Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Percumbuan Budaya di Balik Kabut Bromo

30 Oktober 2021   21:39 Diperbarui: 1 November 2021   07:17 1635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ideologi dalam konteks tulisan ini bukanlah nilai dan ide yang bersifat utopis-deterministik, tetapi lebih sebagai kerangka bagi kognisi sosial, menyebar dan dijalani oleh anggota kelompok sosial, dibentuk oleh seleksi-seleksi relevan dari nilai sosio-kultural, dan diorganisir dengan skema ideologis yang merepresentasikan definisi-diri dari kelompok tersebut. 

Di samping fungsi sosialnya untuk menjalankan kepentingan-kepentingan kelompok, ideologi juga mempunyai fungsi kognisi untuk mengorganisir representasi sosial (sikap, pengetahuan) dari kelompok, sehingga secara tidak langsung mengawasi praktik-praktik sosial yang berkaitan dengan kelompok, dan juga teks serta pembicaraan dari masing-masing anggotanya (Althusser, 1971: 162-177; Hall, 1982: 71, 1997: 26; van Dijk: 1995: 284).

Tradisi lokal bagi masyarakat pascakolonial merupakan kekuatan ideologis yang akan menuntun mereka untuk memilih bentuk, norma, dan praktik tradisi yang dipertahankan dalam ruang ketiga, meskipun mereka juga melihat, meniru, dan mengadaptasi tradisi-tradisi baru yang berasal dari luar. Sekilas, masyarakat poskolonial, memang tampak tidak bisa mempertahankan kemurnian tradisi mereka. Namun, apakah identitas ataupun yang benar-benar murni dalam konteks dan kondisi terkini? 

Masyarakat poskolonial adalah masyarakat yang mempunyai mekanisme untuk selalu "melihat ke dalam" sekaligus "mengidealkan" praktik dan wacana yang diasumsikan lebih modern, misalnya, karena begitu kuatnya pengaruh kolonial yang bertransformasi hingga masa kolonial, sehingga mereka sebenarnya tidak sepenuhnya berada dalam kuasa wacana dan praktik tersebut atau bahkan melawannya dengan cara-cara peniruan sekaligus pengejekan di ruang ketiga hibriditas (Faruk, 2007: 14-15). 

Pun demikian dengan masyarakat Tengger. Mereka memang tidak bisa menolak modernitas yang diperkenalkan oleh pihak kolonial dan berlangsung hingga sekarang sebagai akibat dari revolusi hijau berupa intensifikasi sayur-mayur, namun mereka justru mampu menggunakan semua itu sebagai sebuah motivasi ideologis baru untuk terus meyakini dan menjalani praktik tradisi yang mereka warisi dari para leluhur; sebuah percumbuan di ruang antara.

Setya Laksana: Tradisi yang Membutuhkan Kesiapan Ekonomi

Masyarakat Tengger memang terkenal dengan beragam kearifan tradisi yang masih diyakini dan dijalani hingga saat ini. Mereka adalah masyarakat yang taat membayar pajak, baik mereka yang tinggal di wilayah Probolinggo, Malang, Pasuruan, maupun Lumajang. Mereka juga dikenal sebagai masyarakat yang tidak pernah mau mencuri milik orang lain sehingga wilayah Tengger mendapat julukan zero crime zone. 

Di samping itu, masyarakat Tengger juga masih setia menjalani ritual seperti Kasada (ritual tahunan berupa persembahan hasil bumi dan ternak ke kawah Bromo), Entas-entas (ritual kematian, seperti ritual 1000 hari dalam tradisi Islam), Unan-unan (semacam ritual  bersih desa), dan lain-lain. Praktik tradisi dalam lingkup sosial tersebut memang lebih banyak berasal dari ajaran turun-temurun, namun, nyatannya mampu memberikan pengaruh positif bagi wong Tengger.

Dalam ranah keluarga, wong Tengger juga mempunyai kearifan tradisi yang disebut setya laksana (Sutarto, 2003a). Dalam pandangan ideologis masyarakat Tengger, seorang suami dan istri dalam sebuah keluarga, sudah seharusnya mau dan mampu dalam menjalankan kesetiaan untuk mewujudkan setya laksana berupa walima yang berisi wareg (cukup makan), waras (sehat jasmani), wastra (cukup sandang), wasis (cukup ilmu pengetahuan), dan wisma (mempunyai tempat tinggal yang layak). Kearifan tersebut tentu sudah bertransformasi karena perkembangan zaman yang sangat dinamis. 

Bagi wong Tengger sebelum zaman kolonial, untuk mencapai tahapan wareg, misalnya, mereka mungkin cukup menanam jagung atau talas untuk menghilangkan rasa lapar. Namun, saat ini, jagung dan talas sudah tidak banyak dikonsumsi sebagai makanan pokok dan digantikan oleh beras. Apa yang menarik dicermati dari konsep walima tersebut adalah dibutuhkannya kesiapan secara ekonomis untuk mewujudkan kelima orientasi ideologis tersebut.

Kesiapan secara ekonomis inilah yang membutuhkan kerja keras bagi keluarga-keluarga Tengger. Tidak hanya para suami sebagai kepala keluarga, para istri juga mempunyai tanggung jawab yang sama untuk mewujudkan walima dalam keluarga mereka sehingga tidak mengherankan kalau dari pagi hingga petang banyak perempuan Tengger yang ikut bekerja di ladang; dari mencangkul lahan, menanam, ngubat (menyemprotkan pestisida), hingga memanen. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun