai kembali oleh wong Tengger untuk kepentingan ekonomi yang secara ideologis berlandaskan pada kearifan tradisi mereka sendiri.Â
Intensifikasi pertanian dengan pengguanaan pupuk dan bibit-bibit unggul sebagai bagian revolusi hijau rezim Orba untuk memenuhi ambisi politik pangan demi terciptanya stabilitas nasional dan percepatan pertumbuhan ekonomi, bagi wong Tengger tidak menjadi strategi diskursif penaklukan oleh negara, tetapi digunakan untuk mengoptimalkan penghasilan finansial mereka demi memantapkan kekuatan ekonomi keluarga yang akan berpengaruh pada pencapaian-pencapaian maksimal setya laksana. Â
Ambivalensi memang terjadi dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Tengger. Mereka saat ini bukan lagi orang-orang gunung yang cukup tinggal di rumah berbahan kayu cemara gunung. Rumah tembok menghiasi lanskap pegunungan seperti sebuah mozaik yang menempel pada sebuah kertas.Â
Ketika masuk ke rumah Pak Kades Wonokerso pertama kali, saya merasa seperti masuk ke dalam rumah orang kota. Televisi, almari, sofa, lantai keramik maupun pernik-pernik hiasan dinding tertata dengan rapi, tidak mengesankan sama sekali sebagai rumah orang desa.Â
Semua gambaran tentang wong Tengger yang sederhana, sejenak sirna ketika melihat keberadaan perabot-perabot itu. Menurut Bu Srimulat, istri Kades Wonokerso, semua perabot itu tidak dihasilkan dari jabatan suaminya sebagai seorang Kades, melainkan dari hasil panen kentang dan wortel yang melimpah dengan harga jual yang lumayan sebagai imbalan dari kerja keras mereka berdua di ladang.Â
Meskipun demikian, di ruang tengah tetap disediakan tungku sebagai penghangat percakapan yang berlangsung dengan para tamu Pak Kades, karena hawa dingin pegunungan Tengger tentu tidak bisa diusir dengan kompor minyak tanah ataupun kompor gas.
Apa yang terlihat dari rumah Pak Kades Wonokerso, merupakan penanda yang menunjukkan bahwa rumah ala orang kota telah menjadi orientasi kultural baru bagi wong Tengger ketika mereka berusaha mewujudkan konsepsi wisma yang ideal.Â
Rumah modern yang dulu hanya bisa dinikmati oleh orang-orang kota kaya, ternyata telah menjadi ruang hunian keseharian bagi keluarga Tengger dengan adanya revolusi hijau dan kerja keras di ladang.Â
Memang tidak semua keluarga Tengger Wonokerso bisa menikmati fasilitas seperti yang terdapat di rumah Pak Kades, minimal, rumah mereka yang berstatus ekonomi rendah maupun menengah tetap terbuat dari tembok, dan sangat sedikit yang terbuat dari kayu.Â
Namun, apa yang harus diperhatikan dari realitas tersebut adalah adanya transformasi ideologis dari konsep wisma. Wong Tengger yang semakin sering melihat praktik diskursif modernitas dari pemaknaan sebuah rumah di wilayah bawah, kota, maupun televisi, berusaha meniru dan mengaplikasikan dalam bangunan rumah mereka, tetapi tidak sepenuhnya sama, karena mereka masih mempertahankan karakteristik lama dari sebuah rumah; tungku di dapur maupun ruang tamu untuk menghangatkan tubuh.Â
Peniruan ini, sekali lagi, bukan berarti mereka telah kehilangan tradisi dalam konteks rumah, tetapi lebih menunjukkan proses transformasi ideologis kultural yang dipengaruhi oleh kemajuan ekonomi sebagai akibat kerja ekonomi produksi di ladang sayur-mayur.
Hal serupa juga terjadi dalam konsep wasis. Pencarian ilmu pengetahuan dalam pandangan tradisional Tengger merupakan satu kebutuhan mutlak. Pada zaman dulu masih sangat jarang orang yang menempuh pendidikan formal karena faktor ekonomi dan transportasi. Hanya para dukunlah yang dianggap berilmu lebih karena mereka belajar ilmu tentang ritual maupun mantra. Â
Bagi keluarga biasa, pendidikan anak lebih banyak dilakukan oleh ibu, meskipun hanya sebatas cara berperilaku dalam kehidupan sosial serta wejangan-wejangan lain terkait adat-istiadat, sembari masak di dapur (Wawancara, Bu Supiarsih, 2 Juni 2006).Â
Selebihnya, anak-anak akan memperoleh ilmu tentang tradisi dari praktik peribadatan maupun ritual yang mereka ikuti. Semua berubah ketika para petani Tengger Wonokerso mulai menanam sayur-mayur yang memberikan peningkatan dalam segi finansial sehingga para orang tua mau dan mampu Pak Soeradjad, mantan Kades Wonokerso, menuturkan:
"Dulu ketika saya masih duduk di SR (Sekolah Rakyat), jalan menuju Sumber masih makadam dan licin kalau musim hujan. Kalau mau ke Sumber ya harus naik kuda sehingga waktu yang dibutuhkan lama. Waktu jalan masih jelek, penduduk di sini masih jarang yang menanam sayur, ya, karena jalannya jelek itu, sehingga tidak ada pedagang yang mau ke sini karena butuh biaya banyak untuk truknya. Baru pada tahun 90-an ketika jalan mulai diaspal, banyak orang sini yang menanam sayur, terutama kentang, kubis, dan wortel. Nah, setelah itu tingkat ekonomi warga menjadi lebih baik. Mulailah mereka mengganti rumah kayu dengan rumah tembok. Kendaraan bermotor jadi lebih banyak. Anak-anak semakin banyak yang sekolah SMP dan SMA, baik di Sumber maupun Probolinggo."Â
Wasis bagi wong Tengger merupakan sebuah upaya untuk bisa bertahan di tengah-tengah perkembangan zaman. Memang tidak semua anak-anak Wonokerso melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi, namun ada beberapa dari mereka yang kuliah, termasuk dua anak Pak Soeradjad.Â
Anak laki-lakinya memperoleh gelar Sarjana Teknik dari Universitas Brawijaya Malang. Sementara anak perempuannya mendapatkan gelar Ahli Madya dari Program Studi D-III Bahasa Inggris Universitas Jember.Â
Bu Srimulat juga menjelaskan bahwa kelak kalau anak pertamanya sudah lulus SMA di Probolinggo, ia ingin menguliahkannya di perguruan tinggi negeri karena menurutnya dengan pendidikan yang baik, sang anak akan bebas untuk memilih masa depannya; apakah kembali ke Tengger atau hidup di kota.Â
Orientasi ideologis untuk menyekolahkan anak setinggi-tingginya juga dilontarkan Bu Anik (bukan nama sebenarnya), seorang single parent yang menggugat cerai suaminya karena telah melakukan perbuatan yang mempermalukan keluarganya.Â
Bu Anik sangat ingin menguliahkan anak semata wayangnya yang kini duduk di bangku SMA karena ia mempunyai kekuatan ekonomi dengan ladang dari warisan orang tuanya yang selalu menghasilkan rejeki melimpah ketika panen.Â
Pendidikan modern memang telah menjadi wacana ideologis dominan bagi masyarakat Tengger Wonokerso dan juga masyarakat Tengger di wilayah lain, namun mereka tetap tidak melupakan pendidikan tradisi yang bisa diperoleh anak-anaknya dengan terlibat dalam ritual maupun wejangan-wejangan orang tua, terutama ibu.
Panen Melimpah, Slametan Meriah
Slametan dalam tradisi masyarakat Tengger sudah menjadi kewajiban yang harus dijalankan berdasarkan siklus kehidupan manusia; dari lahir hingga mati. Meskipun demikian, terdapat beberapa slametan yang bersifat besar dalam kategori pelaksanaannya, yakni Kasada, Entas-entas, Unan-unan, dan Karo.Â
Di antara slametan tersebut, Entas-entas merupakan ritual yang membutuhkan paling banyak. Entas-entas merupakan upacara terakhir kematian bagi wong Tengger. Tidak seperti pemeluk Hindu di Bali yang melaksanakan ngaben, wong Tengger melakukan ritual yang berbeda, meskipun maksudnya sama.Â
Jasad wong Tengger yang meninggal tetap dikubur dengan kepala menghadap ke arah Gunung Bromo. Adapun yang dibakar adalah boneka yang terbuat dari tumbuhan semak dan batang pepohonan. Boneka ini mewakili jasad orang yang sudah meninggal.Â
Pelaksanaan ritual ini biasanya dilaksanakan beberapa tahun setelah jasad dikubur. Alasan utamanya jelas faktor ekonomi karena ritual ini membutuhkan biaya yang lumayan banyak sehingga pihak keluarga membutuhkan waktu untuk menabung terlebih dahulu mengingat harga barang-barang yang harus dipersiapkan untuk pelaksanaan ritual.Â
Banyaknya biaya yang dibutuhkan biasanya disiasati dengan pelaksanaan Entas-entas secara bersamaan oleh beberapa keluarga yang masih mempunyai hubungan kerabat sehingga ada beberapa arwah yang dientas dalam satu kali ritual.
Sewaktu mengikuti ritual Entas-entas pada bulan Juli 2006 yang diselenggarakan oleh Pak Kades dan beberapa kerabatnya, saya tidak bisa memperoleh data pasti berapa anggaran yang diperlukan karena bagi wong Tengger mengungkapkan besarnya biaya bisa masuk kategori kurang sopan.
Namun dari persiapan hingga pelaksanaan ritual, bisa diketahui bahwa biaya yang dibutuhkan cukup banyak, baik yang digunakan untuk keperluan hidangan/makanan maupun pertunjukan. Pak Kades dan kerabatnya menyembelih 5 ekor sapi, 2 ekor kambing, dan 10 ekor ayam.Â
Menu masakan yang terbuat dari daging sudah menjadi kewajaran bagi ritual entas-entas, baik yang dimasak rawon, gule, sate, hingga ayam bakar. Sementara untuk mendatangkan tayub dari Malang sebagai hiburan pada malam hari dibutuhkan biaya Rp. 5.000.000,00.Â
Untuk melengkapi hiburan tayub, bagi para lelaki yang menari juga disediakan bir beberapa krat yang diberikan secara cuma-cuma, tidak seperti di daerah Lamongan, Tuban, Bojonegoro, dan Nganjuk, di mana tamu yang menari harus membayar untuk tiap botol yang diminum.Â
Gambaran tersebut, paling tidak, menunjukkan betapa besar biaya yang dibutuhkan untuk entas-entas. Bagi keluarga yang kurang mampu, biasanya hewan yang disembelih tidak terlalu banyak dan tidak menggelar pertunjukan tayub.
Dalam konteks ekonomi modern, praktik Entas-entas memang terlihat sebagai pemborosan. Namun, dalam konteks masyarakat Tengger yang masih begitu kukuh dalam menjalani tradisi, biaya konsumsi untuk ritual semata-mata ditujukan untuk memberikan penghormatan dan penyempurnaan kepada leluhur sebagai generasi yang telah melahirkan mereka sekaligus memberikan kesenangan kepada para tamu, kerabat, dan tetangga yang telah ikut mensukseskan acara.Â
Ketika kebutuhan makanan terpenuhi, maka secara logika orang-orang yang terlibat dalam acara akan melakukannya dengan senang hati sehingga ritual bisa berjalan dengan sempurna.Â
Adapun pertunjukan tayub, menurut Pak Sumartam, tidak dimaksudkan sebagai acara foya-foya belaka, tetapi lebih dimaksudkan untuk memberikan rasa senang dan bahagia kepada kerabat, tamu, dan masyarakat, sehingga tidak akan bersedih lagi terhadap kepergian arwah almarhum menuju kawah Gunung Bromo untuk disucikan dosa-dosanya sebelum menuju puncak Gunung Semeru sebagai tempat terakhir di dunia dan akhirnya mengarungi perjalanan ke nirwana.
Pelaksanaan Entas-entas yang cukup meriah, memang menyisakan beberapa pertanyaan: (a) sejak kapan praktik tersebut berlangsung; (b) mengapa harus demikian; dan, (c) apa yang menyebabkannya? Meskipun saya tidak mendapatkan data sejak kapan praktik tersebut berjalan di Wonokerso, informasi yang diberikan Hefner (1999:  308) tentang perubahan ritual di Tosari bisa membantu interpretasi terhadap permasalahan tersebut.
...secara historis, tingkat kemewahan sebuah perayaan bervariasi menurut kemakmuran ekonomi secara umum. Pada masa sulit, seperti pada tahun 1931 dan 1950, dan kembali awal 1960-an, perayaan diturunkan skalanya dan dikurangi biayanya. Pada masa peningkatan ekonomi, seperti pada tahun 1920-an, pertengahan 1950-an, dan 1970-an, biaya rata-rata perayaan meningkat. Pada akhir 1970-an, ketika pendapatan petani meningkat akibat sistem pertanian yang baru, biaya nyata rata-rata perayaan melambung tinggi hingga lima atau enam kali lipat dari biaya yang biasa dihabiskan untuk hal yang sama pada tahun 1960-an.Perayaan yang terbesar dihadiri oleh ribuan tamu, dan masing-masing menghabiskan biaya tiga atau empat ribu dolar, jauh melebihi pendapatan tahunan rata-rata keluarga. Perayaan yang bergengsi tidak lengkap tanpa menyembelih beberapa ternak, penggunaan generator untuk lampu dan musik rekaman, dan kehadiran penari tayuban dan kelompok drama ludruk dari kota di daerah bawah.
Informasi Hefner tersebut memberikan satu gambaran tentang kelenturan kontekstual wong Tengger dalam menjalani slametan. Yang pasti, kemeriahan tersebut sangat dipengaruhi oleh peningkatan ekonomi wong Tengger yang berasal dari peningkatan produksi sayur-mayur di ladang mereka yang sudah berlangsung sejak jaman kolonial dan berlanjut hingga saat ini, meskipun selalu disesuaikan dengan kondisi ekonomi setiap tahun.Â
Kemeriahaan slametan juga bergantung sepenuhnya pada tingkat kemakmuran ekonomi para penyelenggara entas-entas sehingga bagi keluarga yang kurang mampu tidak harus menyelenggarakannya secara meriah. Peningkatan ekonomi, dengan demikian, telah menjadi kekuatan baru yang mampu menghadirkan transformasi kultural.Â
Transformasi ini terkait dengan kebiasaan dalam memaknai perayaan slametan sebagai kewajiban tradisi bagi wong Tengger, terutama bagi mereka yang termasuk golongan ekonomi mampu.
Kebutuhan akan biaya yang banyak dalam Entas-entas tentu memerlukan tabungan yang tidak cukup hanya dilakukan dalam satu tahun. Wajar kiranya kalau ritual biasanya dilaksanakan beberapa tahun setelah almarhum dikubur. Maka dari itu, keluarga Tengger perlu mempersiapkannya dengan cara bekerja giat di ladang sehingga mereka bisa menabung dari setiap hasil panen.Â
Motivasi kultural untuk memberikan yang terbaik kepada orang tua atau kerabat yang sudah meninggal melalui perayaan Entas-entas telah menjadi kekuatan untuk melakukan kerja-kerja pertanian dari pagi hingga petang di ladang. Apakah ini menjadi beban bagi wong Tengger?Â
Kenyataannya, tidak tampak kesan tersebut ketika mereka bekerja giat di ladang, karena itu semua merupakan laku kehidupan yang harus dijalani apabila mereka ingin memperoleh kebahagiaan; kebahagiaan yang berbasis pada keyakinan  kultural.
Kesan munculnya "gengsi sosial" dalam masyarakat Tengger memang tidak bisa dihindari. Keluarga-keluarga kaya seolah ingin menunjukkan kemeriahaan slametan sebagai penegas status sosial yang membedakan mereka dengan warga lainnya. Apakah benar kemewahan perayaan terkait erat dengan gengsi sosial? Mengikuti pemikiran Bordieu (1994), kemewahan dalam Entas-entas memang bisa memunculkan habitus, struktur kebiasaan yang terstrukturkan dalam praktik sehari-hari, yang ditopang oleh kekuatan modal ekonomi sehingga bisa menjadi modal kultural yang mampu mewujud sebagai moda untuk menegaskan status sosial keluarga tertentu.Â
Memang kesan tersebut muncul. Bagaimanapun juga, kemajuan ekonomi telah melahirkan pemaknaan baru terhadap sebuah perayaan. Wong Tengger Wonokerso juga tidak bisa menghindarkan diri dari usaha untuk menunjukkan kemajuan tersebut, sebagaimana banyak dijumpai di wilayah-wilayah pedesaan Tengger dan Jawa lainnya. Namun, apa yang harus dicatat adalah bahwa kehadiran kemewahan tersebut tetap dibingkai dalam kerangka ideologis kultural yang hidup dan berkembang dalam konteks zaman yang sedang 'bergerak'.Â
Artinya, transformasi kultural yang terjadi hanya berlangsung pada "level performa", sedangkan pada "level dalam", wong Tengger tetap memaknainya sebagai sebuah kewajiban tradisi.Â
Dalam level performa, mereka bisa berpesta menikmati suguhan makanan dan minuman, sembari menari atau menikmati pertunjukan tayub, namun dalam hati mereka, ada kepuasan ketika mereka bisa memenuhi panggilan tradisi serta bisa menghindari hadirnya walat (hukuman Dewata) ketika mereka tidak menjalankan ritual tersebut.
Pesona-pesona Modernitas (yang Kontesktual)
Di samping slametan dan setya laksana, masuknya wong Tengger Wonokerso ke dalam wacana dan praktik modernitas juga bisa dilihat dalam praktik hidup keseharian. Benda-benda yang menandakan hadirnya modernitas begitu melimpah dalam kehidupan wong Tengger. Televisi, mobil, sepeda motor, pakaian-pakaian mode terbaru, kulkas, telepon seluler/HP, maupun makanan-makanan instan dengan mudah dijumpai dan sudah seperti menjadi bagian sah dari kultur wong Tengger itu sendiri.Â
Paling tidak, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kehadiran benda-benda industri budaya dalam kehidupan wong Tengger Wonokerso. Pertama, gencarnya iklan di televisi yang mereka tonton semakin mempersering "kontaks imajinatif" mereka dengan produk-produk modernitas yang selalu menawarkan kemudahan.Â
Kedua, semakin seringnya mereka pergi ke wilayah bawah maupun kota, baik untuk kepentingan bejalar, belanja, maupun pemerintahan, sehingga wong Tengger semakin biasa dengan kehidupan bergaya modern yang banyak ditandai oleh kehadiran produk-produk tersebut. Ketiga, perkembangan ekonomi pertanian yang menyediakan kekuatan finansial untuk menghadirkan produk-produk tersebut.
Ketika berada di rumah salah satu kerabat Pak Soponyono (Sekretaris Desa Wonokerso) untuk kepentingan observasi persiapan tahlilan (kerabat tersebut beragama Islam), saya melihat beberapa orang laki-laki menonton televisi sambil mempersiapkan kebutuhan tahlilan di ruang tamu. Sementara ibu-ibu memasak makanan di dapur.Â
Beberapa kali Pak Soponyono menerima telepon dari warganya yang hendak mengurus KTP di kantor desa besok pagi. Menurut keterangan Pak Soponyono, penggunaan HP sudah sangat biasa bagi wong Tengger dan dalam beberapa hal sangat membantu.
"Dengan adanya HP, saya dan juga warga lainnya sangat terbantu, Mas. Dulu kami selalu kesulitan untuk ngontak kerabat yang ada di luar desa, kalaupun bisa kami harus menempuh perjalanan berjam-jam dengan kondisi jalan yang bertebing dan gelap kalau malam. Yang repot lagi, kalau kami hendak menjual hasil panen karena kami harus menunggu sampai pembeli datang. Orang-orang Telkom males nyambung telepon ke sini karena membutuhkan biaya terlalu banyak. Nah, dengan HP yang murah, kami bisa ngontak mereka ketika sayur sudah selesai dipanen. Cuma, susahnya di sini kadang-kadang sinyalnya putus-putus, maklum di nggunung."
Pak Soeradjad, dengan kasus yang berbeda menambahkan bahwa dengan adanya HP untuk urusan-urusan penting dengan sesepuh Tengger di wilayah lain, biasanya berkaitan dengan pelaksanaan ritual, bisa lebih mudah, tanpa harus berlama-lama menempuh perjalanan jauh. Penjelasan Pak Soponyono dan Pak Soeradjad tersebut menunjukkan adanya sinergitas antara penggunaan HP dengan kepentingan ekonomi maupun sosial bagi wong Tengger.
Televisi juga sudah menjadi pelengkap kehidupan wong Tengger Wonokerso. Dari beberapa keluarga yang saya datangi, di ruang tamu selalu ada televisi berwarna, meskipun ukurannya berbeda-beda. Keluarga Tengger biasanya tidak menikmati semua acara yang disajikan beberapa stasiun televisi. Mereka menonton hanya pada waktu-waktu tertentu, setelah semua pekerjaan ladang selesai di sore hari. Bu Srimulat menuturkan:
"Nonton teve itu ya hanya sekedar hiburan, Mas. Ya, itung-itung melepas lelah, setelah bekerja di ladang, soalnya di sini jarang ada hiburan, kecuali tayuban dan wayang topeng. Biasanya saya suka nonton sinetron, tapi ya selalu tidak sampai selesai karena sudah lelah, ngantuk, sehabis bekerja di ladang. Kalau bapaknya lebih suka nonton Seputar Indonesia atau Liputan Enam. Kalau anak saya yang SD suka film kartun dan yang SMP lebih suka sinetron anak-anak SMA, itu yang di SCTV."
Menonton televisi, dengan demikian, menjadi aktivitas rekreatif bagi keluarga Tengger untuk melepas rasa lelah dan capek setelah bekerja di ladang. Sementara untuk sepeda motor maupun mobil, penggunaannya lebih diarahkan untuk mempermudah mobilitas mereka, terkait dengan urusan pertanian, pemerintahan, maupun kekeluargaan.
Memang, sebagaimana ditunjukkan oleh Hefner (1999: 314-316), wong Tengger Wonokerso, dengan mengkonsumsi produk-produk modernitas tersebut, bisa saja membayangkan diri mereka sebagai bagian dari budaya luar yang tengah berkembang ke arah konsumsi modern berciri pemenuhan gaya hidup dan sekaligus menunjukkan status sosial yang berbeda (Douglas & Isherwood, 1979: 75; Ewen, 2000: 47-56; Fuat, 1995: 120; McCraken, 1988: 59 & 68).Â
Mereka telah melakukan orientasi kultural ke luar sebagai usaha untuk mengikuti wacana ideologis kemajuan pembangunan secara nasional, namun mereka tidak sepenuhnya menganggap luar sebagai yang terbaik. Mereka tetap saja menemukan kontekstualisasi dari proses adaptasi terhadap budaya modern yang semakin banyak hadir dalam ruang desa.Â
Wong Tengger Wonokerso memaknai kehadiran produk-produk budaya modern sebagai bagian dari kehidupan mereka, tetapi melalui pemahaman-pemahaman kontekstual yang bisa mempermudah urusan-urusan mendesak, terkait transaksi hasil pertanian maupun urusan sosio-kultural.Â
Mereka memang tidak bisa menolak lagi HP, televisi, mobil, motor, maupun pakaian-pakaian terbaru, tetapi mereka tetap saja mempersepsikan dirinya sebagai wong gunung yang masih berpegang teguh pada tradisi yang berlaku. Mereka tetap saja melakukan slametan maupun sesembahan meskipun oleh banyak pihak dikampanyekan sebagai praktik pemborosan.  Â
Simpulan: Strategi Survival di Ruang Antara
Masyarakat Tengger Wonokerso merupakan contoh bagaimana memaknai kembali kehadiran modernitas sebagai jejak makna peninggalan kolonial dan berlanjut hingga masa poskolonial ke dalam konteks tradisi mereka. "Ruang antara pascakolonial" yang mempertemukan kultur modern sebagai akibat peningkatan ekonomi warga dan kultur tradisi telah menjadi ruang untuk terus mendefinisikan dan meredefinisikan makna identitas yang selalu bergerak dan bertransformasi dalam perkembangan zaman.Â
Dalam banyak hal, terutama dalam persoalan makna simbolis kehadiran benda-benda modern, kehidupan kultural memang tengah bertransformasi mengkuti apa-apa yang terjadi dalam dunia luar.Â
Pertumbuhan ekonomi warga sebagai akibat revolusi hijau dalam bidang pertanian telah menjadikan mereka sebagai konsumen benda-benda modern yang sekaligus memberikan citra simbolis bagi posisi sosial mereka di tengah-tengah masyarakat.
Kemajuan ekonomi dan masuknya kultur modern ternyata tidak mampu menghegemoni sepenuhnya kesadaran kultural dan mengubah atau menghilangkan praktik religi yang mereka yakini. Kemajuan ekonomi, dalam beberapa hal, cenderung dijadikan strategi dan alat untuk memaknai kembali ajaran-ajaran tradisional yang mereka warisi dari para leluhur.Â
Bekerja giat di ladang untuk mendapatkan hasil finansial yang maksimal tidak semata-mata digunakan untuk mengkonsumsi benda-benda modern, namun digunakan sebagai sarana untuk terus mewujudkan ajaran-ajaran yang sudah ada, seperti cukup pangan, sandang, papan, memperoleh pengetahuan, maupun terjaganya kesehatan jasmani dan ruhani.Â
Dengan demikian, percumbuan di ruang antara yang beraroma mimikri dan hibriditas dari kultur tradisional dan modern menjadi strategi kedirian dan identitas yang bisa membangun dan menjaga kesadaran ideologis wong Tengger Wonokerso di tengah-tengah zaman yang dipenuhi oleh ideologi konsumsi sebagai akibat percepatan kapitalisme lanjut (advance capitalism) secara nasional.Â
Wong Tengger Wonokerso menunjukkan keliatan kultural dalam menyikapi modernitas yang sudah mampu menembus dinginnya pegunungan dan putihnya kabut Bromo, tanpa harus kehilangan warisan leluhur mereka, meskipun beberapa desa Tengger yang lain sudah tidak menjadi Tengger lagi.
Daftar Bacaan
Althusser, Louis.1971. Lenin and Philosophy. New York: Monthly Review Press.
Aschroft, Bill, Garret Griffiths, dan Helen Tiffin, "General Introduction", dalam Bill Aschroft, Garret Griffiths, dan Helen Tiffin.1995. The post-colonial studies reader. London: Routledge.
Bhabha, Hommi K.1994. The Location of Culture. London: Routledge.
Boggs, Carl.1984. The Two Revolution: Gramsci and the Dilemas of Western Marxism. Boston: South End Press.
Bordieu, Pierre, "Structur, Habitus, Power: Basis for a Theory of Symbolic Power dalam Nicholas B.Dirk, Geoff Eley, & Sherry B. Ortner.1994.Culture/Power/History: A Reader in Contemporary Social Theory. Pricenton: Pricenton University Press.
Douglas, Mary & Isherwood, Mary.1979. The World of Goods, Toward an Anthropology of Consumption. New York: Routledge.
Ewen, Stuart.2000. "....Images without Bottom....,dalam Juliet B. Schor & Douglas B. Holt. The Consumer Reader. London: The New Press.
Faruk.2007. Belenggu Pascakolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Palajar.
Foucault, Michel.1998. The Will to Knowledge, The History of Sexuality Volume I (English translation by Robert Hurtley). London: Penguin Books.
Fuat, Firat.1995. "Consumer Culture or Culture Consumed?", dalam Janeen A. Costa & Gary J. Bamossy (eds). Marketing in Multicultural World, Ethnicity, Nationalism, and Cultural Identity. London: Sage Publication.
Gramsci, Antonio, "Class, Culture, and Hegemony", dalam Tony Bennett, Graham Martin, Collin Mercer, and Janet Woolacott (eds).1981. Culture, Ideology, and Social Process. Batsford: The Open University Press.
Hall, Stuart, "The Rediscovery of 'ideology': return of the repressed in media studies". dalam Michael Gurevitch, Tonny Bennet, James Curran, and Janet Woollacott (eds).1982. Â Culture, Society, and the Media. London: Metheun.
__________, "The Question of Cultural Identity", dalam Stuart Hall, D. Held, & T. McGrew (eds).1992. Modernity and Its Future. Cambridge: Polity Press.
__________, "The problem of ideology, Marxism without guarantees", dalam David Morley and Kuan-Hsing Chen (ed).1997. Stuart Hall, Critical Dialogue in Cultural Studies. London: Routledge.
Hefner, Robert W.1999. Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik (terj. A. Wisnu Hardana & Imam Ahmad). Yogyakarta: LKiS.Â
McCracken, Grant.1988. "Clothing as Language: An Object Lesson in the Study of the Expressive Properties of Material Culture", dalam Culture and Consumption, New Approaches to the Symbolic Character of Consumer Goods and Acitivities. Indiana: Indiana University Press.
Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe, "Hegemony and Ideology in Gramsci", dalam Tony Bennett, Graham Martin, Collin Mercer, and Janet Woolacott (eds).1981. Culture, Ideology, and Social Process. Batsford: The Open University Press.
Robertson, Roland, "Globalization and 'Glocalization': Time-Space and Homogenity-Heterogenity", dalam Mike Featherstone, Scott Lash, and Roland Robertson.1995. Â Global Modernities. London: Sage Publication.
Steger, Manfred B.2006. Globalisme, Bangkitnya Ideologi Pasar (terj. Heru Prasetya). Yogyakarta: Iafadl.
Setiawan, Ikwan, "Transformasi Masa Lalu dalam Nyanyian Masa Kini: Hibridasi dan Negosiasi Lokalitas dalam Musik Populer Using", dalam Jurnal Kultur, Vol. 1, No. 2, September 2007. Jember: Pusat Penelitian Budaya Jawa dan Madura, Lembaga Penelitian Universitas Jember.
Sutarto, Ayu. 2001. Di Balik Mitos Gunung Bromo. Surabaya: Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur.
_______________2003a. "Perempuan Tengger: Sosok yang Setia kepada Tradisi", dalam majalah Bende, Taman Budaya Provinsi Jawa Timur , 1, 2003.
_______________2003b. Etnografi Masyarakat Tengger. Laporan Penelitian (belum dipublikasikan). Surabaya: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur.
Thompson, John B.1984. Studies in The Theory of Ideology. California: California University Press.
van Dijk, Teun A., Â "Discourses semantics and ideology", dalam Jurnal Discourse and Society, Vol. 6, No. 2, 1995. London: Sage Publications.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H