Semua itu dilakukan demi mendapatkan hasil panen sayur-mayur yang melimpah sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup, baik yang berkaitan dengan pangan, sandang, papan, ilmu, hingga kesehatan.Â
Pertanian komersil sayur-mayur yang menuntut kerja ekonomi produksi modern, dengan demikian, mampu menjadi alat untuk mewujudkan impian-impian kebaikan dan kesejahteraan bagi keluarga Tengger.Â
Praktik pertanian yang dulunya oleh pemerintah kolonial digunakan untuk sekedar memenuhi kebutuhan mereka dan penduduk asing lain, seperti China dan Arab, ternyata bisa dimaknai kembali oleh wong Tengger untuk kepentingan ekonomi yang secara ideologis berlandaskan pada kearifan tradisi mereka sendiri.Â
Intensifikasi pertanian dengan pengguanaan pupuk dan bibit-bibit unggul sebagai bagian revolusi hijau rezim Orba untuk memenuhi ambisi politik pangan demi terciptanya stabilitas nasional dan percepatan pertumbuhan ekonomi, bagi wong Tengger tidak menjadi strategi diskursif penaklukan oleh negara, tetapi digunakan untuk mengoptimalkan penghasilan finansial mereka demi memantapkan kekuatan ekonomi keluarga yang akan berpengaruh pada pencapaian-pencapaian maksimal setya laksana. Â
Ambivalensi memang terjadi dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Tengger. Mereka saat ini bukan lagi orang-orang gunung yang cukup tinggal di rumah berbahan kayu cemara gunung. Rumah tembok menghiasi lanskap pegunungan seperti sebuah mozaik yang menempel pada sebuah kertas.Â
Ketika masuk ke rumah Pak Kades Wonokerso pertama kali, saya merasa seperti masuk ke dalam rumah orang kota. Televisi, almari, sofa, lantai keramik maupun pernik-pernik hiasan dinding tertata dengan rapi, tidak mengesankan sama sekali sebagai rumah orang desa.Â
Semua gambaran tentang wong Tengger yang sederhana, sejenak sirna ketika melihat keberadaan perabot-perabot itu. Menurut Bu Srimulat, istri Kades Wonokerso, semua perabot itu tidak dihasilkan dari jabatan suaminya sebagai seorang Kades, melainkan dari hasil panen kentang dan wortel yang melimpah dengan harga jual yang lumayan sebagai imbalan dari kerja keras mereka berdua di ladang.Â
Meskipun demikian, di ruang tengah tetap disediakan tungku sebagai penghangat percakapan yang berlangsung dengan para tamu Pak Kades, karena hawa dingin pegunungan Tengger tentu tidak bisa diusir dengan kompor minyak tanah ataupun kompor gas.
Apa yang terlihat dari rumah Pak Kades Wonokerso, merupakan penanda yang menunjukkan bahwa rumah ala orang kota telah menjadi orientasi kultural baru bagi wong Tengger ketika mereka berusaha mewujudkan konsepsi wisma yang ideal.Â
Rumah modern yang dulu hanya bisa dinikmati oleh orang-orang kota kaya, ternyata telah menjadi ruang hunian keseharian bagi keluarga Tengger dengan adanya revolusi hijau dan kerja keras di ladang.Â
Memang tidak semua keluarga Tengger Wonokerso bisa menikmati fasilitas seperti yang terdapat di rumah Pak Kades, minimal, rumah mereka yang berstatus ekonomi rendah maupun menengah tetap terbuat dari tembok, dan sangat sedikit yang terbuat dari kayu.Â