Tahun 2006, sebagai dosen muda di Fakultas Sastra Universitas Jember (kini Fakultas Ilmu Budaya), saya berkesempatan melakukan penelitian lapangan di Desa Wonokerso, Kecamatan Sumber, Probolinggo; sebuah desa yang terletak di sebelah timur Gunung Bromo. Di desa ini bertempat tinggal warga Tengger yang mayoritas beragama Hindu dan sebagian kecil beragama Islam.Â
Fokus penelitian waktu adalah kehidupan perempuan Tengger. Namun demikian, dalam proses penelitian saya juga menemukan data-data penting terkait pengaruh modernitas, seperti pertanian komersial, yang berlangsung dalam kehidupan mereka.Â
Data-data itulah yang saya analisis dan menjadi sebuah artikel dan diterbitkan di Jurnal Kultur Lembaga Penelitian Universitas Jember. Tulisan berikut saya kembangkan dari artikel di jurnal tersebut. Semoga bermanfaat.Â
Tengger yang Bertransformasi: Pengantar
Dalam ranah akademis, masyarakat Tengger seringkali dideskripsikan sebagai komunitas yang masih kukuh dalam melestarikan tradisi leluhur, baik dalam hal religi maupun adat-istiadat. Sutarto (2001; 2003a; 2003b) menjabarkan bagaimana wong Tengger menjalani kehidupan berbasis ajaran moralitas, religi, serta praktik ritual yang bersumber pada warisan leluhur dan disosialisasikan secara ajeg oleh para dhukun pandita, pemimpin adat dan religi.Â
Dalam konteks tersebut, masyarakat Tengger menempati posisi cukup unik dalam ranah kajian budaya karena di tengah-tengah perubahan masyarakat Jawa menuju kultur modern dan Islam yang banyak meninggalkan kearifan lokal, mereka masih mampu menghargai dan melanjutkan keyakinan tradisi yang dianggap sebagai paugeran dalam menjalani kehidupan sehari-hari.Â
Masyarakat Tengger, dengan demikian, merupakan gambaran bagaimana usaha pemertahanan tradisi lokal di tengah-tengah wacana dan praktik kultural yang mengarah pada tradisi asing yang dianggap lebih maju.
Namun, kemajuan ekonomi yang disebabkan oleh perubahan kerja ekonomi-produksi dalam bidang pertanian (dalam hal ini sayur-mayur), secara langsung juga membawa implikasi berupa perubahan sosio-kutlural dalam kehidupan masyarakat. Sebelum menjadi petani komersil, wong Tengger adalah petani subsisten yang lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok untuk meneruskan kehidupan dengan menanam jagung.Â
Perubahan jenis tanaman dan pola tanam yang diperkenalkan oleh Belanda mulai abad ke-19 dan diintensifkan lagi dengan revolusi hijau di masa Orde Baru dengan keuntungan berlimpah telah membawa pengaruh cukup signifikan dalam konstruksi dan struktur sosial serta gaya hidup wong Tengger. Hefner (1999: 187-264), menggunakan perspektif ekonomi-politik dan analisis sejarah interpretif dalam penelitiannya di Kecamatan Tosari Pasuruan pada 1970-an, mencatat beberapa perubahan mencolok dalam kehidupan sosio-kultural Tengger.
Pertama, sebagaimana terjadi pada wilayah-wilayah pertanian di dataran rendah, di wilayah Tengger juga berlangsung perubahan dalam hal tenaga kerja pertanian.