Namun, apa yang harus diperhatikan dari realitas tersebut adalah adanya transformasi ideologis dari konsep wisma. Wong Tengger yang semakin sering melihat praktik diskursif modernitas dari pemaknaan sebuah rumah di wilayah bawah, kota, maupun televisi, berusaha meniru dan mengaplikasikan dalam bangunan rumah mereka, tetapi tidak sepenuhnya sama, karena mereka masih mempertahankan karakteristik lama dari sebuah rumah; tungku di dapur maupun ruang tamu untuk menghangatkan tubuh.Â
Peniruan ini, sekali lagi, bukan berarti mereka telah kehilangan tradisi dalam konteks rumah, tetapi lebih menunjukkan proses transformasi ideologis kultural yang dipengaruhi oleh kemajuan ekonomi sebagai akibat kerja ekonomi produksi di ladang sayur-mayur.
Hal serupa juga terjadi dalam konsep wasis. Pencarian ilmu pengetahuan dalam pandangan tradisional Tengger merupakan satu kebutuhan mutlak. Pada zaman dulu masih sangat jarang orang yang menempuh pendidikan formal karena faktor ekonomi dan transportasi. Hanya para dukunlah yang dianggap berilmu lebih karena mereka belajar ilmu tentang ritual maupun mantra. Â
Bagi keluarga biasa, pendidikan anak lebih banyak dilakukan oleh ibu, meskipun hanya sebatas cara berperilaku dalam kehidupan sosial serta wejangan-wejangan lain terkait adat-istiadat, sembari masak di dapur (Wawancara, Bu Supiarsih, 2 Juni 2006).Â
Selebihnya, anak-anak akan memperoleh ilmu tentang tradisi dari praktik peribadatan maupun ritual yang mereka ikuti. Semua berubah ketika para petani Tengger Wonokerso mulai menanam sayur-mayur yang memberikan peningkatan dalam segi finansial sehingga para orang tua mau dan mampu Pak Soeradjad, mantan Kades Wonokerso, menuturkan:
"Dulu ketika saya masih duduk di SR (Sekolah Rakyat), jalan menuju Sumber masih makadam dan licin kalau musim hujan. Kalau mau ke Sumber ya harus naik kuda sehingga waktu yang dibutuhkan lama. Waktu jalan masih jelek, penduduk di sini masih jarang yang menanam sayur, ya, karena jalannya jelek itu, sehingga tidak ada pedagang yang mau ke sini karena butuh biaya banyak untuk truknya. Baru pada tahun 90-an ketika jalan mulai diaspal, banyak orang sini yang menanam sayur, terutama kentang, kubis, dan wortel. Nah, setelah itu tingkat ekonomi warga menjadi lebih baik. Mulailah mereka mengganti rumah kayu dengan rumah tembok. Kendaraan bermotor jadi lebih banyak. Anak-anak semakin banyak yang sekolah SMP dan SMA, baik di Sumber maupun Probolinggo."Â
Wasis bagi wong Tengger merupakan sebuah upaya untuk bisa bertahan di tengah-tengah perkembangan zaman. Memang tidak semua anak-anak Wonokerso melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi, namun ada beberapa dari mereka yang kuliah, termasuk dua anak Pak Soeradjad.Â
Anak laki-lakinya memperoleh gelar Sarjana Teknik dari Universitas Brawijaya Malang. Sementara anak perempuannya mendapatkan gelar Ahli Madya dari Program Studi D-III Bahasa Inggris Universitas Jember.Â
Bu Srimulat juga menjelaskan bahwa kelak kalau anak pertamanya sudah lulus SMA di Probolinggo, ia ingin menguliahkannya di perguruan tinggi negeri karena menurutnya dengan pendidikan yang baik, sang anak akan bebas untuk memilih masa depannya; apakah kembali ke Tengger atau hidup di kota.Â
Orientasi ideologis untuk menyekolahkan anak setinggi-tingginya juga dilontarkan Bu Anik (bukan nama sebenarnya), seorang single parent yang menggugat cerai suaminya karena telah melakukan perbuatan yang mempermalukan keluarganya.Â
Bu Anik sangat ingin menguliahkan anak semata wayangnya yang kini duduk di bangku SMA karena ia mempunyai kekuatan ekonomi dengan ladang dari warisan orang tuanya yang selalu menghasilkan rejeki melimpah ketika panen.Â