Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sastra Diasporik: Kompleksitas Wacana dan Kepentingan dalam Siasat Representasional di Ruang Metropolitan

30 Oktober 2021   12:53 Diperbarui: 30 Oktober 2021   12:55 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fakta global tentang diaspora dan transnasionalisme yang didorong oleh motif politik, ekonomi, ataupun kultural telah mengubah lanskap kultural banyak masyarakat metropolitan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Konsekuensinya, wacana dominan multikulturalsme, identitas sosio-kultural, kebijakan internasional, dan konflik rasial yang dikonstruksi dalam banyak karya fiksi dan non-fiksi menjadi fondasi diskursif untuk membaca jagat sosial yang tengah bergeser. Salah satu isu menarik adalah masalah identitas yang di dalamnya warga diasporik harus memiliki strategi sesuai di tengah-tengah perbedaan dan pembedaan yang mereka alami. Hall (1997, 1994), misalnya, memosisikan identitas di ruang metropolitan secara lentur, ditandai oleh komunikasi, apropriasi/inaproriasi, dan konflik antaretnis/rasial, bukan semata-mata entitas terberi-pasti. 

Sebaliknya, identitas berkaitan dengan proses menjadi, sebuah entitas kultural yang terus berlangsung melalui penyerapan dan adaptasi nilai-nilai baru yang diundang masuk ke dalam struktur budaya ibu sebagai entitas basis yang perlu dinegosiasikan sebagai penanda eksistensi, meskipun dalam banyak kasus memunculkan memori traumatik akan tanah air, misalnya. Memori itu tidak bisa hilang sepenuhnya dari ingatan subjek karena berkaitan dengan "tragedi", baik yang menyangkut komunitas ataupun individu, dalam peristiwa tragis berbasis politik, ras/suku, status sosial dalam masyarakat, agama, ketidakadilan jender, ketimpangan ekonomi, dan kuasa pemerintahan.

Pengalaman akan peristiwa tragis, saat-saat menyenangkan bersama kawan masa kecil, dan keunikan budaya ibu menjadi situs ingatan yang terus-menerus berkontestasi dengan budaya metropolitan yang berbeda. "Di tengah-tengah perbedaan" menjadi fase sederhana sekaligus krusial bagi kehidupan para penulis diasporik. Di tengah-tengah perbedaan budaya, sosial, dan ekonomi yang mereka rasakan dalam keidupan sehari-hari, subjek diasporik juga mengalami proses marjinalisasi dan liyanisasi, di mana mereka bukanlah bagian dari masayarakat induk karena secara kultural berbeda, baik dalam hal nilai-nilai hidup, orientasi, maupun perilaku. 

Namun, para penulis diasporik itu juga tidak bisa mengingkari bahwa mereka membutuhkan perubahan hidup yang bisa menghadirkan suasana dan atmosfer baru. Kompleksitas kondisi itulah yang ikut mengkonstruksi imajinasi kreatif para penulis diasporik. Artinya, dalam menulis karya, para penulis tidak bisa menegasikan adanya 'campur tangan' pengalaman kultural di dalam kompleksitas hidup yang mereka alami. Dalam kondisi itulah, penulisan karya sastra menuntut dan menjadi siasat representasional yang dilakoni penulis dalam menghadapi kompleksitas ingatan dan kenyataan.

Diasporic Imaginary 

Diasporic imaginary bisa menjadi kerangka untuk melihat siasat representasional yang dimainkan oleh penulis diasporik yang berkarya di negara-negara maju. Mishra (2008: 14) mendefinisikan diasporic imaginary sebagai setiap enclave etnis, sebuah wilayah yang secara etnis dan kultural berbeda, di dalam sebuah negara yang mendefinisikan dirinya sebagai sebuah kelompok yang hidup di wilayah lain, secara sadar ataupun nirsadar, atau mendapatkan koersi politis secara nyata atau tersirat. Dalam menarasikan cerita para penulis memang tidak bisa lepas dari kecenderungan ambivalensi dalam keberantaraan, di mana mereka terikat dengan budaya ibu dengan bermacam peristiwa traumatik yang nun jauh di sana, tetapi mereka juga harus mengapropriasi nilai dan praktik budaya baru. Warna hibrid dalam struktur naratif dalam ruang liminal tidak bisa dihindari, serta membawa implikasi kepada persoalan wacana yang tidak bisa hanya dibaca sebagai percampuran karena membawa "misi politik" pengarang.

Apa yang menarik dicermati lagi adalah ketika pengarang menulis tentang "tanah air" mereka sebenarnya dalam posisi berjarak sehingga harus menciptakan narasi-narasi khayali yang tampak esensial tetapi sebenarnya juga tidak memberikan keutuhan informasi kepada pembaca metropolis, sekaligus memberikan kesempatan untuk menciptakan narasi baru tentang tanah air. Tentu saja, pengarang tidak harus selamanya mengikuti formula tersebut secara kaku karena masing-masing memiliki kecenderungan naratif dan diskursif tentang pengalaman diaspora. Paling tidak, diasporic imaginary bisa menjadi salah satu kekuatan kultural dalam siasat representasional yang mereka suguhkan. 

Mengelaborasi konsep diasporic imaginary, Kral (2009: 23) memaparkan bahwa konsep tersebut bisa dipahami sebagai ruang untuk menemukan-kembali dan membekukan pengalaman akan tanah air di ruang metropolitan, tetapi karena dibuat dari tempat yang secara geografis berjarak, para penulis seperti Rusdhie memilih untuk membuat cerita yang lebih hidup dan bersifat baru. Selain itu, dengan posisi demikian, penulis juga leluasa untuk menyuguhkan hal-hal yang lebih kritis dan kompleks tentang tanah air yang sekaligus mengaburkan pemahaman-pemahaman yang sudah mapan. Dengan cara demikian, pengarang bisa mengganggu pula dikotomi identitas melalui narasi di ruang batas yang bisa saling melebur dan melintasi sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan subjek diasporik. 

Dalam Bingkai "Subjek yang Melampaui"

Beberapa konsep Bhabha (1994) yang berasal dari hasil pembacaan terkait kondisi budaya pascakolonial, seperti melampaui yang membawa implikasi lanjut beruapa ambivalensi/keberantaraan, mimicry/mockery, dan hibriditas bisa menjadi bingkai untuk melihat bagaimana siasat yang dimainkan komunitas diasporik di negara induk dalam tatapan penulis. Memang, perlakuan rasis yang diterima oleh orang-orang kulit berwarna memberikan perasaan unhomely bagi subjek diasporik yang mencoba untuk meng-ada dalam kehidupan masyarakat metropolitan. Mereka seperti tidak menemukan 'rumah yang nyaman' untuk tinggal karena perbedaan budaya dan perlakukan masyarakat dominan. Sementara,untuk kembali ke negara asal, mereka pun harus berhadapan dengan sekian banyak masalah. Dalam konteks itulah konsep "melampaui" menemukan signifikansinya bagi subjektivitas diasporik. Bhabha (1994: 1-2) mengatakan:

"Melampaui" bukan berarti sebuah cakrawala baru ataupun meninggalkan masa lalu... Kita menemukan diri kita pada momen transisi di mana ruang dan waktu saling melintasi untuk memproduksi figur-figur kompleks dari perbedaan dan identitas, yang di dalam dan yang di luar, inklusi dan eksklusi...di sini dan di sana...ke belakang dan ke depan...Apa yang secara teoretis inovatif dan secara politis amat mendesak adalah kebutuhan untuk berpikir melampaui narasi-narasi terkait subjektivitas asli dan awal serta memfokuskan pada momen-momen atau proses-proses yang diproduksi dalam artikulasi perbedaan kultural. Ruang antara ini menyediakan tempat untuk mengelaborasi strategi-strategi kedirian---tunggal maupun komunal---yang memunculkan tanda baru identitas serta situs inovatif kolaborasi dan kontestasi dalam mendefinisikan ide tentang masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun