Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sastra Diasporik: Kompleksitas Wacana dan Kepentingan dalam Siasat Representasional di Ruang Metropolitan

30 Oktober 2021   12:53 Diperbarui: 30 Oktober 2021   12:55 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk mengatasinya, dia mulai meniru secara lentur beberapa tradisi masyarakat Amerika dari persahabatannya dengan subjek kulit putih. Sebagai contoh, Stephanos merayakan Natal ala Amerika dengan memberikan hadiah kepada sabahat kulit putihnya, sedangkan di Etiopia, perayaan Natal lebih menekankan kepada persoalan spiritual dan kumpul-kumpul di gereja. Di Amerika, dia merayakan Natal pada 25 Desember, sedangkan di Etiopia pada 7 Januari. Selain itu, Stephanos juga mulai membiasakan diri dengan makanan Amerika seperti sandwich. Semua proses mimikri itu dilakukan karena subjek diasporik ingin merasakan menjadi bagian dari masyarakat dan budaya induk sehingga ia bisa diterima. Posisinya sebagai subjek liyan dalam formasi sosial masyarakat Amerika, mengharuskannya untuk memilih strategi tersebut karena bagaimanapun juga ia memerlukan pengalaman-pengalaman baru agar ia bisa survive dan terus menghidupkan hidupnya di tanah Amerika.

Meskipun sudah mengikuti sebagian kebiasaan masyarakat Amerika, termasuk berhubungan badan di luar nikah dengan salah satu pelanggan tokonya, Stephanos sebagai subjek diasporik yang sedang memainkan politik keberantaraan dalam wujud hibriditas, tidak pernah melupakan kampung halamannya di Etiopia secara menyeluruh. Dalam kesempatan tertentu, misalnya, ia masih mengenakan pakaian tradisional tanah airnya dan sesekali mendengarkan musik Etiopia. Meskipun ketika melakukan hal-hal itu, ingatannya kembali kepada saat-saat suram di kampung halamannya ketika terjadi tragedi politik yang menewaskan banyak orang atau yang dikenal dengan Red Terrors, pemberontakan partai komunis. 

Paling tidak, peristiwa-peristiwa tersebut menjaga batinnya untuk tetap terhubung dengan budaya ibu, meskipun ke-Amerika-an menjadi lebih dominan dalam pikiran dan laku sehari-harinya. Melalui novel ini Mengestu menegosiasikan siasat kultural berupa hibriditas yang menempatkan subjek diasporik tidak harus berada dalam kutup biner dengan masyarakat induk karena mereka dituntut untuk bisa bersiasat secara lentur. Memasuki dan menjalani budaya induk memang problematis karena ia harus meniru nilai dan tindakan yang menjustifikasinya sebagai subjek liyan yang harus diawasi. Namun, subjek diasporik bisa menyiasati dengan meniru dan menjalankan sebagian budaya induk agar ia bisa bermain lebih leluasa dan mendapatkan keuntungan, tanpa harus melupakan sepenuhnya budaya ibu di kampung halaman. 

Dalam moda naratif realisme, Mengestu memainkan persoalan mimikri bukan sebagai proses problematis karena budaya Ethiopia hanya ditempatkan di dalam ruang pinggiran dan dalam cakupan temporal yang tidak terlalu menonjol. Tanah air menjadi sangat berjarak, bahkan, sebagai imigran dari Ethiopia, Stephanos memilih untuk meninggalkan rumah tempat ia berkumpul dan tinggal bersama para imigran dari negara miskin di Afrika itu. Pilihan naratif ini tentu bukan sekedar pilihan untuk meninggalkan kenangan akan kampung halaman sekaligus tragedi berdarah traumatik. Lebih dari itu, siasat naratif ini menjadikan wacana kultural yang dihadirkan menempatkan tanah air dan budaya ibu bukan lagi sebagai orientasi dominan, karena ke-Amerika-an adalah kenyataan masa kini yang lebih menarik meskipun ada beberapa konflik kecil yang harus dihadapi. 

Bangsa dan budaya asal menjadi ingatan yang harus didefinisikan dan dipahami-ulang dalam bingkai visioner, bahwa masa kini dan masa depan adalah keterjaminan akan usaha dan kesejahteraan ekonomi di negara induk tempat di mana ia juga merasakan kebebasan, termasuk seks bebas. "Menuju dan menjadi Amerika" menjadi wacana yang dinegosiasikan melalui proses hibriditas yang me-minor-kan budaya ibu dan bangsa, meskipun subjek diasporik tetap memikirkan "ibu" dan "keluarga" sebagai metafor bangsa dengan mengirimkan uang untuk kebutuhan hidup, seperti kesediaan Amerika Serikat untuk memberikan bantuan kemanusiaan.

Zadie Smith, penulis Inggris yang dilahirkan dari pernikahan antararas, Ibu Jamaika dan Bapak Inggris, sebagaimana dikaji oleh Dewi Indahsya (2017), menghadirkan permasalahan kultural yang melibatkan generasi pertama dan kedua pendatang di metropolitan Inggris melalui novelnya White Teeth (2000). Smith mengeksplorasi permasalahan identitas budaya yang berlangsung dalam dua keluarga dari imigran Bangladesh dan Jamaika yang melibatkan generasi pertama (orang tua) dan generasi kedua (anak). Dengan menggunakan kerangka teoretis identitas yang berada dalam dalam proses menjadi oleh Hall, Indasya  menunjukkan betapa bagi individu-individu diasporik, identitas bisa menjadi masalah tersendiri yang bersifat kompleks, bahkan harus berada dalam kondisi krisis. 

Bagi generasi pertama migran seperti Samad, budaya Banglades menjadi penting untuk terus dinegosiasikan, diyakini, dan dipraktikkan oleh anak-anaknya, karena baginya, berasimilasi dengan budaya induk akan menjadikan keluarganya kehilangan akar kultural. Sementara, anak-anaknya, karena lingkup bergaulannya berusaha beradaptasi dan mengapropriasi budaya Inggris yang mereka rasa sesuai dengan jiwa dan semangat muda. Bagi Magid, putra Samad, budaya Banglades memiliki derajat lebih rendah dibandingkan budaya Inggris. 

Pengalaman mendapatkan perlakuan otoriter dari Samad, mendorong Magid untuk mengabaikan budaya induk, sampai-sampai ia mengubah namanya menjadi Mark Smith agar menjauhkannya dari keterikatan dengan ke-Banglades-an. Kenyataan ini memunculkan kekecewaan Samad. Sementara, Millat, putra kedua Samad, merasa nyaman dengan budaya induk. Dia menikmati kebebasan dengan hidup di jalanan, meskipun masih berusaha untuk mengadopsi sebagian kecil budaya Banglades. Meskipun demikian, pengembaraan dan perasaan tertekan dengan kondisi metropolitan menjadikan Millat bergabung dengan organisasi muslim radikal di Inggris.

Permasalahan pelik juga dialami Irie, anak hasil pernikahan antarras, bapak Inggris dan ibu Jamaika. Baginya, standar identitas tidak bisa dipisahkan dari bentuk fisik. Celakanya, ketika dalam proses pembandingan, Irie menemukan fakta bahwa dirinya tidak sama dengan subjek kulit putih, seperti bapaknya. Ia sebenarnya ingin beradaptasi dengan budaya Inggris, tetapi tampilan fisiknya yang dominan kulit hitam, menjadikannya teralienasi dari masyarakat induk. Sementara, ibunya, Clara, tidak pernah memperkenalkan budaya Jamaika. Inilah yang memunculkan persoalan bagi Irie. Dalam usahanya untuk menemukan identitas, ia memilih untuk mengubah tampilan fisiknya, termasuk meluruskan rambut kritingnya serta mengecatnya dengan warna merah, mirip bintang film porno Nikki Tyler. Ini semua terjadi karena generasi kedua yang berdarah separuh Eropa sekalipun tidak bisa diterima secara mutlak oleh masyarakat induk sehingga memunculkan depresi dan akhirnya memilih cara instan terkait perubahan fisik.

Generasi kedua diaspora memiliki proses kultural unik, bahkan bisa menuju krisis, karena pengaruh budaya induk yang semakin menguat, sedangkan budaya ibu masih terus dihadirkan oleh generasi pertama. Generasi kedua memroduksi dan mereproduksi identitas baru melalui transformasi dan perbedaan yang seringkali memunculkan krisis berupa koflik dengan generasi pertama. Melalui transformasi tersebut, berlangsung pula percampuran dan dalam kesempatan yang sama kehilangan sebagian budaya induknya. Inilah kompleksitas yang harus dihadapi kaum diasporik, ketika di dalam komunitas mereka sendiri berlangsung perbedaan-perbedaan persepsi dalam memandang identitas budaya. Kemampuan untuk melakukan dialog budaya secara ajeg, tidak dalam semangat memaksakan, akan menjadi pintu masuk yang bisa mendorong generasi kedua ataupun sesudahnya menemukan kelenturan identitas tanpa harus mengabaikan budaya ibu. 

Kompleksitas yang dialami para tokoh dalam novel ini sekaligus menjadi kritik terhadap proyek multikulturalisme yang mengedepakan agenda kohesi dan asimilasi terhadap nilai-nilai ke-Inggris-an bisa menjadi tekanan tersendiri bagi subjek diasporik, bukan saja bagi generasi pertama, tetapi juga generasi kedua. Kepentingan Smith sebagai pengarang yang juga mengalami dan melihat problematika komunitas diasporik di metropolian Inggris dalam hal ini adalah memberikan pandangan kritis yang sadar konteks bahwa multikulturalisme yang masih mengidealisasi asimilasi terhadap budaya dominan hanya akan menghadirkan permasalahan identitas yang seringkali menyusahkan kaum diasporik. Dan, dalam beberapa kasus, seperti pilihan Millat untuk bergabung dengan kelompok radikal, menegaskan betapa gagasan-gagasan nasional yang mengedepankan ideal-ideal Barat menyisakan persoalan yang bisa mengancam keamanan nasional. Kesadaran politik penulis terhadap konteks-konteks permasalahan diaspora menjadi kerangka dan acuan untuk menarasikan pengalaman hidup dalam semangat kritik yang sekaligus menunjukkan pilihan ideologis untuk tidak larut dalam euforia hibriditas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun